Djaroemahot Nasoetion: Muslim yang Turut Bermisi di Tanah Batak

“Bagaimana itu hukumnya Muslim mendukung zending (baca: misi pengabaran Injil)?” tanya Rabbi Yaakov Baruch di satu momen sarapan di suatu pagi—sembari melempar pandang ke arah saya.

Sejenak saya terdiam.

Satu sisi—saya belum pernah mengajukan pertanyaan itu sebelumnya, sembari menahan rasa kagetku di dalam dada. “Iya juga ya, apa hukumnya?” gumamku dalam hati.

Saya pribadi juga baru tahu ada seorang Muslim yang melakukan hal sejauh itu.

***

Mari kembali ke judul di atas, apa yang terlintas di benak Anda jika mendengar kata “misi”? Pertanyaan ini secara khusus saya alamatkan ke umat muslim, yang kemungkinan besar jawabannya bisa ditebak.

Umat muslim cenderung memaknai kata “misi” sebagai tindakan kristenisasi atau sebuah upaya untuk mengkonversi umat beragama non-Kristen untuk menjadi Kristen. Jika ditelusuri lebih lanjut, mungkinkah ada pemaknaan lain yang lebih luas dan universal? Hal ini sekaligus menjadi upaya membongkar prasangka yang lama berkerak di benak banyak umat muslim, khususnya umat muslim di Indonesia, mengenai “misi”.

Berbicara tentang misi, belum lama ini saya sempat berziarah ke tanah Angkola dan menemukan sosok yang dijuluki sebagai Tokoh Pemersatu Kerukunan Beragama di tanah Batak pada abad 19 silam.

Uniknya, tokoh ini tidak saja pernah bersua dengan para zendeling dari negara yang jauh. Namun, ia juga mendukung kegiatan zending, baik secara moril maupun materiil.

Pusaranya berada di tempat sosoknya banyak berkarya semasa hidup. Selepas menemukan namanya, saya sempat mencari nama tersebut di mesin pencari yang konon maha tahu—“ustadz” Google, dan ternyata tak ada satu pun tulisan atau artikel tentangnya.

Praktis, saya hanya berhasil menemukan dua buah video di YouTube. Sisanya, nihil. Tak ada petunjuk lain tentang sosok yang nyaris ditelan waktu ini.

Siapakah dia? Apa yang dulu dilakukannya hingga sosoknya demikian dihormati di tanah Batak?

Sekilas tentang Djaroemahot Nasoetion

Ia bernama Djaroemahot Nasoetion. Sosok ini saya temukan ketika melakukan kunjungan ke Parausorat, Sipirok, Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Kunjungan tersebut saya lakukan dalam rangkaian Jews, Christian, and Muslim (JCM) Conference, 7-15 Agustus 2022 lalu.

Mengutip penjelasan dari Sekretaris Umum Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)—Pdt. Reinhard Siregar—sosok Djaroemahot Nasoetion tak dapat dilepaskan dari sosok zending I.L. Nommensen di tanah Batak pada akhir Desember 1862. Ketika itu, Nommensen menjadi seorang pengajar di Parausorat, dan diterima baik oleh penduduk Parausorat sebab keahliannya mengobati penyakit kulit pada waktu itu.

Sejarah mencatat, kehadiran Nommensen dalam penginjilan—yang bermula dari Parausorat hingga Tapanuli Utara dan daerah lainnya—tidak lepas dari dukungan masyarakat Parausorat saat itu. Salah satunya ialah Djaroemahot Nasoetion. Sosoknya kemudian disebut sebagai pemersatu kerukunan antarumat beragama di tanah Batak, khususnya di Parausorat.

Selain itu, Djaroemahot memiliki tujuh orang anak, enam putra dan satu putri. Tiga putranya memeluk Islam, dua di antaranya menjadi penyebar Islam terkemuka di Angkola, yaitu H. Ali Nasoetion dan Koelifah Djamariloen Nasoetion. Sementara tiga putra lainnya mengimani Kristen, yakni Sintua Johannes Nasoetion, Tandoek Nasoetion, demang pertama di Balige, dan Pastor Petroes Nasoetion, salah satu pendeta pertama di tanah Batak yang ditahbiskan pada 19 Juli 1885.

