Difabel Diaibkan Keluarga, Masih Diabaikan Negara

Bukbis Candra Ismet Bey, Project Multatuli
29 Maret 2022

Peringatan: Cerita dalam artikel ini bisa memicu trauma


Selayaknya seorang adik yang membutuhkan kasih sayang kakaknya, Cicih diperlakukan sebaliknya. Cicih mengalami perlakuan diskriminatif oleh kakak-kakaknya karena kondisi disabilitasnya. Setelah orang tua mereka meninggal, Cicih tidak mendapatkan hak waris. Ia dilarang membuat identitas diri sehingga namanya dihilangkan dari kartu keluarga.

Cicih bukan nama sebenarnya. Ia difabel Cerebral palsy, penyakit yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh. Diasingkan dan dibuat tidak terlihat oleh saudara kandungnya membuat Cicih mengalami masalah kesehatan mental.

Apa yang dialami Cicih menggambarkan stigma yang masih awet dari lingkungan keluarga hingga masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Stigma itu menempatkan mereka dipandang sebagai anggota masyarakat tidak produktif, sekalipun negara telah memperbarui pengakuan hak-haknya lebih progresif lewat Undang-Undang Penyandang Disabilitas tahun 2016 berkat perjuangan kelompok difabel belasan tahun lamanya.

Mereka kemudian disembunyikan, terlantar, dan tersingkir. Tak sedikit difabel, terlebih dari keluarga miskin, yang sangat susah mengakses pendidikan, kesehatan, dan layanan publik. Hak-hak dasarnya tercerabut.

Mengalami Perundungan di Sekolah

Jam pelajaran selesai. Bel tanda pulang dibunyikan. Nana masih menunggu ibunya tiba di sekolah menjemputnya ketika mendengar kakak kelasnya berkata:

“Kalau tidak bisa berjalan, jangan sekolah.”

Nana bukan nama sebenarnya. Peristiwa lima tahun lalu itu masih terekam. Lebih-lebih orang-orang di sekitarnya hanya diam. Nana belum lama mengawali sekolah sebagai siswa kelas 1. Saat itu usianya enam tahun.

Nana terlahir dengan kondisi kaki Congenital talipes equinovarus (CTEV). Kemampuan terbatas pada kakinya mengharuskannya menggunakan kursi roda saat berangkat sekolah. Sebelum memiliki kursi roda, ibunya menggendong Nana ke sekolah, mendudukkannya di bangku, dan menunggunya sampai jam pulang.

Ia membayangkan sekolah tempat menyenangkan: bisa menimba ilmu sekaligus bertemu dengan teman baru. Namun, bayangan itu seketika sirna. Ia malah mengalami perundungan. Dianggap berbeda karena tidak bisa menggunakan sepatu, tidak bisa berjalan, dan tidak bisa berlari sebagaimana anak-anak lain.

Nana tak sanggup menerima ejekan itu. Ia merasa disingkirkan. Sekolah tidak seindah harapannya.

“Karena kejadian itu saya memilih untuk tidak bersekolah. Apalagi Mamah juga kesulitan untuk mengantar saya ke sekolah. Kasihan Mamah,” ucapnya.

Pengalaman itu berdampak pada kedua adiknya, Ujang dan Siti. Ibu dan neneknya berpikir tidak menyekolahkan keduanya karena takut mendapat perundungan seperti Nana. Ujang dan Siti bukan nama sebenarnya. Kedua kaki mereka juga memiliki keterbatasan.

“Adik-adiknya mungkin mau dimasukkan ke pendidikan anak usia dini. Nah, setelah dari PAUD, saya tidak tahu karena takut mengalami apa yang Nana alami di sekolah,” ujar nenek Nana.

‘Saya Sudah Capek Dilempar-lempar Keluarga’

Sepuluh butir Bodrex ditelannya tapi ajal tak juga menjemput. Jajang melakukan percobaan bunuh diri setelah bertahun-tahun mengalami kelumpuhan dari dada hingga kaki akibat kecelakaan kerja sebagai sopir pengantar sayuran. Sejak itu ia hanya terbaring di kasur. Saat menghadapi kelumpuhan, ia ditinggalkan keluarganya.

“Sekitar satu tahun setelah kecelakaan, istri saya memilih pisah. Saya tidak melarang karena saya sadar tidak bisa apa-apa. Begitupun anak-anak meninggalkan saya,” kisah Jajang, bukan nama sebenarnya.

Jajang telah terbaring di kasur selama 17 tahun. Setelah ditinggal keluarga terdekat, Jajang diurus saudara-saudaranya.

Namun, Jajang merasa disingkirkan. Beberapa kali Jajang dipindahkan karena saudaranya tak sanggup lagi mengurusnya, sampai akhirnya diurus oleh bibinya.

“Saya bingung nanti yang akan mengurus saya siapa? Alhamdulillah ada saudara. Saudara saya sudah capek, dilempar saya ke tempat saudara yang lain di Pangalengan. Yang di Pangalengan sudah capek, dilempar lagi saya ke Ciparay. Dan yang di Ciparay juga capek, dilempar lagi saya ke Cimahi.”

“Alhamdulillah saya sudah kenyang dengan cobaan ini. Semoga cobaan ini bisa menjadi kekuatan dalam hidup dan menjadi penebusan untuk dosa-dosa saya.”.

Kini Jajang terbaring di kasur dalam ruangan seluas 1,5 x 3 m². Sejak bibi yang mengurusnya wafat tahun lalu, Jajang akhirnya diurus anak laki-lakinya.

“Saya paksa anak saya tinggal di sini supaya bisa mengurusi saya … meskipun saya tidak bisa mengandalkan anak saya juga.”

