Tidak satu pun agama mengajarkan kebencian. Lebih-lebih kebencian dengan alasan perbedaan agama. Meski demikian, tindakan kebencian semacam itu sering terjadi. Seperti yang pernah dialami oleh Suryono, mantan Majelis Gereja Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Pengalaman pahit itu dialaminya saat masih bermukin di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Meski saat ini desa tersebut sudah hilang-terkubur oleh Lumpur Lapindo, kenangan itu masih hidup dalam ingatannya.
Waktu itu, rumah Pak Sur (sapaan akrabnya), berdekatan dengan sebuah musala. Sebagaimana kebanyakan musala di desa, rata-rata hanya memiliki pengeras suara luar. Pun dengan takmirnya, belum atau kurang memiliki pemahaman yang substantif dalam pelaksanaan syiar agama dengan menggunakan pengeras suara. Apalagi, ketika takmir dan warga setempat mengetahui Pak Sur beragama Kristen, Toa itu pun akhirnya diarahkan menghadap ke rumahnya.
“Saat itu saya benar-benar terganggu. Bukan karena adzan, pujian, dan dzikirnya. Tetapi, suara dan arah toa itu yang menganggu,” ujarnya saat menghadiri tasyakuran dalam perayaan Idul Adha oleh Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan, Minggu (10/7/2022).
Hingga akhirnya, ia terkejut ketika mengetahui siapa tokoh agama yang memiliki inisiatif menghadapkan toa itu ke rumahnya. Pak Sur akrab dengannya. Sebab sering bertemu dan berdiskusi dalam rangka membangun desa. Hanya saja, tokoh agama itu tidak mengetahui. Bahwa orang Kristen yang menjadi korban atas inisiatifnya adalah Pak Sur, teman diskusinya selama ini.
Pada saat di lapangan dekat rumah Pak Sur hendak ditempati kegiatan Yasinan Kubro, ia ikut terlibat dalam dekorasi panggung acara. Dibuatlah panggung acara yang tidak biasa. Sehingga ada kesan indah dan istimewa.
Usai acara, tokoh agama itu pun bertanya kepada tokoh masyarakat setempat terkait sosok di balik pendesain panggung acara. Ia pun terkejut saat mendengarnya. Suatu ketika tokoh agama itu meminta maaf kepada Pak Sur. Arah toa musala pun berubah. Bahkan, akhirnya Pak Sur dipercaya sebagai kepala Rukun Tetangga (RT).
Dari kisah itu, penulis mengambil beberapa pelajaran yang berharga. Pertama, pentingnya saling mengenal sebagai pintu masuk dalam membuka sikap dan tindakan saling menghormati di antara pemeluk agama. Sebagaimana kata pepatah: tak kenal maka tak sayang.
Kedua, penggunaan toa musala dan masjid memang harus diatur agar tidak menganggu warga sekitar. Ingat, penggunaan toanya yang diatur. Bukan membatasi atau bahkan melarang pujian, dzikir, dan ibadah lainnya.
Ketiga, perbuatan baik harus terus dilakukan. Bahkan kepada orang yang tidak baik sekalipun.
Keempat, khusus bagi pengurus musala dan masjid, agar belajar mendengarkan dengan seksama apabila ada masukan dari masyarakat terkait penggunaan toa. Tidak mendahulukan prasangka, justifikasi, dan emosi.
Terlepas dari akhir kisah yang baik, penulis melihat bahwa pihak pemerintah, seperti kepala Rukun Tetangga dan/atau Kepala Rukun Warga (RW) dan/atau Kepala Dusun (Kasun) tidak hadir dalam peristiwa itu. Sehingga, perlu dilakukan peningkatan kapasitas para pemimpin tingkat dusun hingga tingkat desa. Misalnya dengan pembinaan moderasi beragama, workshop pengelolaan keberagaman, dan lain-lain.
Kembali kepada kisah Pak Sur, kini ia tinggal di Desa Boro, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Sejak Hari Raya Idul Adha dalam dua tahun terakhir, Pak Sur selalu menjadi panitia kurban. Lagi-lagi, dipilih menjadi ketua RT. Khusus Idul Adha tahun 2022 ini, Pak Sur meminta izin tidak bisa membantu pelaksanaan kurban karena bersamaan dengan ibadah hari Minggu.
“Mas, saya izin segera pulang habis ini. Karena harus mengurus dua kepala sapi yang dipasrahkan warga desa kepada saya untuk acara makan bersama. Terima kasih atas undangan tasyakurannya,” pungkasnya kepada penulis usai kegiatan tasyakuran dalam perayaan Idul Adha di Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) Bahrul Ulum, Dusun Kemranggen RT 002 RW 002, Desa Winong, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.