GUSDURian Banjarmasin Peringati Haul Guru Sekumpul ke-17 dengan Diskusi melalui Zoom

Dalam rangka memperingati Haul Guru Sekumpul ke-17, GUSDURian Banjarmasin bersama LTN-NU Kabupaten Banjar dan BEM STIT Darul Hijrah mengadakan diskusi yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting, pada Kamis (24/02/2022).

Diskusi bertemakan “Gus Dur dan Guru Sekumpul: Dulu, Kini, dan Nanti” tersebut menghadirkan Hairus Salim, pendiri Yayasan LKiS dan Direktur Gading Publishing; Sugiharto Hendrata, GUSDURian Kalimantan Selatan dan PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) Kota Banjarmasin; Muhammad Bulkini, penulis buku ‘Abah Guru Sekumpul dalam Kenangan’ (2019); dan Azzam Anwar, Mahasiswa S3 University of Groningen.

Dalam penyampaiannya, Hairus Salim menceritakan pertemuannya dengan Guru Sekumpul saat ia menjadi murid Guru Sekumpul (dulu masih Guru Ijai) di Musholla Ar-Raudah, dan perjumpaannya dengan Gus Dur saat sebelum menjadi presiden. Hairus Salim juga menceritakan bagaimana hubungan Gus Dur dan Guru Sekumpul yang ia tulis dalam laman nuonline.

Sugiharto Hendrata menerangkan bagaimana ia mengenal Gus Dur dan Guru Sekumpul. Ia belum pernah bertemu secara langsung namun bertemu lewat bacaan. “Saat saya tinggal di Banjarmasin dulu, tidak ada media sosial. Yang ada cuma koran. Nah saya baca di situ, sosok Guru Sekumpul yang sangat dicintai masyarakat,” terang pria yang akrab disapa Romo Sugi tersebut.

“Dengan Gus Dur juga tidak pernah bertemu langsung, tapi lewat bacaan. Yang saya ingat dulu di majalah Tempo, saya baca bagaimana Gus Dur membela minoritas. Di masa Orba ada peraturan yang diskriminatif. Agama Konghucu belum diakui Negara. Karena itu aturan Negara jadi tidak banyak yang berani membela. Gus Dur datang untuk membela mereka”, tambahnya.

Sejalan dengan itu, Muhammad Bulkini menjelaskan tentang hubungan antara Guru Sekumpul dengan Gus Dur. “Kalau bicara soal Guru Sekumpul dan Gus Dur, kita berbicara soal Islam rahmatan lil ‘alamin. Meskipun keduanya berbeda medan juang, saya melihat Abah Guru Sekumpul sebagai pembimbing dan Gus Dur sebagai aktivis.”

Bulkini juga memaparkan kesamaan-kesamaan Guru Sekumpul dan Gus Dur, di antaranya yaitu sama-sama ulama yang humoris, berdakwah dengan cara yang lembut dan tidak sepakat dengan cara yang kasar, toleran, melindungi orang terpojok, dermawan, tidak menjadikan dakwah sebagai alat mencari uang, mencintai manusia tanpa pandang bulu, serta mencintai alam dan lingkungan. “Dari kesamaan-kesamaan itu, usut punya usut ternyata Guru Sekumpul dan Gus Dur memiliki silsilah guru yang sama,” tambahnya.

Azzam Anwar mempresentasikan penelitiannya mengenai Ziarah Wali: Gus Dur dan Guru Sekumpul. Ia memaparkan bagaimana Gus Dur yang berasal dari budaya Jawa dan Guru Sekumpul dari budaya Banjar begitu menarik untuk diperbandingkan mengingat keduanya merupakan Wali dalam satu waktu. Ia menjelaskan perbedaan keduanya dari latar belakang budaya, pendidikan, dan jalan dakwah.

Anwar juga memaparkan apa saja dan bagaimana berpengaruhnya ziarah wali (Gus Dur dan Guru Sekumpul) dalam berbagai aspek, yaitu dalam aspek geografis, sosial budaya, politik, ekonomi, agama dan pariwisata.

Usai berdiskusi, acara dilanjutkan dengan pembacaan tahlil dan doa haul sebagai puncak acara. Tahlil dan doa haul dibacakan oleh Yunizar Ramadhani, ustaz di Pondok Pesantren Darul Hijrah Puteri sekaligus pegiat GUSDURian Banjarmasin.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.