Ketika Ketauhidan Berada di Tangan Gus Dur

Kajian tentang tauhid sering kali menjadi anti-mainstream tersendiri teruntuk kalangan awam umat muslim. Kajian ini juga tergolong kajian yang terbatas—yang tidak semua orang dapat menangkap maknanya. Dalam mengkaji ilmu ketauhidan harus sudah memiliki fondasi ilmu syariat yang kuat. Jika belum, dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan dalam bersosial dan bermasyarakat.

Makanya, kajian ini tidak banyak dikaji secara luas ataupun secara daring (dalam jaringan). Contoh salah satu kelompok pelaku anarkis yang salah kaprah dalam menerapkan ketauhidan adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Meskipun saat ini organisasi ini sudah dibekukan, akan tetapi narasi-narasi ajaran ketauhidan yang dikemas oleh JAD masih menjadi rujukan masyarakat sebagian kecil.

Dan sebagian besar lainnya, Abou el Fadl menyebutnya sebagai mayoritas-diam (silent majority) (Khaled Abou el Fadl, 2006: 17). Secara ontologis, Abou membagi pergerakan kelompok Islam ke dalam dua kubu besar, yakni moderat dan puritan. Kelompok puritan yang ia gagas tidak lain adalah para pejalan ekstrem Islam. Mungkin tidak sedikit dari kita yang tahu teks naratif asli dari mereka yang digunakan untuk memperoleh simpati dari umat muslim lainnya.

Dan mungkin saja kita hanya mengetahui secara teoretik saja, bahwa para jihadis itu ingin memperoleh bidadari cantik di surga atau ingin membangun kembali kerajaan Tuhan dengan sistem khilafah agar tercapai hukum Allah, dan masih banyak lainnya. Kiranya belum puas hasrat kita untuk menandingi narasi yang demikian jika tidak membaca langsung dari teks aslinya.

Maka dari itu, penulis ingin menukil teks olah narasi aslinya yang disusun oleh Aman Abdurrahman (kepala suku JAD). Buku tersebut bertajuk Seri Materi Tauhid, yang berisikan kumpulan materi ketauhidan yang serba ekstrem yang memerangi tagut dan pengingkaran-pengingkaran terhadap sistem demokrasi di Indonesia beserta falsafahnya, Pancasila. Aman Abdurrahman adalah dedengkot Islam garis keras Indonesia yang paling garang dalam mengaplikasikan ketauhidan. Di Indonesia ia dijuluki ‘Singa Tauhid’ sebagai representasi keberaniannya dalam mengekspresikan ketauhidan. Berikut nukilan narasinya:

“Andai kata ‘La ilaha illallah’ itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin akan terjadi apa yang menimpa mereka. Sekarang misalnya kita mengucapkan ‘La ilaha illallah’ di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan ‘La ilaha illallah’ maka akan terjadi apa yang (mesti) terjadi: berupa orang-orang menggunjing, orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut akan mengejar dan  memenjarakan… itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya” (Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, 2015: 16).

Dari orasi naratif tersebut, kita bisa tahu bahwa mereka telah siap dengan segala konsekuensi yang akan mereka terima apabila mengamalkan ketauhidan. Sehingga tidak heran bilamana mereka berani mengorbankan dirinya guna mengabdikan hidupnya kepada Tuhan sebagai prajurit sejati. Tujuannya tak lain adalah untuk mengamalkan kalimat yang paling utama dan kunci untuk dapat masuk Islam (tidak kafir) dan dapat selamat dari kekafiran yang menyengsarakannya esok di akhirat.

Dampak dari pemahaman ketauhidan yang salah kaprah ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat, bahkan mencederai wajah Islam itu sendiri. Hal ini terbukti dari kecaman masyarakat dunia setelah peristiwa 11 September 2001 silam. Fenomena Islamofobia menjadi salah satu bukti faktual atas rusaknya paras Islam di kancah masyarakat global. Di sinilah letak pentingnya membumikan ketauhidan yang digaungkan oleh Gus Dur untuk memperbaiki citra Islam di hadapan global society. Sebelum ke wilayah ketauhidan, kiranya perlu membahas sedikit tentang universalisme Islam ala Gus Dur.

