Topik “demokrasi” menjadi fokus utama perbincangan Forum 17-an yang diselenggarakan Komunitas GUSDURian Banjarmasin pada Rabu (21/9) malam. GUSDURian Banjarmasin mengadakan nonton bersama (nobar) film Di Bawah Bendera Demokrasi dan diskusi dengan tema “Demokrasi Kita Saat Ini” di Aula Gereja Hati Yesus Yang Maha Kudus, Veteran, Banjarmasin.
“Kegiatan ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada 15 September. Hari ini, 21 September bertepatan dengan Hari Perdamaian Internasional,” ujar Arief Budiman, Koordinator GUSDURian Banjarmasin.
Haris, pemantik diskusi berpendapat bahwa kata mayoritas, minoritas, pribumi, non-pribumi, Islam, non-Islam dan lain sebagainya membuat manusia saling mengotak-ngotakkan dan saling mendiskriminasi.
“Kita sering mendengar istilah pribumi dan non-pribumi. Orang-orang di Kampung Arab dan keturunan Arab boleh mengaku pribumi, tapi kenapa kami yang Cina atau Tionghoa tidak boleh mengaku pribumi? Padahal saya merasa pribumi karena saya orang Indonesia,” ucap Haris.
Sebagai seorang Katolik, Haris mengaku muak dengan istilah-istilah itu. “Saat saya masih kecil, saya tidak pernah merasa sebagai minoritas. Saya bergaul dengan semua orang. Lalu ketika remaja, saya mendengar istilah mayoritas-minoritas, ini berlawanan dengan kemanusiaan. Ini kan agama kita masing-masing, kita tidak bisa memilih untuk lahir sebagai apa, sebagai siapa.”
Haris melanjutkan pembahasannya tentang kenaikan harga BBM bersubsidi pada 3 September lalu. BBM bersubsidi tidak seharusnya dinikmati oleh orang yang mampu. Kalau seandainya orang-orang mampu tidak menggunakan BBM bersubsidi, mungkin pemerintah tidak menaikkan harga BBM.
“Saya penggemar berat Soe Hok Gie. Ia pernah bilang bahwa ia akan selalu bersama orang-orang kecil. Itu juga yang menginspirasi saya. Saya tidak akan pernah mampu menikmati BBM bersubsidi sementara saya masih mampu membeli BBM non-subsidi. Kita harus melihat sisi kemanusiaannya. Begitulah demokrasi,” ujar Haris.