Dalam sejarah kekuasaan, sangat jarang sebuah kekalahan bisa dikenang sekaligus disanjung karena kekukuhannya menjaga etika dan moral politik. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah salah satu contohnya.
Memimpin negara di masa transisi dari otoriter menjadi demokratis tentu bukan perkara mudah. Gus Dur dituntut untuk menjalankan dan menciptakan situasi politik yang secara moral adiluhung: demokratis, adil, serta tidak korup.
Namun, realitas politik saat itu membuat semua idealisme moral tersebut rentan goyah. Gus Dur dinaikkan sebagai presiden di masa transisi Reformasi (1999-2001) oleh kelompok reformis dan sebagian sisa kekuatan politik Orde Baru. Ia belum bisa benar-benar membersihkan, dan bersih dari, residu aktor-aktor politik Orde Baru.
Bahkan, dengan segala keterbatasan fisik yang dimiliki Gus Dur, para penyokongnya—terutama sisa Orde Baru—berharap bahwa ia dapat disetir. Bagi mereka, Ketua Umum PBNU itu tak lain hanya boneka yang suatu saat bisa saja ditekan dengan sangat kuat apabila dirinya tak bersedia mengakomodasi kepentingan para elite politik.
Tapi Gus Dur memang jago berkelit. Pada awalnya, ia mencoba mengakomodasi semua kepentingan partai dengan membentuk kabinet yang sangat kompromistis. Saat itu, media massa bahkan menyebutnya dengan kabinet Supermi (Super Kompromi).
Namun, ketika kekuasan sudah berjalan ia justru memainkan peranannya sebagai seorang presiden yang tak kenal kompromi. Ia dengan penuh percaya diri memecat dua menteri utama, Jusuf Kalla (Partai Golkar) dan Laksamana Sukardi (PDI-P).
Tak hanya itu, ia juga mengotak-atik Badan Urusan Logistik (Bulog) yang merupakan “ladang rezeki” Partai Golkar. Gus Dur menugaskan Rizal Ramli untuk mengatasinya. Selain itu, pada April 2001, ia dengan tegas menolak tawaran untuk mempertahankan kekuasaannya: Gus Dur tetap sebagai Presiden RI yang hanya menjadi kepala negara, sedangkan Megawati Soekarnoputri menjadi kepala pemerintahan.
Baginya, tawaran itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi. Kesetiaan Gus Dur sebagai presiden bukan kepada para pendukung koalisinya, melainkan hanya kepada konstitusi.
Justru karena sikap dan tindakan yang tegak lurus dengan konstitusi itulah Gus Dur dianggap tidak dapat diterima dalam politik praktis. Moral politiknya berada di luar diktum klasik yang dianut para politikus bahwa politik itu soal menerima dan berbagi.
Gus Dur tak mengenal transaksi, apalagi transaksi politik yang mengharuskannya melanggar konstitusi dan mengorbankan kepentingan rakyat. Karena itu, hanya dalam hitungan bulan ia menjadi Presiden RI.
Dirinya juga mendapat fitnah yang bisa meruntuhkan integritas moralnya. Dalam sebuah foto, Gus Dur terlihat memangku seorang perempuan bernama Aryani. Gus Dur merespons bahwa ia tak mengenal Aryani.
Dalam suatu wawancara dengan saya, Bondan Gunawan, Menteri Sekretaris Negara era kepresidenan Gus Dur, menyatakan bahwa foto itu sempat dipertanyakan oleh para anggota Forum Demokrasi (Fordem). Gus Dur pun menjawab dengan kelakar, “Kalau mau tuduh saya memangku cewek, jangan tanggung-tanggung, tuduh saya dengan cewek yang paling cantik di Indonesia.”
Tuduhan moralis itu memang tak berhasil. Tapi dua tuduhan moralis sekaligus politis lain, yaitu Buloggate dan Bruneigate, yang dapat menyatukan gerakan penjatuhan Gus Dur.
Mengapa Buloggate dan Bruneigate dapat disebut tuduhan moralis? Sebab narasi yang dikeluarkan oleh lawan politik Gus Dur kurang-lebih: “Gus Dur seorang presiden dan seorang kiai yang sedang memimpin Indonesia untuk bersih dari korupsi, tetapi justru terindikasi melakukan praktik korupsi. Bahkan sebelumnya, ia memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dengan dugaan korupsi. Gus Dur hipokrit, cacat moral.”
Isu ini terus didengungkan oleh beberapa surat kabar meski pada 29 Mei 2001 Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan Buloggate dan Bruneigate kepada Gus Dur karena terbukti tidak bersalah. Sengkarut ini terus berlanjut sampai kasus dualisme Kapolri yang akhirnya menjadi dasar DPR melakukan impeachment terhadap Gus Dur pada 23 Juli 2001, tepat 21 tahun silam.
Saatnya Mengubah Narasi Sejarah
Gus Dur saat itu memang kalah dalam realitas politik. Walaupun tuduhan terhadap dirinya tak terbukti, narasi Gus Dur terlibat dalam Bruneigate dan Buloggate terus berlanjut hingga sekarang. Ini karena Gus Dur masih dianggap sebagai orang kalah dalam politik. Sementara pemenanglah yang menuliskan sejarah.
Dengan mulai bermunculan riset tentang penjatuhan Gus Dur, sudah selayaknya ada gerakan yang mendesak agar Presiden ke-4 RI itu mendapatkan narasi yang adil dalam sejarah “resmi” pemerintah. Kita tidak bisa hanya pasrah dan berlapang dada sambil meyakini Gus Dur tidak bersalah atau mencoba tabah seperti Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia: kita kalah, tetapi sudah berjuang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Sikap seperti itu tidak akan mengubah dan membentuk memori kolektif rakyat tentang Gus Dur. Keadilan sejarah bagi Gus Dur dapat dilakukan dengan cara yang konkret yaitu mengubah narasi sejarah “resmi” Indonesia saat Gus Dur berada di tampuk kekuasaan.
Tentu saja, NU memiliki peranan yang sangat besar untuk membuat gerakan tersebut. NU bisa mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk meninjau serta mengubah narasi sejarah tentang periode kepresidenan Gus Dur. Jika tidak segera diubah, maka itu juga menjadi stigma buruk bagi NU, bukan hanya Gus Dur.
Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar dan mengetahui soal upaya tersebut. Bila hal itu tidak segera dilakukan, jangan pernah berharap Gus Dur bisa menjadi Pahlawan Nasional. Ketika Gus Dur dicalonkan sebagai pahlawan, maka posisi Gus Dur saat ini disamakan dengan Soeharto. Keduanya dianggap bekas presiden yang korup.
Bahkan, kelompok pecinta Soeharto menganggap bila Gus Dur menjadi pahlawan, maka Soeharto juga layak karena keduanya sama-sama korupsi. Jelas ini merupakan sebuah penghinaan bagi Gus Dur lantaran disejajarkan dengan koruptor terbesar dalam sejarah Indonesia. Padahal, Gus Dur dituduh korupsi, bukan melakukan korupsi.
Dua puluh satu tahun adalah rentang waktu yang sangat lama bagi bertahannya sebuah narasi sejarah yang keliru. Jika tak diubah sesegera mungkin, kebaikan dan perjuangan Gus Dur saat menjadi presiden hanya akan dianggap sebagai mitos.
________________
Artikel ini pertama kali dimuat di nu.or.id