Social Media

Hijrah Prestasi, Bukan Hijrah Prestise

(Sebuah catatan memasuki Tahun Baru Islam)

Judul di atas terinspirasi dari salah satu tulisan Cak Nur, yakni “Orientasi Prestasi, Bukan Prestise”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa keunggulan suatu peradaban berawal dari memaksimalkan potensi-potensi kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja cerdas dan intelektual.

Agama Islam adalah agama yang sangat menekankan pengamalan. Dalam surah Al-Ma’un, Tuhan mengecam orang salat yang lupa akan salatnya, sebab buah dari segala ibadah vertikal adalah yang menghasilkan sosial-kemanusiaan.

Dengan bahasa yang lain, prestasi sebuah ibadah diukur dari kualitas kebaikannya, seperti yang digambarkan dalam surah Al-Mulk, “Dialah yang menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu mana yang paling baik amalnya.

Ayat tersebut memberikan kita konstatasi bahwa amal yang terbaik adalah yang berkualitas, ahsanu amala bukan aksaru amala. Banyak amal tetapi nilai kualitasnya bermasalah itu akan merugikan kita. Maka dari itu terdapat amal-amal yang berpenyakit, yaitu mereka yang mempunyai amal ibadah tapi bermasalah dengan orang lain.

Nabi pernah menggambarkan tentang orang-orang yang muplis. Orang muplis adalah orang yang banyak amalnya tapi amalnya bermasalah. Di akhirat kelak mereka datang membawa amalnya, tapi banyak yang memprotes karena dalam kehidupan sosialnya dia banyak menyakiti sesamanya, sehingga amal-amalnya ditransfer kepada orang yang pernah mereka sakiti. Setelah habis tabungan amalnya, rupanya orang yang pernah disakitinya masih banyak, sehingga amal kejelekan orang yang disakitinya ditimpakan kepadanya. Itulah orang yang muplis atau bangkrut yang pernah diprediksi oleh Nabi.

Di sinilah pentingnya agar nilai amal ritual kita terkoneksi dengan amal-amal sosial. Kualitas amal yang kita lakukan sangat tergantung dengan komitmen keberagamaan kita. Tuhan sudah memberikan solusi dalam surah Al-‘Asr, bahwa solusi yang ditawarkan oleh Tuhan dalam kehidupan ini adalah supaya manusia tidak terjerumus dalam memaknai kehidupan ini.

Tuhan menawarkan pada manusia untuk konsisten dengan keimanan. Komitmen pribadi haruslah punya landasan yang kuat. Di awal dakwah Nabi pada periode Mekkah, Nabi sangat menekankan aspek keimanan terhadap para sahabatnya yang terdekat.

Keberimanan para sahabat Nabi pada periode Mekkah adalah keberimanan yang penuh tantangan. Mereka betul-betul dirongrong, diintimidasi, diboikot. Nabi dan para sahabat mampu bertahan di bawah panji tauhid yang mereka imani. Mampu mempertahankan iman di bawah tekanan kaum kafir Quraish yang thagut. Nabi berhasil mencetak para sahabatnya dengan orientasi ketauhidan yang sangat kuat, sekalipun para sahabat ini jumlahnya tidak terlalu banyak, namun mereka merupakan generasi awal yang sangat menentukan perjuangan dakwah Nabi pada periode berikutnya.

Namun demikian, dalam momentum untuk mengembangkan Islam, Nabi dan para sahabatnya membuat strategi dakwah dengan menggunakan jalur hijrah. Suatu keputusan yang tidak terlepas dari kendali wahyu. Hijrah inilah yang menjadi jurus yang sangat jitu dalam pengembangan perjuangan Nabi untuk membangun kekuatan di tempat yang baru.

Oleh sebab itu khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal dari kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrah, karena peristiwa ini adalah peristiwa supranatural yang setingkat dengan mu’jizat. Dampak dari pasca hijrah adalah kemenangan-kemenangan yang diraih oleh Nabi dan para sahabatnya.

