“Indonesia ada karena keberagaman,” suatu ketika diungkapkan Presiden RI keempat, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Barangkali tidak berlebihan mengutarakan bahwa hampir semua minoritas agama di Indonesia mengenal Gus Dur, sosok manusia yang semasa hidupnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Penulis sebagai pemeluk agama Kristen, yang lahir 24 tahun lalu di Desa Tambelang Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut) tidak asing dengan cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu. Selain karena diceritakan oleh orang tua; penulis juga bertemu dengan komunitas Gusdurian yang mengambil peran meneruskan pemikiran dan keteladanan Gus Dur.
Secara umum, hampir tidak pernah ada konflik atas nama agama yang terjadi di Sulut. Sebab, sikap keterbukaan terhadap yang berbeda sudah dipraktikkan sejak zaman dahulu. Misalnya, ketika agama Kristen sedang merayakan Hari Raya Natal, ada saja dari umat Muslim yang turut bergotong-royong. Begitu pula sebaliknya. Harmonisasi antarumat beragama ini mudah sekali kita jumpai di negeri nyiur melambai. Dengan demikian, apa yang diungkapkan Gus Dur di paragraf awal merupakan kebenaran yang sulit untuk dibantah.
Provinsi Sulut memang agak berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Perbedaan itu bisa dilihat dari jumlah umat Kristen yang lebih dominan. Berdasarkan laporan katadata.id pada September 2021 menyebutkan bahwa, presentase penganut agama di Sulut mayoritas adalah Kristen sebesar 62,98 persen; Islam 31,77 persen; Katolik 4,43 persen; Hindu 0,6 persen; Buddha 0,15 persen; Konghucu 0,06 persen dan aliran kepercayaan 0,02 persen. Bukan hanya agama saja beragam, melainkan suku: mulai dari Minahasa, Sangir, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Bolango, Jawa, Bugis dan lain sebagainya. Sehingga tidak salah menyebutkan potret Bhinneka Tunggal Ika begitu kental di Sulut.
Penempatan di Bolsel
Ayah penulis merupakan seorang pendeta di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Pada tahun 1999 silam ia ditempatkan di Desa Duminanga, Kabupaten Bolaang Mongodow Selatan (Bolsel), sebuah wilayah yang belakangan dimekarkan pada 21 Juli 2008. Berbeda dengan daerah di Minahasa (kampung halaman penulis dan keluarga yang mayoritas bergama Kristen) – di Bolsel dominan masyarakat penganut agama Islam. Sejak penempatan ayah di Bolsel itu, penulis sedari kecil hidup di tengah-tengah umat Muslim, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Menyusul nanti sekolah menengah atas (SMA) dan kuliah penulis lanjutkan di tanah kelahiran: Minahasa.
Namun satu hal yang penulis syukuri, yakni toleransi umat Muslim di Bolsel. Kala itu, ayah menceritakan saat pertama kali menetap di Desa Duminanga, ada seorang imam desa yang meminjamkan tanah kepada dirinya yang kemudian di tanah itu dibangunkan rumah kami sekeluarga. Seiring berjalannya waktu akhirnya bisa membeli tanah dan mendirikan rumah ibadah. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh imam desa ini menggambarkan wujud kasih sayang sesama manusia tanpa melihat perbedaan sebuah agama.
Kini sudah 23 tahun ayah penulis ditempatkan di Desa Duminanga. Meski sebagai minoritas, tidak pernah sekalipun perlakukan masyarakat setempat yang diskriminatif, bahkan mereka sangat inkusif. Hal ini bisa dilihat saat perayaan Hari Raya Natal, masyarakat dan pemerintah selalu hadir untuk merespons undangan tersebut. Bahkan sependek pengetahuan penulis, bukan hanya di Desa Duminanga masyarakat yang berbeda agama hidup rukun, melainkan di seluruh desa yang ada di Bolsel.
Perjumpaan dengan Gusdurian
Sudah lebih satu bulan penulis berjumpa dengan teman-teman pemuda Gusdurian Bolsel. Mereka tidak banyak, hanya sekitar lima orang. Jumlah yang tentu sedikit untuk ukuran pada umumnya dalam rangka menggerakkan komunitas. Akan tetapi, penulis melihat spirit dan kegigihan mereka dalam rangka menelurkan pemikiran Gus Dur melampui jumlah-jumlah itu. Beberapa kali mereka mengadakan diskusi justru mengundang antusias masyarakat. Dengan kata lain meski daerah ini tidak pernah didatangi Gus Dur selama ia hidup, namun kerinduan masyarakat akan tokoh pembela kemanusiaan begitu terlihat.
Melihat komunitas ini sudah ada di Bolsel, penulis tanpa ragu menjeburkan diri menjadi bagian dari penggerak Gusdurian. Dan seperti yang diduga, penulis mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari komunitas ini. Penulis menyadari keberagaman dan keberagamaan mesti terus dirawat sampai kapan pun. Sebab para pendiri (the founding fathers) bangsa ini telah menanamkan fondasi dengan sangat plural, sehingga tidak ada yang bisa mengklaim merasa diri paling benar, berjasa, dan mayoritas.
Dengan mengambil peran sekecil apa pun untuk terus merawat perdamaian sesama manusia, penulis menyakini telah turut serta meneruskan cita-cita para tokoh bangsa dan pejuang kemanusiaan, seperti Gus Dur. Sebab “politik identitas” merupakan judul yang paling laku dijual oleh mereka yang ingin meraih kepentingan sesat. Terlebih lagi, momentum pesta demokrasi tidak lama lagi akan digelar. Kita tentu berharap bangsa ini akan tetap kokoh berdiri di usianya ke-77 tahun.