‘Difabel Bukan Hanya Urusan Keluarganya, Tapi juga Komunitas’

Para penyandang disabilitas memiliki kemampuan meski terbatas. Kehidupan Handayani adalah kesaksiannya.

Handayani tidak dapat berjalan sempurna karena polio. Keterbatasan fisik itu tidak menghalanginya membantu sesama difabel. Bersama suaminya, Ajo, ia rajin melakukan konseling, pendataan, dan penyaluran bantuan dengan menggunakan motor modifikasi roda tiga.

Handayani bergabung dalam Bandung Independent Living Center (BILiC) pada 2005, dua tahun setelah organisasi difabel tersebut berdiri. Organisasi ini diinisiasi oleh mahasiswa arsitektur Institut Teknologi Bandung dengan fokus pada advokasi dan penguatan melalui konseling terkait seluruh ragam disabilitas.

Berbekal pengalaman di BILiC, ibu dua anak ini bersama beberapa kawan mendirikan RUMI, kependekan dari Rumah Inklusi Indonesia, organisasi yang memperjuangkan disabilitas dan nasib difabel di Kabupaten Bandung. Di organisasi ini Handayani rutin melakukan survei lapangan untuk menemukan permasalahan penyandang disabilitas, memberikan konseling, dan menyalurkan bantuan dari donatur.

Temuannya, banyak penyandang disabilitas yang tidak “terlihat” atau belum dijangkau pemerintah. Pemahaman keluarga dan para pemangku kebijakan pun masih minim.

“Ada ketidakpercayaan keluarga terhadap anak difabel bahwa anak itu mampu, butuh bantuan, dan bisa berkembang,” katanya.

Handayani mengungkapkan keheranannya atas penghargaan “peduli difabel” dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada Pemerintah Kabupaten Bandung pada 4 Desember 2021, seiring peringatan hari disabilitas internasional.

“Karena dari segi infrastruktur dan layanan publik di Kabupaten Bandung masih sangat menyulitkan untuk penyandang difabel,” ujarnya.

Handayani berharap pemahaman keluarga tentang disabilitas ditingkatkan. Masyarakat juga harus turut melindungi penyandang difabel di lingkungannya.

“Ketika ada difabel di situ, berarti urusan kita semua. Bukan hanya keluarganya.”

Mulai Pendekatan ke Keluarga, Edukasi Masyarakat dan Pemangku Kebijakan

Handayani berkata salah satu tantangan besar mengikis stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah penerimaan dan minimnya kesadaran dari keluarga.

Keluarga-keluarga yang menyembunyikan anak atau saudara difabel karena merasa “malu”, masih memandang difabel itu aib, pemalas, menyusahkan, tak berdaya.

Lewat organisasinya, Handayani berjuang supaya Kabupaten Bandung memiliki perda untuk penyandang disabilitas. Kerja-kerja advokasi kebijakan ini dilakoni bersama salah satunya dengan Sapa Institute, organisasi pendidikan dan penguatan komunitas dan kelompok marjinal di Kabupaten Bandung.

“Kami berusaha supaya terdapat perda di Kabupaten Bandung sehingga dasar hukumnya kuat. Apalagi para pemangku kebijakan di tingkat daerah masih menggunakan penulisan kategori difabel itu dengan kata-kata tuli, tangan buntung, kaki buntung, buta,” tegasnya.

Handayani berharap perda itu nantinya bisa menjadi perangkat edukasi kepada masyarakat supaya lebih banyak ruang dan inisiatif inklusi bagi difabel. Tujuan jangka panjangnya, para difabel bisa mendapatkan haknya dan lepas dari stigma masyarakat.

Koordinator program Sapa Institute, Dindin Syarifudin berkata akan segera menyelesaikan pengajuan perda difabel tersebut. Bersamaan itu, ada hal lain tidak kalah penting, yakni meningkatkan kesadaran para pemegang kebijakan tentang difabel karena akan berpengaruh terhadap pelaksanaan perda nantinya.

“Saat ini kami baru audiensi dengan Dinsos Kabupaten Bandung. Insyaallah secepatnya kami mulai advokasi ke daerah terutama ke tingkat legislatif. Minimal mereka mempunyai pemahaman terlebih dulu mengenai difabel karena perda atau kebijakan itu hanya salah satu perangkat. Perangkat itu tidak akan maksimal kalau pemahaman dan kapasitas yang akan menjalankan kebijakan tersebut tidak ada,” paparnya.

Dindin menjelaskan apa yang dialami Cicih, Nana, dan Jajang merupakan segelintir kisah. Jumlah penyandang disabilitas yang selama ini muncul didapat hanya dari mereka yang melapor.

Upaya Handayani lewat Rumah Inklusi Indonesia (RUMI), misalnya, menemukan 20 difabel berat, termasuk orang dengan disabilitas mental, antara akhir 2018 hingga awal 2022 yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah setempat. Ada pengaduan orang dengan disabilitas mental dikurung ibu angkatnya dan akhirnya diurus oleh pengurus RT/RW setempat, kata Handayani.

“Fenomena difabel seperti kekerasan terhadap perempuan, fenomena gunung es,” ujar Dindin. “Karena selain data dari pemerintah yang tidak jelas, banyak keluarga yang menyembunyikan identitas keluarganya yang difabel karena masih menganggapnya aib.”


Editor: Alex Sastro

Pembaca bisa berdonasi untuk kerja-kerja kemanusiaan untuk difabel di Bandung

Bandung Independent Living Center (BILiC)

Bank Mandiri KCP Bandung Gatsu 13109131-00-1729534-8 a.n Yayasan Muara Hati untuk willayah Kota Bandung

Rumah Inklusi Indonesia (RUMI)

Bank Central Asia 2831381894 a.n Handayani untuk wilayah Kabupaten Bandung



Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.