Sebagian masyarakat kita bisa jadi ‘belum siap’ menerima keragaman sebagai sebuah kenyataan kehidupan sekaligus anugerah pemberian Tuhan. ‘Belum siap’ dalam artian kadar keadaan mental untuk memahami, memaknai, dan menanggapi perbedaan yang ada. Umpamanya, perbedaan penentuan 1 Ramadan atau perbedaan pilihan dalam kontestasi politik. Cara kita bersikap terhadap yang disebut pertama mungkin sedikit lunak karena berhubungan dengan perbedaan perspektif dalam menjalankan agama. Sementara perbedaan itu sendiri merupakan rahmat.
Di sisi lain, tanggapan kita terhadap yang disebut kedua tidak jarang menyebabkan perpecahan di masyarakat serta berpotensi meremukkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Perbedaan-perbedaan yang demikian memang tidak dapat dimungkiri, namun apabila ditanggapi secara reaksioner justru berdampak merusak daripada membangun kesatuan bangsa.
Pada suatu kali kesempatan, Gus Dur pernah menyitir pernyataan filsuf Prancis, Ernest Renan, bahwa alasan berdirinya suatu bangsa ialah kesamaan kehendak, yakni kehendak untuk bersatu dalam perbedaan-perbedaannya. “L’essence d’une nation est que tous les individus aient beaucoup de choses en commun” (hakikat suatu bangsa adalah bahwa semua individu memiliki banyak kesamaan) (Renan, 1882). Lantas dengan apa dan bagaimana “kesamaan kehendak” itu hendak dibumikan?
Dalam pandangan mistisisme Jawa dikenal istilah “manunggaling kawula-gusti” atau kesatuan relatif hamba dan Tu(h)an; yang oleh raja-raja Jawa, ide ini diturunkan secara politis menjadi kesatuan relasional antara bawahan dan atasan (patron-klien). Kesatuan relasional ini tentu dasar utamanya ialah kesamaan kehendak, sehingga terjalin harmoni dari kedua belah pihak.
Melalui paradigma universalistik dengan mengadopsi konsep-konsep tersebut di atas, saya menggagas “tauhid kebangsaan” sebagai analitik-semu yang berupaya mengetengahkan nilai-nilai ideal ketuhanan yang sakral dan kemanusiaan yang sosial. Tauhid dalam hal ini dimaknai bukan hanya sebagai kredo keyakinan religius terhadap wujud dan sifat Yang Mahakuasa, tetapi menjadi samudera kesadaran interpersonal sekaligus tindakan rasional untuk menyatukan kehendak, tekad dan iktikad dalam membangun kesatuan bangsa. Istilah ini mungkin dianggap sedikit ‘dipaksakan’—saya pun tidak membantah sepenuhnya—, namun ‘tauhid kebangsaan’ boleh disebut sintesa dua dari sembilan nilai utama Gus Dur yang mesti diperjuangkan, yakni ketauhidan dan kemanusiaan.
Kesadaran interpersonal maupun tindakan rasional yang merefleksikan “tauhid kebangsaan” yang esensinya kesatuan sosial ini kiranya dapat diwujudkan melalui penghargaan terhadap moralitas dan perilaku-perilaku yang sesuai dengannya. Bukan malah sebaliknya, yang nyatanya tidak sedikit kelompok-kelompok tertentu yang melakukan ‘objektifikasi tauhid’ untuk kepentingan-kepentingan menjatuhkan lawan politis, atau menyalahgunakannya dengan membawa embel-embel tauhid untuk tuduhan-tuduhan negatif—atau bahkan provokatif (sesat, bidah, kafir)—pada saudara seiman yang berbeda perspektif dalam menjalankan keyakinannya.
Dewasa ini kita dihadapkan oleh situasi pandemi yang melanda secara global. Permasalahan yang dilematis muncul: penanganan kesehatan atau pemulihan ekonomi nasional. Belum lagi inkonsistensi kebijakan yang dikomunikasikan oleh para pejabat publik sampai isu-isu terkait pandemi yang dipelintir sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok tertentu yang bertujuan menjadikannya polemik di akar rumput. Di balik itu semua, kiranya kita mawas diri dan memaknai pandemi sebagai titik balik masyarakat kita yang khas: gotong-royong, saling tolong-menolong tanpa memandang latar belakang agama, etnis dan golongan.