Itulah sebabnya ini sangat selaras dengan jargon yang sering muncul dalam masyarakat, bahwa salah satu inti dari konsep hijrah adalah semangat mengandalkan penghargaan karena prestasi kerja, bukan karena pertimbangan-pertimbangan kenisbatan atau prestise seperti keturunan, etnis, dan lain lain. Perbedaan antara orientasi prestasi dan orientasi prestise itu merupakan salah satu titik perbedaan antara paham Islam dan paham jahiliyah.

Ada ungkapan dari Ibn Taymiyah yang dikutip Cak Nur dalam salah satu bukunya, “Al-i’tibaar fi al-jahiliyah bi al-ansab, wa al-i’tibar fi al-Islam bi al-a’mal” (Pertimbangan dalam jahiliyah berdasarkan keturunan, dan pertimbangan dalam Islam berdasarkan amal perbuatan). Itu adalah suatu warisan yang sangat berharga untuk kita jadikan sandaran dalam menyikapi tahun baru Islam.

Keberhasilan Nabi setelah hijrah dalam membangun masyarakat Yatsrib (kelak diubah menjadi Madinah) tidak terlepas dari strategi Nabi dalam menanamkan pilar-pilar keimanan dan keilmuan terhadap para sahabat. Kedua pilar ini haruslah menjadi starting point dalam membangun suatu daerah, dalam bahasa Buya Syafi’i Maarif: ada dua peradaban yang tahan banting sejarah, yaitu peradaban fikr yang merupakan simbol dari ilmu dan peradaban dzikir yang merupakan simbol dari iman.

Hal kedua yang harus menjadi argumen prestasi dalam menghadapi tahun baru adalah bagaimana komitmen keimanan yang pribadi itu bisa diimplementasikan dalam bentuk aksi-aksi sosial yang berlandaskan pilar keimanan. atau dalam bahasa Al-Qur’annya adalah amal saleh. Antara komitmen keimanan dan komitmen amal saleh tidak bisa dipisahkan. Kata ‘iman’ dan ‘amal saleh’ selalu berurutan dalam Al-Qur’an.

Amal saleh ini bisa menjadi modal dalam melakukan permohonan kepada Tuhan ketika kita ditimpa suatu kesulitan. Doa dengan menyebut amal saleh yang pernah kita lakukan akan menjadi solusi dalam kesulitan, atau biasa kita sebut dengan tawassul bil a’mal. Hal ini pernah diceritakan oleh Nabi ketika ada tiga orang yang terperangkap dalam gua. Karena pintu gua tertutup oleh batu yang besar, dan batu ini tidak bisa tergeser dengan menggunakan tenaga mereka, akhirnya mereka bertiga menggunakan cara supranatural yaitu lewat kekuatan doa. Masing-masing dari tiga orang ini berdoa dengan menyebut amal-amal saleh terbaik yang pernah mereka lakukan, dan akhirnya batu yang besar itu pun bergeser, dan ketiganya bisa keluar dan selamat.

Prestasi selanjutnya adalah cara kita menggunakan mekanisme diri kita sebagai subyek dari kebenaran. Kita mencoba menviralkan kabaikan-kebaikan dalam diri kita. Kita mencoba untuk selalu punya manfaat terhadap sesama. Minimal wasiat-wasiat kebenaran itu bisa kita viralkan dalam keluarga kita dan lingkungan kita.

Dari semuanya itu, akhirnya ditutup dengan prestasi kesabaran. Kesabaran ini sangat penting sebagai media pengontrol dalam diri manusia supaya kualitas amal itu tidak terkontaminasi dengan hawa nafsu. Itulah prestasi-prestasi yang harus kita tonjolkan atau kedepankan dalam menyikapi tahun baru hijriah. Mudah-mudahan kualitas amal kita tahun ini lebih baik dari tahun kemarin.

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.