Sekadar Cerita Mengapa Aku Menjadi Musisi

Tempat tinggal kami adalah sebuah kampung santri di sebelah timur sungai. Disebut kampung santri untuk membedakannya dengan kampung di sebelah barat sungai yang kami sebut kampung jaba. Memang kampung kami ini dihuni kalangan santri, yakni mereka yang memiliki keterkaitan sangat kuat dengan, dan sehari-hari taat menjalankan, ajaran Islam.

Berbeda dengan kampung jaba, di kampung kami tidak ada orang bermain judi ataupun minum arak. Kampung kami aman dan bersih dari kedua hal yang dianggap haram tersebut. Sehari-hari warga kami yang kebanyakan pedagang atau pengelola produk home industry mengisi kegiatan mereka dengan pengajian, diba’an, atau mujahadahan. Di kampung inilah aku melewati masa kecilku.

Sebenarnya yang asli warga kampung santri itu adalah ibuku, sedangkan ayah adalah orang luar. Dalam kehidupan sehari-hari kelihatan bahwa ayah bukan saja ‘orang luar’ dalam pengertian harfiah, tapi betul-betul orang luar dalam arti yang lebih mendalam lagi, yakni ia tidak memiliki kesantrian yang tebal sebagaimana warga kampung kami umumnya. Perbedaan ini kadang mencuat dalam bentuk ketegangan dan konflik yang halus dan diam-diam antara ayah dan ibuku, atau antara ayah dan keluarga besar ibuku berkenaan soal mengatur kehidupan rumah tangga atau soal pandangan keagamaan. Aku menjadi saksi diam atas ketegangan ini di sepanjang masa kecil dan remajaku.

Ayah misalnya mengkritik ‘formalisme’ keagamaan yang demikian kuat di kampungku. Betapa, kata ayah, ritual menjadi jauh lebih penting daripada makna terdalam dari agama itu sendiri. Ia mengkritik topik-topik khotbah atau pengajian yang menurutnya sangat sering menyemai hati orang untuk membenci daripada mencinta. Sesekali ayah juga menyindir kemunafikan warga kampung kami. “Apa betul mereka gak pernah judi atau minum tuak?” Ayah sering bertanya begitu karena kerap memergoki beberapa warga kampung kami, ketika ia kunjungan dinas ke kampung jaba. Menurut ayah, di sini memang tidak ada orang minum arak dan berjudi, karena kalau mereka mau berjudi atau minum arak, mereka pergi dan melakukannya ke kampung jaba. Bukan mustahil juga mereka main perempuan di sana, atau di kampung lain lagi. Demikian kritik ayah.

Pandangan ayah demikian bukan karena ia berasal dari kampung jaba. Keliru. Ia berasal jauh dari luar propinsi kami, tetapi aku yakin ia berasal dari sebuah kampung yang mirip kampung jaba, dengan orang-orang yang lebih longgar dan santai memandang ikatan agama. Oleh karena itu, dalam hal pendidikan agama ayah tak ngotot sekali menyuruhku mengaji meski juga tak membiarkanku begitu saja kalau tak mengaji. Tetapi keadaan di kampung santri ini membuatku melewati keseharian masa kanak-kanakku hampir sepenuhnya di masjid atau pesantren yang berada di sampingnya.

Sementara di luar itu, ayah memperkenalkanku pada kebiasaan-kebiasaan yang tak lazim di kampung atau di keluarga ibuku. Ia misalnya mengkursuskanku untuk belajar piano klasik secara privat di kota kabupaten. Setiap seminggu sekali ayah mengantarku ke seorang kenalannya yang pandai bermain piano. Aku mengikuti saja kemauan ayah ini tapi dengan tak begitu semangat. Pada sore seperti itu aku hanya berpikir untuk berkumpul dengan teman-teman, bermain sambil belajar mengaji. Atau sebaliknya, mengaji sambil bermain.

Tahu bahwa tak ada kemajuan dalam kegiatan les pianoku, ayah kemudian mencoba memindahkanku untuk belajar biola. Kali ini ke sebuah kursus musik profesional. Setali tiga uang, minatku tetap tidak tumbuh dan kemampuanku sama sekali tidak berkembang. Untuk membangkitkan minatku, ayah juga kerap mengajakku menonton pertunjukan musik ke kota, terutama pada hari-hari libur. Sekali lagi motivasiku tak juga bersemi. Ya mungkin karena pada dasarnya aku tak merasa penting sama sekali belajar piano atau biola, sebagaimana diujarkan dengan kuat oleh kakek dan guruku mengaji.

Nah, jika Anda mengenalku sekarang pandai bermain musik, bahkan boleh dikata aku telah hidup dari musik sekarang ini, itu bukan datang langsung dari dorongan ayahku. Lalu dari siapa? Inilah ceritanya.

Pada suatu hari datang ke kampung kami seorang lelaki muda. Ia mengontrak rumah persis di seberang rumah kami. Lelaki muda itu bekerja pada sebuah lembaga swasta dukungan sebuah lembaga dana asing yang bekerjasama dengan pemerintah untuk memberikan jasa atensi dan konsultasi pembangunan. Setiap hari ia berangkat ke kota kabupaten atau ke pelosok-pelosok desa yang menjadi area pekerjaannya. Sore hari ia sudah di rumah karena kulihat ia kerap berolah raga di depan rumahnya dan malamnya, ia mengikuti kebiasaan di kampung kami, salat berjamaah ke masjid.

