Isu pemaksaan pemakaian kerudung tehadap salah seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sedang ramai diperbincangkan. Pasalnya siswi yang dipaksa oleh guru BK itu sampai mengalami depresi.
Menanggapi hal itu, GUSDURian Banjarmasin mengadakan diskusi membahas tulisan Gus Dur berjudul “Kerudung dan Kesadaran Beragama”. Tulisan itu diulas oleh Fatmawati dan dipandu oleh Roy Jons Hutasoit, Kamis (4/8/2022) lalu di Kopi Berbisik, Banjarmasin.
Kasus serupa ini bukan kali pertama terjadi. Bedanya, sekarang ada isu pemaksaan berkerudung, dulu jauh sebelum ini pada 1983 Gus Dur telah menyoroti kasus pelarangan atribut keagamaan (berkerudung).
Kasus ini dipandang pihak sekolah sebagai pelanggaran konsensus dan uniformitas, meskipun tidak ada aturan tertulis. Yaitu, jika ada yang tidak berkerudung dari semua siswi yang berkerudung (atau sebaliknya), maka akan dianggap melanggar “kesepakatan” dan penyeragaman itu. Oleh karenanya, pihak yang memiliki kuasa merasa berhak untuk memaksa orang lain (dalam hal ini murid) untuk mematuhi konsensus dan uniformitas itu.
Fatmawati mengatakan, “Sekolah seharusnya memberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam berpakaian. Berkerudung atau tidak, seharusnya menjadi pilihan personal atas kesadaran masing-masing, bukan paksaan.”
Atas tindakan intoleransi itu Aliansyah berkomentar, “Saat mengetahui berita tersebut, saya khawatir, mungkin dalam dunia Muslim tidak seberapa khawatirnya, tapi di dunia nonmuslim, takut ke depannya Islam dipandang ‘gawat’.”
Pemakaian kerudung dapat dilihat sebagai doktrin maupun ekspresi. Hal ini memiliki makna yang relatif.
Di Indonesia, khususnya tanah Banjar, dulu kerudung dipakai sebagai kebiasaan untuk menutup kepala, meskipun tidak menggunakan pakaian panjang atau pakaian muslim.
Pada masa Orba, kerudung dipakai sebagai wujud perlawanan bagi Muslimah atas pelarangan itu. Sekarang ini, kerudung menjadi tren bagi muslimah Indonesia, bahkan Indonesia menjadi role model bagi hijab fashion dunia.
Kerudung juga dipandang sebagai simbol kesalehan dan memiliki nilai yang sakral bagi muslimah. Di sisi lain hal ini menjadi desakan bagi muslimah lain yang tidak berkerudung. Mewajibkan berkerudung di sekolah negeri bisa jadi bentuk diskriminasi.
Jika pemakaian kerudung terus dipandang secara simbolis seperti itu, maka kasus-kasus seperti ini akan terus terulang. Padahal dalam agama Islam sendiri pemahaman dan penafsiran mengenai ayat jilbab pun beragam.
Ayat tentang jilbab, selain dipahami teksnya juga perlu dipahami secara kontekstual, di samping memahami apa arti dan makna ayat tersebut? Penting juga memahami alasan mengapa ayat itu turun? Apa tujuan ayat itu turun? Kita juga perlu pahami di mana ayat itu turun. Secara geografis negara Arab memiliki iklim yang sangat berbeda dengan Indonesia, sehingga pakaian termasuk jilbab memilliki tujuan dan fungsi yang berbeda-beda.
“Dakwah itu menyampaikan. Dalam konstitusi kita punya ruang (hak) untuk menyampaikan pendapat termasuk dakwah, tapi yang perlu ditekankan di sini adalah dakwah itu pada tatanan/batasan menyampaikan, bukan memaksakan. Tenggang rasa, toleransi, itu sangat penting,” tambah Arief Budiman sebagai penutup.