“Misi” Djaroemahot Nasoetion

Dari profil di atas, apa sejatinya “misi” dari Djaroemahot Nasoetion? Ia memang berada di antara para misionaris yang notabene datang dari luar tanah Batak. Misi para zendeling pada waktu itu mungkin memberitakan Injil dengan cara menyebarkan keyakinan mereka alias mencari pengikut.

Namun hal berbeda ditunjukkan oleh Djaroemahot Nasoetion. Misi Djaroemahot justru mampu menerangkan makna Injil atau kabar sukacita yang sesungguhnya—bukan demi mencari pengikut atau untuk mengkristenkan orang lain semata.

Misi yang dilakoni oleh Djaroemahot termanifestasi dalam peran dan dukungannya dalam penginjilan, bahkan sebelum kedatangan Nommensen. Djaroemahot tak hanya mengizinkan tiga anaknya menjadi Kristen. Lebih lanjut, menurut Pdt. Reinhard Siregar, pada tahun 1857—lima tahun sebelum Nommensen tiba, Djaroemahot sudah menghibahkan tanah kepada Pdt. van Asselt untuk pendirian sekolah dan gereja.

Satu langkah yang begitu jauh telah dilakukan oleh Djaroemahot pada waktu itu. Tindakan Djaroemahot ini sekaligus merupakan kritik dari kegiatan “misi” dalam artian sempit—beradu cepat menambah jumlah pengikut—yang kadang mengalami reduksi makna, hingga lantas menjadi kering alias nirmakna.

Menyebarkan Kabar Perdamaian

Sepanjang saya mendampingi dialog teologis mahasiswa/mahasiswi muslim dan kristiani dalam acara Student Interfaith Peace Camp (SIPC) yang diadakan oleh Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) selama kurun sembilan tahun terakhir, pertanyaan tentang “misi” memang selalu mengemuka ketika sesi mengatasi prasangka.

Sudah tentu pertanyaan ini diajukan teman-teman muslim kepada teman-teman kristiani. Bagi saya, wajar saja mereka bertanya. Sebab selama ini pertanyaan tersebut pasti mereka pendam dalam realitas hidup yang menganggap tabu percakapan teologis.

Di penghujung rangkaian JCM 2022 lalu, saya diberi kesempatan untuk mengikuti ibadah minggu pagi di GKPA Jl. Sudirman, Padang Sidempuan. Dalam khotbah minggu pagi itu, saya teringat pernyataan pendeta yang pada waktu itu melayani, tentang apa itu misi.

“Misi itu kabar persaudaraan, kabar perdamaian, bukan kabar permusuhan atau kebencian,” demikian inti khotbah sang pendeta. Hal ini sangat memberi kesan bahwa sejatinya misi seperti ini juga adalah “misi” yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW di tanah Arab pasca Yesus atau Isa al-Masih.

“Misi” yang dibawa Nabi Muhammad SAW juga tidak berbeda, yakni misi perdamaian, karena kata “Islam” sendiri bermakna “kedamaian”. Barangsiapa yang mendaku pengikut Nabi Muhammad SAW, sejatinya menjadi pembawa damai.

Mengutip perkataan Nabi Muhammad SAW—“Islam ialah menjaga keselamatan orang lain dari lidah maupun tindakannya”. Namun, kenyataan hari ini—entah di dunia nyata atau ruang digital, tidak sedikit sebaran kabar kebencian dan permusuhan yang dapat disaksikan dengan mata telanjang.

Menyaksikan hal tersebut, membuat saya bertanya-tanya, misi apa yang sedang mereka jalankan? Siapa nabi mereka? Dan siapa Tuhan mereka?

Wallahu ‘alam.

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).