Dalam keuniversalismenya tentang Islam, Gus Dur tidak langsung main comot sana-sini dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi dalam menjelaskan suatu peristiwa, melainkan hanya merujuk pada teori-teori ushul fiqh. Teori-teori ini disebut al-daruriyat al-khamsah (lima hal dasar agama). Teori-teori ini dimaksudkan untuk memelihara kesejatian agama dan kepercayaan kepada Tuhan.

Sejalan dengan namanya, yakni ada lima hal pokok yang harus dijaga, antara lain: hifz al-din, menjaga agama; hifz al-nafs, menjaga jiwa; hifz al-aql, menjaga akal; hifz al-nasab, menjaga keturunan; dan hifz al-mal, menjaga harta. Di tangan Gus Dur, hifz al-din ini bukan hanya dimaknai untuk menjaga agama Islam saja, melainkan agama orang lain juga. Sehingga di tangan Gus Dur, ketauhidan justru menjadi spirit untuk melakukan pembelaan dalam hal kebebasan beragama dan keyakinan.

Misal lainnya yaitu hifz al-aql, yang dalam kitab-kitab fiqih klasik selalu dicontohkan dengan larangan meminum minuman keras. Tetapi ketika sampai di tangan Gus Dur, hifz al-aql bukan hanya tentang itu, Gus Dur lebih jauh memaknainya sebagai keharusan untuk menjaga akal dan mengasah kecerdasan (Ainul Fitriah, 2013: 50-56).

Jika menilik pemikiran Gus Dur, maka tak lepas dari sembilan poin keutamaan yaitu: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, serta kearifan tradisi. Khusus dalam esai ini, penulis hanya memaparkan poin yang pertama saja, ketauhidan. Nilai-nilai yang terkandung dalam ketauhidan telah berhasil disingkap oleh Gus Dur dan mewujud berupa penegakan nilai-nilai kemanusiaan.

Sudah tentu jelas bertolak belakang sekali dengan kekerasan atas nama agama yang mengancam populasi manusia. Di tangan Gus Dur, ketauhidan menjadi tangan yang merangkul kemanusiaan dalam persaudaraan dan kebersatuan. Bukan menjadi tangan-tangan kasar, baku hantam, lempar bom sana-sini, seolah manusia tak lebih dari patung-patung serta mainan belaka—hanya menjadikan Tuhan dan agama sebagai legitimasi tangan-tangan perusak kedamaian.

Fenomena seperti ini, menurut John Simon, terjebak dalam Soteriologis—yakni prasangka bahwa kelompoknyalah yang paling benar dan yang lain dijamin ‘masuk neraka’ (John Simon, 2012: 74). Mereka menganggap aktualisasi ketauhidannya telah benar tanpa peduli impact-nya. Padahal, setiap manusia memiliki hak untuk hidup, hak untuk menjaga harta, hak untuk menjaga keturunan, hak untuk menjaga akal, dan hak untuk menjaga agamanya masing-masing.

Oleh karenanya, Gus Dur dalam ketauhidannya (ajaran tauhid) ingin memperbaiki subordinasi pemahaman tauhid dan memelihara nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana satu di antara al-daruriyat al-khamsah yang harus dijaga bersama. Dengan kata lain, tauhid tidaklah serendah seperti yang dipahami kelompok puritan dengan menghancurkan kemanusiaan.

Sebagaimana buku bertajuk Tuhan Tidak Perlu Dibela yang memuat tulisan-tulisan Gus Dur, sebenarnya nilai-nilai ketauhidan sudah terangkum dalam tajuk tersebut. Karena bagaimanapun juga, Tuhan dapat membela diri-Nya sendiri tanpa harus meminta pembelaan ciptaan-Nya (manusia). Sehingga kita tidak perlu repot-repot belajar merakit bom hanya untuk membela Tuhan. Sebagaimana kata-kata pamungkas Gus Dur, esai ini ditutup dengan kata-kata khasnya “Gitu aja kok repot”.

Wallahu A’lam.

Alumnus Pondok Pesantren Modern Al-Kautsar Banyuwangi. Saat ini sedang menempuh jenjang S1 di UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur.