Komunitas GUSDURian Cirebon gelar seminar “Indonesia Rumah Bersama” pada Senin (6/6/2022) lalu. Acara yang berlangsung di kampus Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Majasem Kota Cirebon tersebut mengangkat tema “Merawat Kebhinekaan dalam Bingkai Keindonesiaan”.
Seminar tersebut menghadirkan Dr. Drs. Bangun Sitohang, MM dari Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Romo Antonius Haryanto, Pr dari Rohaniawan Katolik, Komala Dewi dari Fahmina Institut, dan Rektor ISIF KH. Marzuki Wahid sebagai keynote speaker.
Dalam sambutannya, Mukhibullah sebagai perwakilan dari Sekretariat Nasional GUSDURian menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas terselenggaranya acara seminar ini. Karena terselenggaranya acara seminar tersebut merupakan kerja sama antara Seknas GUSDURian, Komunitas GUSDURian Cirebon, Polpum Kemendagri, dan Institut Studi Islam Fahmina Cirebon.
“Tujuan dari diadakannya seminar Indonesia Rumah Bersama ini adalah untuk menyebarluaskan narasi keislaman, keindonesiaan, dan kebangsaan yang selaras dengan nilai-nilai kemajemukan, perdamaian dan demokrasi. Serta memperkuat dukungan terhadap kampanye narasi perdamaian, keterbukaan, dan toleransi di kalangan masyarakat,” ujar pria yang akrab disapa Mukhib tersebut.
Sejalan dengan itu, KH. Marzuki Wahid mengatakan bahwa ia setuju dengan istilah Indonesia Rumah Bersama. Menurutnya, jika Indonesia diibaratkan sebagai rumah, maka di situ terdapat proses di dalamnya.
“Ada sejarah, ada orang-orang yang ikut mendirikan rumah itu, ada pilar-pilar atau saka yang menyanggah rumah itu sehingga rumah itu bisa kokoh. Kalau Indonesia rumah bersama, ada kata “bersama”, berarti bukan rumah kelompok, bukan rumah individu, tapi rumah bersama,” terang KH. Marzuki.
Dalam sesi diskusi Dr. Bangun Sitohang mengatakan bahwa pendidikan kebangsaan harus diajarkan pada generasi muda hari ini.
“Pendidikan kebangsaan harus ditanamkan sejak dini. Karena generasi yang paling banyak saat ini adalah generasi milenial, gen Z, dan post Z. Jumlahnya mencapai 60% lebih. Ketika berbicara Bhineka Tunggal Ika, jumlah generasi yang 60% ini yang harus difokuskan. Bangsa ini harus dirawat,” ungkap Dr. Bangun.
Berbicara tentang Pancasila dan kebhinekaan, Romo Antonius Haryanto menyampaikan bahwa ternyata sebagian besar generasi milenial masih banyak yang tertarik dengan Pancasila.
“Sebanyak 33,74 % itu mampu menyebutkan teks dan lambang Pancasila dengan benar, kemudian menyebut hampir benar 85,15 % lima sila Pancasila, 9,3% persen menyatakan tidak setuju jika Pancasila diganti, 39,29% memberikan jawaban tidak tahu, dan 18,59% Gen Z bersuara bahwa dasar untuk Indonesia semestinya Pancasila dan tidak boleh diganti. Sedangkan hanya 7,7% gen Z yang berpendapat bahwa Islam menjadi pengganti Pancasila.”
Komala Dewi sebagai aktivis keberagaman dan keadilan gender menyebutkan bahwa tantangan saat ini bukan hanya ada di dunia maya, akan tetapi tantangan dunia nyata yang lebih berbahaya dan mengkhawatirkan bagi masa depan Indonesia.
“Jawa Barat hari ini merupakan provinsi yang indeks keberagamannya sangat rendah. Dan salah satunya adalah Cirebon. Cirebon disebut oleh aparat sebagai zona merah karena selalu berkontribusi dalam aksi terosisme,” kata Komala Dewi.
Saat sampai di penutup sesi diskusi, Marleni Adiya sebagai moderator mengatakan bahwa merawat kebhinekaan dan Indonesia sebagai rumah bersama adalah upaya yang tak boleh berhenti.
“Kebhinekaan merupakan sebuah upaya keberanian kita untuk memperkuat kesadaran berbangsa dan bernegara. Indonesia rumah bersama itu selesai, tetapi merawat kebhinekaan adalah suatu kerja keras yang tidak bisa berhenti. Membutuhkan keberanian, membutuhkan pengarusutamaan, semua orang berani atas dirinya sendiri, merasa memiliki bangsa ini sehingga kita memperkuat kembali tujuan bersama bahwa bangsa ini adalah rumah bersama dan Pancasila menjadi perekat bangsa untuk menuju suatu tujuan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” tutup co-coordinator GUSDURian Jawa bagian barat tersebut.