Pandemi global yang diakibatkan oleh virus ini telah menyadarkan kita akan hakikat rasa saling memiliki (sense of belonging) antarsesama, kesatuan kehendak senasib seperjuangan, menempatkan kita di atas dasar kesetaraan, dan menyatukan kita dalam kebutuhan untuk membuat pendirian bersama. “Hari ini, dan dalam segala hal”, tulis Jean-Luc Nancy, “kita diingatkan akan kebersamaan, saling ketergantungan, dan dalam solidaritas” (Nancy, 2021). Semangat “tauhid kebangsaan” dalam konteks ini dilandasi oleh ajaran: tolong-menolonglah dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam kejahatan, yang sejalan dengan rumusan etis: nihil appetimus, nisi sub ratione boni; nihil aversamur, nisi sub ratione mali (tidak menghendaki apa pun kecuali kebaikan, tidak menghindari apa pun kecuali keburukan).
Adapun pandangan ke depannya pascapandemi, fokus kita bukan lagi hanya soal penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi, tetapi melampaui keduanya yakni pembangunan di segala dimensi kesemestaan, mulai dari reformulasi dan perbaikan sistem pendidikan, penegakan sistem hukum yang berkeadilan, pengembangan pelestarian kebudayaan, sampai pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lantas di mana posisi “tauhid kebangsaan”? Posisi “tauhid kebangsaan” tidak jauh dari apa yang disebut dengan modal sosial (social capital) dalam pembangunan kesemestaan tersebut. Modal sosial merupakan keberadaan seperangkat nilai atau norma informal tertentu yang dimiliki bersama di antara anggota kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka (Fukuyama, 1996).
Sumber nilai “tauhid kebangsaan” dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan di atas, mengacu pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Modal sosial memang tidak tampak, tetapi dapat dirasakan. Sensibilitas kolektif kita pada penindasan kelompok-kelompok subkultur tertentu atau pencemaran lingkungan pada wilayah tertentu, umpamanya, dapat dikatakan pendorong alamiah (elater animi) pada terbentuknya modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat.
Setidaknya terdapat tiga komponen modal sosial: kepercayaan (trust), nilai/norma (norms), dan ikatan sosial (networks). Pertama, kepercayaan berkaitan dengan harapan proporsional yang disertai pertimbangan rasional yang tumbuh di tengah masyarakat. “Tauhid kebangsaan” menjiwai keseimbangan optimisme (harapan) dengan aktivisme (ikhtiar) yang didasarkan pada rukun iman: percaya pada ketetapan Yang Mahakuasa.
Kepercayaan dalam ruang “tauhid kebangsaan” bermakna saling memahami satu sama lain baik dengan sesama rakyat maupun pada pemangku kebijakan. Kesuksesan pelaksanaan vaksinasi, misalnya, sebagai ikhtiar dalam menanggulangi pandemi dan pemulihan kesehatan dibutuhkan rasa saling percaya secara resiprokal antarelemen masyarakat. Kedua, nilai atau norma mengacu pada bagaimana idealnya individu bertindak di dalam masyarakat. Hati nurani menjadi tolok ukur segala tindakan. Apakah kita akan membela perilaku kekerasan seksual? Apakah kita akan membenarkan tindakan suap, korup, menyalurkan birahi kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan, perusakan hutan ‘demi’ pembangunan? Atau justru sebaliknya?
Terakhir, ikatan sosial menitikberatkan pada relasi bermakna antarsubjek dalam masyarakat yang nirketegangan karena adanya kesamaan kehendak. Dalam hal ini “tauhid kebangsaan” diwujudkan secara afektif dengan saling mendukung dan saling bekerja sama, yang didasari oleh prinsip-prinsip seperti kesetaraan, keadilan dan kesukarelaan. Maka, boleh jadi apa yang dimaksud “tauhid kebangsaan” bukan sekedar ekspresi bisu gagasan setengah hati, tetapi diharapkan menjadi cetak biru modal non-ekonomis masyarakat untuk membangun komunitas yang kuat: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.