Alissa Wahid bersama delapan orang dari Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian bertakziah ke kediaman Ahmad Syafii Maarif atau yang kerap disapa Buya Maarif pada Senin (30/5) malam. Saat tiba, rombongan tersebut disambut langsung oleh istri Buya Maarif, Nurkhalifah dan putranya, Mohammad Hafiz di rumahnya di bilangan Nogotirto, Gamping, Sleman.
Dalam percakapannya, Alissa mengungkapkan duka cita yang mendalam dan rasa kehilangannya atas kepergian Buya Maarif. Menurutnya, Buya Maarif adalah sosok yang penting bagi bangsa Indonesia.
“Saya beserta teman-teman dari Jaringan GUSDURian mengungkapkan bela sungkawa yang mendalam atas kepergian Buya. Saya pribadi merasa kehilangan sosok yang selama ini bisa menjadi teladan bagi bangsa ini,” ungkap Alissa.
Alissa menambahkan bahwa kesederhanaan Buya Maarif adalah sikap yang mulai hilang pada generasi masa kini. Terlebih ketika mereka merasa memiliki jabatan dan selalu menginginkan perlakuan istimewa.
“Sekarang siapa orang sekaliber Buya yang masih melakukan banyak hal sendirian?” terang Alissa. “Sebaliknya, malah banyak pejabat yang minta perlakuan ekstra. Di bandara saja tidak mau antri, maunya didahulukan,” tambah Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian tersebut.
Senada dengan Alissa, Nurkhalifah juga menceritakan kisah kesederhanaan dan perjuangan suaminya selama ini.
“Buya sering ke mana-mana sendiri. Kalau di rumah sedang masak dan ada bahan yang kurang, Buya langsung pergi membeli ke warung. Beli garam, beli kelapa setengah potong, naik sepeda,” ucap perempuan yang biasa dipanggil Umi tersebut. Ia juga menambahkan bahwa selama di rumah Buya selalu mencuci bajunya sendiri.
Ketika ditanya tentang perjalanan hidupnya bersama Buya Maarif, Umi menjelaskan bahwa hidupnya dengan Buya sempat berpindah-pindah, baik karena Buya sedang menjalani studi atau karena mengajar.
“Dulu kami sempat tinggal di luar negeri. Di Ohio, di Kanada, di Malaysia, dan di Chicago. Buya empat tahun di Chicago, dan kami baru menyusul di tahun terakhir. Dulu mahasiswa boleh membawa keluarganya tinggal bersama dengan syarat nilainya bagus. Jadi selama di sana Buya di perpustakaan terus, biar nilainya bagus, biar keluarganya bisa menyusul,” tutur Nurkhalifah sambil tersenyum.
Di akhir percakapan, Alissa menceritakan bahwa Buya Maarif tidak jauh berbeda dengan Gus Dur. Baginya, keduanya merupakan sosok yang berani dan selalu memikirkan nasib masyarakat.
“Satu perkataan Buya yang sampai saat ini saya pegang adalah ‘negara ini surplus politisi tapi minus negarawan’. Sepertinya setelah ini, kami mohon izin untuk sering mengutip perkataan dan pemikiran Buya, seperti selama ini teman-teman GUSDURian mencoba melestarikan pemikiran Gus Dur. Ini penting karena kedua sosok inilah yang akan lebih didengar oleh masyarakat,” kata Alissa.