Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir si Raja Jawa menjanjikan hadiah kepada siapa saja yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan yang mengklaim paling berhak atas tahta Demak Bintara. Bagi Arya Penangsang, Jaka Tingkir yang “hanya” menantu sultan Trenggana tidak memiliki hak untuk mewarisi tahta. Hadiah yang dijanjikan itu berupa sebuah kadipaten bernama Pati di pesisir utara Jawa dan hutan Mentaok di pesisir selatan.
Arya Penangsang menantang duel sang penguasa Jawa itu di sebuah tempat di seberang sungai Bengawan Solo. Pada hari yang ditentukan, Arya Penangsang sudah menunggu. Namun ia merasa dilecehkan karena Hadiwijaya tidak datang. Sultan Jawa itu justru mengirim anak angkatnya bernama Sutawijaya yang masih sangat muda. Terbakar emosi, Arya Penangsang melawan bocah itu secara membabi buta. Dalam sebuah momen, Sutawijaya berhasil melukai Arya Penangsang hingga isi perutnya keluar dan adipati Jipang itu tewas.
Sutawijaya memilih hutan Mentaok atas saran dari ayah kandungnya, Ki Pemanahan. Di wilayah itu, Sutawijaya membangun kerajaan yang semakin hari semakin besar. Kerajaan yang diberi nama Mataram Islam itu kemudian menyerang Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Jaka Tingkir dan mendapat kemenangan. Pusat kerajaan Islam berpindah ke wilayah pesisir selatan. Sutawijaya kemudian memberi gelar dirinya sebagai Panembahan Senopati.
Pasca kekalahan yang mengecewakan, Jaka Tingkir pergi ke Madura, tempat asal ibunya, untuk membangun kekuatan guna melakukan balas dendam kepada Sutawijaya. Setelah merasa cukup, Jaka Tingkir berangkat dengan kekuatan besar yang siap menggempur pusat kerajaan Islam Mataram. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengulas kisah ini dalam sebuah artikel di buku Membaca Sejarah Nusantara (LKiS, 2010).
Alkisah, di Lamongan Jaka Tingkir bertemu dengan seorang ulama yang sangat dihormatinya. Ia diberi nasihat untuk mengurungkan niatnya menyerang Mataram. Jika alasannya adalah kemaslahatan rakyat, ada banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus menjadi raja. Nasihat itu didengar oleh Jaka Tingkir. Ia memutuskan untuk menetap di desa Paciran dan membangun kemandirian masyarakat di akar rumput melalui basis pesantren.
Oleh Gus Dur, apa yang dilakukan Jaka Tingkir disebut sebagai contoh kerja non-governmental organization (NGO) alias lembaga swadaya masyarakat (LSM). Jaka Tingkir telah mencontohkan kepada generasi penerus bahwa rakyat bisa memiliki peran kepada rakyat lain tanpa melalui jalur politik kekuasaan.
Ratusan tahun kemudian, peristiwa politik memilukan terjadi di Indonesia. Gus Dur yang telah menjadi presiden keempat dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sebuah sidang istimewa. Dalam situasi yang kian memanas, para pendukung Gus Dur bersiap datang ke ibu kota untuk membela. Banyak cerita di mana para pendukungnya menyiapkan skenario berani mati demi membela Gus Dur, yang konon masih memiliki hubungan darah dengan Jaka Tingkir.
Namun Gus Dur menahan para pendukungnya demi mencegah terjadinya konflik horizontal. Baginya, kekuasaan tidak perlu dipertahankan dengan tetesan darah. MPR yang dipimpin Amien Rais kemudian mengangkat Megawati sebagai presiden kelima.
Setelah tidak menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupan lamanya yaitu mendampingi masyarakat di akar rumput. Gus Dur tetap membela kepentingan rakyat dengan cara yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh leluhurnya ratusan tahun silam itu. Sebagai orang yang tidak berada di lingkaran kekuasaan, Gus Dur tidak pula menjadikan dirinya sebagai oposisi pemerintahan yang ada. Ia menjadi penyeimbang sembari terus melakukan pendampingan masyarakat yang membutuhkan.
Sikap negarawan seperti yang ditunjukkan oleh Jaka Tingkir dan Gus Dur sangat penting untuk diteladani oleh para elite politik kita hari ini. Di tengah suhu politik yang memanas, peran elite untuk mendinginkan suasana sangat dibutuhkan. Sudah sangat lama rakyat dibenturkan demi hajatan politik kekuasaan. Setelah pemilihan selesai pun belum ada tanda-tanda situasi politik mereda.
