Transgender dalam Timangan Masyarakat Bugis

Sharym Graham dalam tulisannya Sulawesi’s Fifth Gender telah mengudarkan bahwa dalam masyarakat Bugis-Makassar ada lima gender yang diakui masyarakat. Kelima gender tersebut adalah uruwane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki-laki transgender), calalai (perempuan transgender), dan bissu. Gender kelima, yakni bissu diistilahkan oleh Graham sebagai meta gender, yaitu gender yang menghimpun empat status sebelumnya.

Jauh sebelum penelusuran Graham ini, masyarakat Bugis sejatinya telah mengetahui adanya identitas lima gender tersebut. Hanya saja mereka tidak mau repot-repot dan disulitkan dengan berbagai konsep-konsep gender. Itulah sebabnya mereka tidak membangun klasifikasi gender seperti halnya yang dilakukan oleh Graham. Tetapi walaupun tanpa kategori, dalam arena kebudayaan masyarakat Bugis, kelima gender tersebut mendapat tempatnya masing-masing. Kelima-limanya dirangkul dalam segenap aktivitas masyarakat.

Dari kelima identitas gender tersebut menarik untuk mengulik tiga di antaranya; calabai, calalai dan bissu. Ketiganya adalah identitas gender yang acap kali dipersoalkan dan dimarginalkan dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Terutama karena saat ini sedang meruyak isu tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Isu tersebut ditanggapi dengan keras oleh sementara kalangan, karena dianggap sebuah upaya agresif menekan budaya heteroseksual. 

Dalam tulisan ini saya hanya ingin bercerita bagaimana masyarakat Bugis-Makassar sendiri menimang ketiga identitas gender tersebut dalam kehidupan mereka, serta respons terhadap isu LGBT. Pada bagian akhir mencoba memberi tawaran bagaimana sebaiknya model rekonsiliasi antara kaum transgender dan heteroseksual.

Belum lama berselang, Wali Kota Makassar, Danny Pomanto menyatakan menolak kegiatan panggung seni IDAHOBIT yang akan digelar pada 29 Mei 2022 oleh komunitas SEHATI, Gamacca, dan KWRSS. Pomanto menengarai kegiatan tersebut adalah bagian dari kampanye dan pertunjukkan dari kaum LGBT. Sementara LGBT menurutnya, belum legal di Indonesia dan karena itu tidak bisa mengekspresikan kecenderungan mereka dalam ruang publik. Masyarakat dengan budaya dan nilai yang cenderung pada heteroseksual perlu dijaga dari penetrasi kaum LGBT. Begitulah lebih kurang penjelasannya.

Segera setelah pernyataan wali kota tersebut, berbagai elemen masyarakat menyatakan dukungannya. Mereka seakan seirama untuk menolak segala bentuk perayaan dan ekspresi dari kaum LGBT. Bahwa ada kebebasan setiap kelompok untuk berekspresi yang dijamin UUD 45 tidak berarti individu atau kelompok bebas mempertunjukkan kecenderungan seksualnya yang dianggap dapat mengganggu moral dan nilai yang dianut secara umum di masyarakat.

Saya tidak ingin masuk dulu dalam perdebatan soal jaminan hak asasi tiap individu dan hak-hak komunal yang sama-sama harus dilindungi. Tetapi yang menarik di sini adalah mengapa masyarakat hari ini kian menolak keberadaan LGBT? Padahal UUD 1945 telah beberapa kali diamandemen untuk memperkuat jaminan hak asasi manusia?

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kelompok transgender yang disebut dengan calabaicalalai lalu juga ada bissu, bukanlah identitas gender yang baru di Sulawesi Selatan. Keberadaan mereka diakui setua peradaban manusia. Bissu sebagai gender kelima adalah manusia pertama yang mengisi dunia tengah bersama Batara Guru. Dalam naskah La Galigo yang dihimpun oleh R.A. Kern dilukiskan:

“Ketika tengah hari cuaca gelap gulita, taufan dan badai berkecamuk. Puang Matoa Bissu dari Lae-Lae, We Salareng dan We Apanglangi, Kepala Bissu dari Ware dan Luwu turun ke bawah (ke dunia tengah) bersama perlengkapannya, taufan dan badai pun reda”

Jika bissu dianggap menghimpun empat gender sebelumnya, termasuk calabai dan calalai, maka seluruh identitas gender itu dianggap telah ada sejak peradaban ‘Dunia Tengah’ mulai berdenyut. Karena kelima gender itu setua peradaban manusia dalam kosmologi orang Bugis, maka keberadaan seluruh identitas gender tersebut diterima dengan baik.

Bissu yang juga diisi oleh para calabai malah mendapat tempat sebagai pendeta atau pemimpin spiritual Agama Bugis Kuno. Ia memandu berbagai ritual. Penyambung doa manusia dengan para Dewa. Ketika kerajaan mulai berkembang, ia berada di samping raja, menjadi penasihat spiritual dan membimbing para pangeran yang kelak akan menjadi penguasa.

Seluruh identitas gender tersebut mendapat tempat dan peran yang terhormat dalam masyarakat. Memang ada pergeseran posisi dan peran setelah kedatangan agama langit. Para bissucalabai dan calalai tidak mendapat peran sevital dulu lagi. Nyaris seluruh agama langit memang kurang memberi tempat pada identitas gender di luar uruwane dan makkunrai. Kendati tentu saja kaum agamawan progresif memberi tafsir terhadap agama masing-masing agar lebih ramah terhadap kategori di luar uruwane dan makkunrai.