Kalau pergi bekerja ia menggunakan hem dengan motif garis-garis atau kotak-kotak yang dimasukkan ke dalam celana. Rapi dan ganteng sekali. Tapi kalau tidak sedang dinas, pemuda itu biasa memakai celana jins dan kaos oblong. Santai dan rileks.

Namun jika ia datang ke masjid penampilannya segera berubah. Ia mengenakan sarung dan baju kurung putih dari kain katun berlengan pendek tanpa kerah. Ia tampak seperti seorang ustaz muda yang baru lulus dari pesantren.   

Penampilan lahiriah itu semakin berpendar ketika kemudian kami tahu bahwa ia juga pandai mengaji Qur’an. Mula-mula ia memperlihatkan hal itu dengan melakukan azan. Suaranya tidak terlalu bagus, tapi makhraj-nya tepat sekali dan lagu serta nadanya berbeda dengan azan yang biasa dikumandangkan di kampung kami. Belakangan ia ambil hadir dalam pembacaan tadarus dan diba’ mingguan. Ia bukan sekadar hadir tapi juga ikut membacakan dan memperdengarkan bacaannya kepada para jamaah. 

Dengan segera ia meraih simpati warga kampung kami: muda, mandiri, dan saleh lagi! Siapa yang tak senang. Bapak-bapak di kampungku memuji-mujinya dan ibu-ibu banyak yang membicarakannya. Bukan mustahil sebagian mereka mengangankan anak gadis mereka menjadi istri pemuda itu.

Tak terkecuali juga anak kecil seperti aku. Tapi  aku mengaguminya, bukan karena kemampuan mengajinya itu. Benar bahwa ia pandai mengaji tetapi di kampungku, kemampuan mengaji seperti ini telah menjadi standar minimal kelengkapan seorang anak yang baik dan berangkat dewasa. Karena itu di kampung ini ada banyak pemuda seperti dia, dan mungkin kemampuannya melebihi dia. Jadi berbeda dengan orang kampungku, yang membuatku kagum adalah dia ternyata juga pandai bermain gitar.

Pada suatu malam aku mendengarnya bernyanyi sambil memetik gitar. Seperti kuceritakan, aku sebelumnya sudah beberapa kali diajak ayah menonton pertunjukan musik, tapi entah mengapa baru malam itu aku merasa senang dan terpesona mendengar orang bernyanyi dan memainkan gitar. Mungkin karena sederhananya, karena apa adanya, atau mungkin karena suasananya, entahlah, yang jelas aku jadi tertarik saat itu. Aku kemudian mendekat ke arahnya dan ia kemudian memanggilku. Lalu, kami pun bermain gitar dan bernyanyi bersama. Sejak itu, pada waktu-waktu kosong, aku berkunjung ke tempatnya untuk bermain gitar dan bernyanyi. Beberapa anak sebayaku kemudian juga ikut bergabung, tapi tetap akulah yang paling sering dan tak pernah absen. Tanpa kusadari telah tumbuh dalam jiwaku keinginan untuk belajar bermain gitar.

Sepanjang hampir dua tahun, setidaknya dua minggu sekali, aku belajar gitar dengannya. ‘Belajar’ mungkin bukan kata yang tepat, karena secara formal kami tidak pernah membuat permufakatan bahwa pertemuan itu adalah antara guru dan murid untuk mengajar atau belajar bermain gitar. Aku lebih banyak melihatnya memetik dan memainkan gitar, mengiringinya menyanyikan lagu-lagu pop yang sedang terkenal, dan kemudian kucoba-coba memainkannya sendiri.

Rupanya pertemuan informal bermain gitar seperti  itu sangat membekas dan mempengaruhiku. Aku kemudian jadi bisa memainkan gitar dengan cukup baik. Ukurannya sederhana, aku berani bermain gitar dan menyanyi sendiri dalam perpisahan anak kelas VI SD-ku dan kemudian kucoba lagi menampilkannya pada acara agustusan di kecamatanku. Orang-orang memberi tepuk tangan meriah, mungkin dengan sedikit nada heran, dari kampung santri kok ada anak yang bisa memainkan gitar. Tahunya mereka selama ini orang dari kampung kami hanya pandai bermain hadrah dan gambus.

Demikian sekadar riwayat mengapa aku bisa bermain musik: gitar dan piano. Dalam arti tertentu, kini aku adalah seorang musisi profesional karena asap dapurku pun kuhidupi dari bermain musik. Bahkan aku yakin, istriku yang manis dan jelita, anak seorang saudagar di kota ini, yang telah memberiku sepasang anak yang lucu, jatuh cinta pertama kali padaku karena melihatku bermain musik. Meski ia tidak mengakui dan berulang-ulang mengatakan, TIDAK! Menurutnya, ia tertarik padaku justru karena aku pandai mengaji.

“Pemuda gondrong dan berjins belel itu ternyata pandai mengaji?” katanya mengingatkan pertemuan pertama kami ketika aku menjadi imam salat di tengah-tengah sesi sebuah acara latihan musik untuk sebuah pertunjukan beberapa tahun lalu di mana ia menjadi salah seorang makmumnya.

Penulis dan peneliti. Direktur Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.