Angkat Tema “Sudah Demokrasikah Kita?”, GUSDURian Jogja Kembali Gelar KBGJ dan Forum 17-an

Komunitas GUSDURian Jogja (Santri Gus Dur) kembali mengadakan acara Kongkow Bareng GUSDURian Jogja (KBGJ) pada Senin, 19 September 2022 lalu. Mengangkat tema “Sudah Demokrasikah Kita?”, KBGJ kali ini dikemas dengan nobar dan diskusi diskusi film “Di Bawah Bendera Demokrasi”.

Acara ini dihadiri oleh sekitar 30-an anak muda dari berbagai latar belakang. KBGJ sendiri merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Forum 17-an yang diselenggarakan di berbagai komunitas GUSDURian di seluruh Indonesia. Selain itu, kegiatan ini juga untuk memeriahkan kegiatan menjelang Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian pada Oktober 2022 mendatang di Surabaya.

Topik terkait demokrasi sengaja diangkat sebagai topik utama sebab merupakan salah satu bentuk perayaan dari peringatan Hari Demokrasi Internasional yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya.

Dalam Forum 17-an tersebut, setelah selesai menonton film, sesi dilanjutkan dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh Tri Noviana dan M. Mujibuddin, serta diakhiri dengan sesi diskusi dan tanya jawab antara audiens dan pemateri.

Pada dasarnya, pada KBGJ kali ini diharapkan menjadi sesi untuk mengingat kembali sejarah demokrasi di Indonesia, khususnya pada era Gus Dur. Harapannya agar anak muda saat ini dapat melihat urgensi dan mengkorelasikan dengan realitas sekarang.

“Demografi demokrasi di Indonesia hari ini mengalami penurunan,” ungkap Tri Noviana, “Bahkan, Yogyakarta sebagai ikon demokrasi juga berbanding lurus dengan pelanggaran demokrasinya. Pelanggaran itu dapat dilihat dalam beragam peristiwa beberapa waktu terakhir seperti salah satunya dalam peristiwa pemaksaan pemakaian jilbab di salah satu sekolah di Bantul, dan masih banyaknya tindak diskriminasi pada kelompok minoritas,” lanjutnya.

Adapun M. Mujibuddin menambahkan, bahwa demokrasi yang disaksikan saat ini adalah sebagai impact dari demokrasi ala Soeharto dulu. Dapat dikatakan bahwa banyaknya ormas yang lahir pasca-Orde Baru adalah fenomena bom waktu, sebab sebelumnya dikuasai dan dikendalikan oleh Soeharto.

“Namun ketika Gus Dur menjabat jadi presiden, momen ini menjadi penawar atas demokrasi yang diciptakan oleh Soeharto. Walaupun jika dilihat lagi, demokrasi ala Gus Dur terkesan tidak konsisten. Namun, justru dalam ketidakkonsistennya tersebut terlihat bahwa seorang Gus Dur mempertimbangkan konteks keindonesiaan,” papar pria yang akrab disapa Mujib tersebut.

Pada akhirnya, sebenarnya ideologi penghancur demokrasi di Indonesia adalah ideologi yang ekstrem kiri dan kanan, serta orang-orang yang menggunakan politik untuk sekedar meraih kekuasaan politik, bukan untuk kemaslahatan umat atau masyarakat.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.