Walaupun agama langit tidak memberi ruang seluas agama-agama kuno Bugis terhadap bissu, calabai dan calalai, tetapi keberadaan mereka tidak sepenuhnya ditolak. Bissu tetap ada dengan beberapa aktivitasnya, demikian halnya dengan calabai dan calalai. Para bissu tetap memimpin ritual, calabai tetap memerankan sebagai indobotting (bunda pengantin) yang mengatur pengantin dari dandanan, sikap dan tata cara menjadi pengantin. Bissu dan calabai juga masih tetap diberi posisi mengatur sebuah acara. Mereka berfungsi sebagai jennang. Dalam hal ini kendati masyarakat Bugis secara tegas dan terbuka memegang prinsip heteronormativitas, tetapi tidak sampai melakukan penghukuman terhadap kaum transgender.

Kedatangan agama langit mendorong komunitas bissu, calabai, dan calalai lebih akomodatif terhadap beberapa perubahan. Alih-alih bertahan dengan keras kepala atas nama hak asasi manusia, mereka justru berayun lentur dalam irama yang dibangun oleh agama langit. Para calabai tidak berupaya membangun kultur tandingan, misalnya menentukan ada waktu dan hari tersendiri untuk merayakan kecalabaian. Sebaliknya mereka ikut dalam tradisi dominan yang ada. Mereka ikut berhaji, menjadi peserta Musabaqah Tilawatil Qur’an dan busana sering kali disesuaikan dengan gaya masyarakat umum. Prinsip yang selalu mereka gendong dalam meniti zaman adalah tidak membentur tetapi merangkul.

Dengan cara seperti itu, bissu, calabai, dan calalai masih bisa survive hingga hari ini. Jika sekarang tekanan makin mengeras dari masyarakat yang dulu menerimanya, maka perlu memeriksa kembali strategi gerakan kaum transgender sejauh ini, khususnya gerakan yang mereka lakukan di bawah payung LGBT.

Saya percaya gerakan teman-teman transgender maksudnya baik. Mereka hanya mengharapkan kaum queer ini mendapat haknya sebagaimana manusia pada umumnya. Tetapi harus pula disadari, seluruh tindakan perlu mempertimbangkan nilai-nilai dominan (dominant culture) yang dianut satu masyarakat. Sebab biasanya nilai dominan tersebut tercipta dari konsensus atau kesepakatan dalam masyarakat. Bisa jadi kita tidak nyaman dalam nilai-nilai dominan tersebut, tetapi untuk mengurainya kita tidak selalu harus dalam posisi berhadap-hadapan.

Masalahnya saat ini, dengan berbagai gerakan dan aktivitas kaum LGBT, masyarakat menganggap telah terjadi selebrasi budaya homoseksual dari kelompok tersebut. Hal ini dianggap terpengaruh oleh paham liberalisme yang telah merasuk ke jantung perjuangan kelompok LGBT. Sikap masyarakat akhirnya makin mengeras karena ada kekhawatiran budaya queer ini akan melakukan penetrasi terhadap kecenderungan heteroseksual. Apalagi ada kesan LGBT sendiri telah menjadi gaya hidup atau bagian dari style selebriti dan masyarakat menengah kota. Menjadi transgender bukan lagi kehendak alam, tetapi telah menjadi gaya dan tren dalam pergaulan sosial. Mereka inilah sejatinya yang telah disindir dalam tradisi Calabai Bugis sebagai Calabai Kedo-kedonami (calabai sebagai gaya hidup).

Menggunakan istilah LGBT sendiri sebenarnya telah mengundang persoalan tersendiri (istilah transgender sendiri meski adalah bagian dari LGBT, masih lebih halus untuk digunakan). Istilah LGBT rasanya lebih berbau Barat dan identik dengan liberalisme. Masyarakat yang mendengar istilah tersebut cenderung mengasosiasikannya dengan perkawinan sesama jenis. Para calabai dalam tradisi masyarakat Bugis sendiri tidak senang disebut gay. Sementara para calalai juga tidak suka disebut lesbian. Sharym Graham menegaskan bahwa tidak ada satu pun calabai dan calalai di Sulsel yang menggunakan istilah-istilah tersebut untuk dirinya. Gay maupun lesbian muatannya dominan pada hubungan seksualitas semata. Sementara calabai, calalai apalagi bissu adalah identitas gender yang tidak selalu atau hanya terkait dengan persoalan seksualitas belaka. Pada tingkat calabai tungkena lino (calabai dewata) mereka bahkan berupaya meluruhkan kecenderungan seksualitasnya untuk kemudian tenggelam dalam dunia spiritualitas.

Pada sisi yang lain, kita berharap masyarakat umum juga bisa menerima keberadaan kaum transgender ini sebagai makhluk Tuhan. Mereka adalah manusia yang memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Mereka tidak boleh dihinakan. Haknya untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak tidak boleh dihalangi. Sejauh kaum transgender ini tidak melabrak nilai-nilai bersama yang disepakati, maka mereka harus diberi tempat. Jika orientasi seksualnya berbeda, selama tidak berupaya dilegalkan dan dipraktikkan, maka harus diterima apa adanya. Rasa suka terhadap sesama jenis meskipun aneh di mata kaum hetero, adalah kenyataan yang harus diterima. Tetapi di saat yang sama, bagi yang memiliki rasa suka tersebut, tidak pada tempatnya merintis jalan untuk mewujudkannya. Sebaliknya ia harus mengendalikannya. Karena begitu ia berupaya mewujudkan rasa suka itu menjadi memiliki, ia telah menghancurkan nilai bersama yang telah disepakati.

Artikel ini pertama kali dimuat di nahdliyyin.id

GUSDURian. Ketua LTN NU Sulawesi Selatan.