Polemik Transgender dan Diskriminasinya di Indonesia

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda di Indonesia, orang-orang transgender menghadapi diskriminasi terhadap akses vaksin Covid-19. Sebelum pandemi, mereka kesulitan memperoleh akses pekerjaan. Saat pandemi, mereka dibatasi akses layanan kesehatannya. Tidak hanya itu, kelompok transgender juga dihantui persekusi di luar perlindungan hukum.

Di antara mereka, yang paling sulit menjangkau vaksin adalah transgender perempuan (transpuan). Masalahnya, sebagian transpuan tidak memiliki kartu identitas elektronik (e-KTP). Padahal, untuk memperoleh vaksin, setiap warga harus menunjukkan kartu identitasnya.

Untuk membuat KTP, transpuan harus menunjukkan Kartu Keluarga (KK). Namun, banyak transpuan dan waria melarikan diri dari rumah karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebanyak 50-60 persen transpuan lansia dilaporkan tidak memiliki KTP. Kondisi ini kian menyulitkan mereka untuk mendapatkan vaksin, bahkan layanan kesehatan pemerintah secara umum.

Bagaimanapun juga, kondisi ini merupakan masalah pelik dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus diatasi dengan serius. Di sisi lain, kesadaran untuk memperlakukan golongan transgender dengan layak masih rendah, bukan saja dari pemerintah, melainkan juga masyarakat umum.

Sebagian besar warga Indonesia mengecam kaum transgender, khususnya LGBT. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei Lembaga SMRC (Saiful Mujani Research Center) yang merilis hasil penelitian kuantitatif kepada 1.220 responden yang berusia di atas 17 tahun di 34 provinsi. Penelitian ini dilakukan secara bertahap pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017.

Salah satu poin penelitiannya menunjukkan bahwa 41,4 persen responden merasa bahwa LGBT sangat mengancam. Lebih ekstrem lagi, 41,1 persen menyatakan bahwa LGBT tidak punya hak hidup di Indonesia. Angka 41 persen tentu bukan angka yang sedikit.

Persepsi bahwa LGBT tidak berhak hidup ini mengangkangi asas kemanusiaan, seolah-olah kaum LGBT dianggap kaum liyan. Ada stempel atau label “mereka”, dipersepsikan berbeda dari “kita”. Mereka dianggap deviasi normal dari orang pada umumnya.

Oleh sebab itu juga, pikiran yang sudah kadung melenceng malah melahirkan stigma dan diskriminasi, atau parahnya: persekusi, dan bahkan sudah tertuang dalam lembar kebijakan pemerintah. Rilis organisasi minoritas gender Yayasan Arus Pelangi menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat kekerasan tertinggi terhadap kelompok LGBT di dunia.

Hingga saat ini, ada 49 produk undang-undang dan kebijakan oleh pemerintah Indonesia yang bersifat diskriminatif dan bertujuan mengkriminalisasi komunitas LGBT.

Penolakan terhadap LGBT ini berakar dari pelbagai aspek. Nyaris, atau malah semua, nilai, dan norma agama di Indonesia mengharamkan LGBT. Di sisi lain, terdapat keberagaman nilai dan sikap individu dalam menyikapi hal ini. Oleh sebab itu pula, 51 persen dari responden SMRC tetap menghargai keberadaan LGBT, kendati tetap tidak menyetujui.

Berlatarkan stigma dan persepsi negatif itu, wajar saja, kelompok LGBT kemudian sukar memperoleh akses administrasi kependudukan, yang kemudian menyulitkan mereka memperoleh vaksin. Jika dibiarkan berlarut-larut, keadaan ini akan membatasi hak-hak mereka yang lain, misalnya hak memperoleh transportasi publik. Sebab, akses sebagian besar layanan publik mengharuskan untuk menunjukkan sertifikat vaksin.

Bagaimana Diskriminasi Ini Terjadi di Indonesia?

Tidak bisa dimungkiri, keberadaan LGBT kurang bisa diterima di Indonesia. Faktornya beragam, mulai dari stigma yang masih mengakar kuat, instrumen hukum yang mengkriminalisasinya, hingga diskriminasi mereka sebagai kelompok minoritas, sebagaimana dinyatakan Cut Irda Puspitasari dalam jurnal Takammul.

Pertama, praktik stigma di masyarakat Indonesia melanggengkan diskriminasi dan persekusi orang-orang LGBT di kalangan masyarakat umum. Zakiah dan Zahra dalam Sebuah Laporan LBHM: LGBT (2017) menuliskan laporan terkait pandangan masyarakat yang cenderung menyudutkan orang-orang LGBT. Mereka kerap kali dianggap sebagai penyakit masyarakat, sumber virus HIV, menyimpang secara moral, dan sebagainya.

Pandangan negatif lainnya menyatakan bahwa orientasi LGBT bertentangan dengan norma masyarakat, berlawanan dengan ideologi negara Pancasila, orang-orang kotor, serta merusak moral bangsa.

Pandangan-pandangan semacam ini tak jarang dimanfaatkan elit politik untuk menggaet suara publik, misalnya pada Pilkada 2018, LGBT menjadi isu yang “seksi” dalam pertarungan politik. Apabila diskriminasi LGBT terjadi di masyarakat, wajar saja sebab edukasi terkait gender dan seksualitas masih dipandang tabu, kendati represi terhadapnya masih hangat dibicarakan.

Kedua, sebagian masyarakat menganggap bahwa LGBT adalah penyakit mental yang dapat disembuhkan, serta mesti dikembalikan kepada fitrahnya sebagai manusia dengan orientasi seksual kepada lawan jenisnya. Jika orang-orang LGBT ketahuan melakukan praktik seksual yang dianggap “menyimpang”, beragam cara dilakukan untuk menerapkan sanksi sosial, bahkan ancaman jerat hukuman.

Produk hukum yang jelas-jelas berupaya mengkriminalisasi orang-orang LGBT misalnya tertera dalam Perda Provinsi Sumsel No. 13 Th. 2001 Tentang Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumsel. Peraturan tersebut mengategorikan LGBT sebagai perbuatan pelacuran. Demikian juga Perda Kota Palembang No. 13 Th. 2004 yang juga memandang sama LGBT sebagai hal terlarang di Palembang.

Ketiga, diskriminasi LGBT kian langgeng terjadi karena tidak ada perlindungan kuat terhadap mereka. Komnas HAM mengategorikan LGBT sebagai kelompok minoritas dari sisi orientasi seksual yang rentan mengalami diskriminasi dan persekusi. Perlakuan tidak layak terhadap mereka terjadi dalam bentuk stigma, cemooh, pelecehan, pengucilan, kekerasan fisik/psikis, hingga tidak adanya kesempatan sama untuk mengenyam pendidikan formal.

Karena mereka merupakan minoritas, masyarakat umum kerap tidak merasa bersalah mendiskriminasi kelompok LGBT. Terlebih, organisasi keagamaan, bahkan peraturan pemerintah pun seakan memperbolehkan tindakan diskriminatif tersebut. Hal itu seakan menjadi pembenaran bagi pihak mayoritas untuk melecehkan orang-orang LGBT di Indonesia.

Jika faktor-faktor di atas tidak dibenahi dengan baik, tindakan diskriminatif hingga persekusi terhadap LGBT sulit diselesaikan. Kasus Mira Aca, transpuan yang dibakar hingga meninggal tahun lalu adalah teguran agar kita menghargai hak hidup LGBT di Indonesia.

_______________

Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dan Jaringan Nasional Gusdurian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Peneliti. Penulis Lepas. Tinggal di Yogyakarta.