GUSDURian Minahasa gelar diskusi dengan tema “Sejarah Orang Buangan (Eksil) Abad XIX” di Yama Resort Tondano, Selasa (12/7/2022). Pada kegiatan tersebut turut hadir peneliti dan dosen dari Universitas Samratulangi, Roger Kembuan yang merupakan pemateri diskusi.
Diskusi yang bertajuk “Kemajemukan dan Kebahagiaan: Kisah-kisah Eksil di Minahasa Abad XIX” dibahas dengan semarak, dengan turut andilnya berbagai pihak dari komunitas lain.
Dalam diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu, Roger bertutur tentang kisah orang-orang buangan (eksil) di Minahasa abad XIX yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satu penyebab adanya eksil tersebut disebabkan oleh posisi strategis Tondano atau sebutan lain Minahasa yang jauh, juga terisolir dan berhubungan dengan berkurangnya kontrol politik Kolonial Belanda terhadap Tanjung Harapan di Afrika dan Ceylon/Srilanka.
“Sosok sentral yang bekerja di balik penentuan Tondano sebagai wilayah pembuangan dan pengasingan adalah Pieter Merkus, mantan gubernur Ambon yang pernah berkunjung ke Tondano. Saat itu ia ditugaskan Van Den Bosch,” terang Roger.
Dari banyaknya eksil, salah satu di antaranya yakni Kiai Mojo di Kampung Jawa atau dikenal tuanku Imam Bonjol, sebut Roger. Selain itu terdapat eksil kolonial yang berasal dari Aceh, Palembang, Banjarmasin, Banten, Padang hingga Maluku.
“Kebanyakan sebab-sebab pembuangan mereka karena melawan dan menciptakaan ancaman terhadap ‘rust en orde’ dari tatanan kolonial,” sebut penulis buku Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano (1830-1908) itu.
Kemampuan adaptasi sosio-kultural merupakan kekuatan, menurut Roger, adalah kekuatan terbesar para eksil. Terutama warisan pembelajaran dari rombongan Kiai Mojo yang melahirkan Kampung Jawa Tondano.
Dengan kata lain, Kampung Jawa Tondano merupakan saksi kultural dari perjumpaan eksil dengan penduduk lokal yang melahirkan penyatuan baru tanpa hilangnya asal muasalnya. Praktik adaptasi tersebut, papar Roger, adalah perkawinan dengan wanita setempat memperkenalkan penggunaan bajak dalam pertanian, penggunaan bahasa asli (bahasa Tondano) dan berkurangnya penggunaan Bahasa Jawa, serta Islam menjadi identitas yang kuat dan teguh dipertahankan dalam kehidupan masyarakat buangan.
“Praktik adaptasi inilah yang memungkinkan orang-orang buangan paskaperang Jawa meraih kebahagiaan di Tondano, Minahasa,” ujarnya.
Pembelajarannya bagi generasi saat ini adalah kemampuan adaptasi dalam kemajemukan dalam praktik hidup para eksil. Mereka memelihara kemajemukan dan kebersamaan sesama anak bangsa.
Meskipun begitu, ada banyak kisah dari para eksil, terutama berada di luar Tondano yang belum terdokumentasikan, sehingga sebut Roger perlu kerja-kerja riset yang kolaboratif.
Salah satu inisiator Komunitas GUSDURian Minahasa, Saba mengatakan jika komunitas ini merupakan komunitas anak muda lintas iman yang otonom, berporos pada keswadayaan, dan meneruskan nilai-nilai yang telah diwariskan Gus Dur dengan senang hati.
“GUSDURian Minahasa adalah rumah bagi anak-anak muda yang majemuk ini untuk mencari dan mengembangkan kerja-kerja kolaboratif antara ajaran-ajaran Gus Dur dengan nilai-nilai universal yang tumbuh dalam keminahasaan,” tambahnya.
Salah satu peserta diskusi, Novelia menyampaikan respons positif atas diskusi tersebut. Baginya, diskusi sejarah eksil abad XIX tersebut membuka cakrawala wawasan masa silam yang amat penting, terutama perihal kerjasama antara eksil dan warga lokal yang memungkinkan terbentuknya subkultur dalam kebudayaan besar Minahasa.
“Sesuatu yang tidak mudah,” kata Novelia.
Diskusi tersebut merupakan seri pembuka dari rangkaian diskusi bulanan Komunitas GUSDURian Minahasa. Selain seri diskusi, komunitas yang mempunyai jaringan kultural itu juga merencanakan kegiatan Ekspedisi Kultural dan Kunjungan Kemajemukan. Dua kegiatan yang dimaksudkan untuk menemukenali dan menghidupkan kembali praktik-praktik hidup Tou Minahasa yang selaras dengan nilai-nilai universal.