Cukup banyak julukan bagi seorang (alm) KH Abdurrahman Wahid—akrab dipanggil Gus Dur. Mulai sebutan kiai yang memang sudah kadung populer karena ia lahir dan besar dari keturunan darah biru pesantren, hingga julukan budayawan, seniman, politikus, sosok humanis, negarawan, dan lain-lain. Terakhir, julukan paling tenar setelah Gus Dur dipanggil Sang Pencipta hingga saat kini, Gus Dur disebut Guru Bangsa.
Mungkin kalau semasih hidup ia dijuluki Guru Bangsa, Gus Dur pasti menolak. Kalau tak menolak, boleh jadi Gus Dur ketawa, dengan ketawa khas yang sering ia tunjukkan kepada siapa saja; keluarga, kerabat, lawan politiknya. Tapi sayang, mungkin di hatinya tak terbersit sedikit pun kalau nanti setelah dirinya sudah tak ada lagi di muka bumi ini, dianugerahi sebutan Guru Bangsa.
Hemat saya—tanpa mengurangi pengetahuan orang yang dekat dengan Gus Dur, agaknya Gus Dur merasa lebih asyik disebut pejuang kemanusiaan (tokoh humanisme) ketimbang sederet panggilan atau julukan yang orang lain sematkan terhadapnya.
Argumen di atas, bukan tak berdasar. Melainkan tercermin pada prasasti makam yang tertulis “Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan”. Tulisan tersebut dibuat dalam empat bahasa; bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan bahasa Mandarin. Prasasti yang berukuran 115 x 60 sentimeter dan tinggi 45 sentimeter itu khas dan unik, lantaran tersusun dari tiga variasi batu. Juga representasi dari tiga peradaban dan telah berusia ribuan tahun.
Batu besarnya adalah Verde Patricia, marmer hijau yang berasal dari India. Di tengahnya terdapat onyx hijau yang berasal dari Persia. Sementara, tulisan yang berisi pesan Gus Dur dalam empat bahasa dipasang di Statuario, yang merupakan batu marmer dari Italia.
Gus Dur meninggalkan bangsa ini pada Rabu, 30 Desember 2009. Kompleks pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng Jombang menjadi pilihan bagi orang-orang terdekatnya. Tempat peristirahatan Gus Dur berdekatan dengan makam kakeknya, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama serta ayahanda tercinta Gus Dur, KH Abdul Wahid Hasyim, sang pembaharu pesantren.
Kemanusiaan
Prasasti makam Gus Dur tak bisa lepas begitu saja dengan misi kemanusiaan yang Gus Dur perjuangkan selama hayatnya. Tak heran, siapa pun; dari kalangan mana pun jika direnggut kemanusiaannya, Gus Dur selalu angkat bicara ‘melakukan pembelaan’. Ia tak pernah peduli betapa besar risiko yang harus ia pikul akibat sikap dan tindakan (action). Ini memang jalan terjal yang mesti dilewati Gus Dur, sangat beda dengan tokoh/figur kebanyakan yang cemas ketika reputasinya diluluhlantakkan oleh badai caci maki manakala ‘membela kebenaran’.
Begitulah. Lebih jauh, tulisan pada prasasti, menyatakan betapa Gus Dur begitu mencintai kemanusiaan. Misi “kemanusiaan” yang diperjuangkan dan “tulisan prasasti” tersebut tidak lain nafas hidup yang diidamkan, kemudian ia konstruksi sebagai sebuah pesan; pemikiran (thought) agar bisa diikuti generasi anak bangsa berikutnya. Tak ayal, ia sangat berharap pemikiran “kemanusiaan”. Pendek kata, apa yang diwasiatkan Gus Dur kepada santri, muridnya, melalui Khofifah (sekarang gubernur terpilih Jawa Timur) menjadi simbol betapa ia memang lebih senang dijuluki pejuang kemanusiaan, tanpa mengurangi peran dan perjuangan Gus Dur di bidang-bidang yang lain.
Menurut pengakuan Khofifah—yang mantan menteri era Gus Dur, beliau berpesan, “Agar saat meninggal nantinya di makam saya, kata Gus Dur, diberi tulisan “Here rests a humanist” artinya: di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan.
Alhasil, Gus Dur figur beda, dibanding tokoh-tokoh bangsa. Gus Dur tidak an sich getol bersuara tetapi juga langsung bertindak membela kemanusiaan. Barangkali tidak keliru jika dikatakan Gus Dur, ternyata lebih senang dengan julukan pejuang kemanusiaan, ketimbang sederet julukan yang pernah disematkan orang-orang yang mengapresiasi perjuangannya. Kemanusiaan, Gus Dur posisikan begitu tinggi.
Selaras bahwa Islam adalah agama yang mengayomi seisi jagad raya (rahmatan lil alamin). Juga, “Sebaik-baik manusia adalah yang berbuat baik terhadap sesama manusia”.
______________
Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id