Parahnya, para elite kita bukannya menjadi juru damai, mereka justru memanfaatkan masyarakat untuk terus bertikai demi kekuasaan yang mereka perjuangkan. Berbagai statement soal kecurangan, klaim kemenangan, delegitimasi pihak penyelenggara, hoaks, dan berbagai pernyataan negatif yang menjurus pada perpecahan terus diproduksi setiap hari. Rakyat tidak diberi ruang untuk mendapatkan pendidikan politik yang baik dan membangun. Rakyat bahkan diajak untuk berpolitik penuh curiga.
Jika situasi ini tidak berubah, maka demokrasi kita akan berjalan di tempat atau bahkan mundur jauh ke belakang. Cita-cita kemandirian masyarakat tidak lagi menjadi prioritas karena rakyat terus-terusan dijadikan sebagai objek perebutan kekuasaan, alih-alih menjadi agen kemajuan.
Sikap mendahulukan kepentingan rakyat dengan mengesampingkan dendam pribadi tidak dimiliki oleh para elite politik kita. Bahkan, kecenderungannya persoalan pribadi sebisa mungkin jadi pembahasan di akar rumput agar pertikaian tak kunjung usai. Mental politik devide et impera alias adu domba masyarakat oleh sebagian elite politik tentu sangat membahayakan iklim demokrasi di negara multikultural seperti Indonesia.
Nasihat Ulama
Kisah Jaka Tingkir mungkin akan berbeda jika di tengah perjalanan menuju Mataram ia bertemu dengan orang yang mengobarkan kebencian dan memintanya untuk menghabisi kerajaan Mataram Islam. Beruntung karena Jaka Tingkir bertemu dengan seorang ulama yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan sehingga mampu meredam gejolak amarah dan mematikan kobaran api balas dendam. Politik memaafkan yang diajarkan oleh ulama tersebut nyatanya mampu mengangkat derajat Jaka Tingkir.
Begitu juga sikap yang diambil oleh Gus Dur. Meski pun ia dilengserkan dengan cara yang bertentangan dengan konstitusi, ia sama sekali tidak menaruh dendam kepada lawan politiknya. Di dalam sebuah wawancara stasiun TV swasta, Gus Dur mengutarakan bahwa dirinya sudah memaafkan dan terus berhubungan baik dengan siapa saja, termasuk Amien Rais dan Megawati yang paling bertanggung jawab atas pelengseran dirinya.
Politik kita hari ini membutuhkan nasihat para ulama yang menenteramkan dan kedewasaan berpolitik sebagaimana kisah Jaka Tingkir dan Gus Dur di atas. Tetapi kita memiliki beberapa tantangan yang tidak mudah. Pertama, banyak orang kini mengklaim dirinya sebagai ulama. Pada masa lalu, orang-orang yang tinggi ilmunya enggan disebut sebagai ulama. Mereka lebih memilih disebut sebagai al-faqir lil ‘ilmi atau orang yang masih membutuhkan banyak belajar. Sementara hari ini, orang bisa dengan mudah mengklaim dirinya sebagai ulama meski tidak memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Ulama jenis ini menjadi pelecut kebencian, alih-alih meredamnya.
Kedua, sikap elite politik kita yang kurang dewasa dalam berdemokrasi. Rakyat yang semestinya menjadi pihak dampingan malah dijadikan tunggangan untuk berbagai kepentingan. Para elite tidak segan-segan mengerahkan rakyat hingga membenturkan satu sama lain demi tujuan-tujuan kekuasaan. Karenanya kita tentu berharap agar para ulama bisa menjadi pembisik yang baik bagi pemimpin dan para elite politik kita. Kita juga berharap para elite politik kita bisa bersikap sebagai negarawan sejati. Bahwa memperjuangkan rakyat tidak hanya bisa dilakukan melalui jalur politik kekuasaan. Berhentilah menyulut pertikaian dengan cara mengatasnamakan rakyat.
(Artikel ini pertama kali dimuat di news.detik.com. Dimuat ulang dengan penyesuaian. Awalnya, penulis menulis “Panembahan Senopati alias Hamengkubuwana I”. Panembahan Senopati bukanlah Hamengkubuwana I karena gelar tersebut mulai digunakan sebagai gelar Raja Mataram sejak Perjanjian Giyanti tahun 1755. Penulis memohon maaf atas kekeliruan ini.)