Teringat di akhir tahun 2018 lalu, penulis mengikuti suatu kegiatan nasional di Makassar, yaitu pelatihan juru bicara Pancasila. Pelatihan ini dinamakan pelatihan 1000 juru bicara Pancasila atau juru bicara gagasan kebangsaan di seluruh Indonesia. Pelatihan ditempatkan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Makassar.
Yang menarik dari pelatihan ini yaitu sekalipun pelatihannya berlangsung cuma empat hari, tapi materinya sangat berbobot dan diampu oleh pemateri-pemateri nasional yang tidak diragukan lagi wawasan kebangsaan dan keindonesiannya. Tentu saja diwarnai juga dengan beberapa permainan yang terkait dengan penguatan wawasan kebangsaan.
Terkait dengan Pancasila pasca-Orde Baru, ada penelitian terbaru dari survei LSI Denny JA pada Juli 2018, bahwa dalam waktu 13 tahun (2005-2018) warga yang mendukung Pancasila menurun sekitar 10 persen. Sementara dalam waktu yang sama, warga yang mendukung NKRI bersyariah menanjak naik sekitar 9 persen. Inilah yang menarik untuk menjadi kajian bersama. Ada apa dengan Pancasila? Dari segi idealitas, ia adalah konsep yang sangat ideal, yang telah dirumuskan oleh para founding fathers kita dengan sangat bijak dengan berbagai pertimbangan untuk kemajuan Indonesia ke depan.
Para founding fathers kita adalah orang yang sangat cerdas dalam melihat Indonesia saat itu dan masa yang akan datang. Berbagai pertimbangan mendalam menjadi acuan dalam memutuskan dasar negara. Mereka memandang bangsa atau negara Indonesia secara holistik.
Pada waktu itu terjadi berbagai perdebatan sengit menyangkut dasar negara yang akan menjadi dasar negara Indonesia. Mulai dari berdasarkan Islam, ada yang mengusulkan negara sekuler, dan dasar negara Pancasila. Akhirnya para elit bangsa waktu itu mengambil jalan tengah, yaitu bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler, tetapi Pancasila sebagai dasar negara.
Ini adalah pilihan yang sangat bijak, sekalipun sangat banyak yang mengkritisi pilihan tersebut. Apalagi setelah dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama, banyak yang menyayangkan dari kalangan yang ingin mengusung negara Islam. Dan demi keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, para elit bangsa yang dipelopori oleh Soekarno, akhirnya menyepakati untuk menghilangkan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, dan menjadikan sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan diktum tersebut semua perwakilan sepakat karena merasa terakomodir dengan sila pertama tersebut.
Demikian juga tokoh-tokoh Islam dan nasionalis yang akhirnya menerima dengan legowo. Mereka lebih memikirkan Indonesia ke depan jika dibandingkan ego sektoral yang bisa menghancurkan negara Indonesia setelahnya. Para elit bangsa atau founding fathers yang merumuskan Pancasila merupakan tokoh-tokoh yang punya visi kebangsaan yang begitu dalam, punya kecintaan terhadap Indonesia yang begitu dalam, dan bukan pemimpin yang berpikiran jangka pendek seperti banyak kita dapati sekarang ini.
Para tokoh perumus Pancasila bukanlah tokoh-tokoh yang hanya mengkampanyekan Pancasila secara verbalistik, tapi betul-betul meresapi kandungan Pancasila dari sila per sila. Bahwa Pancasila itu adalah pandangan hidup bangsa, ideologi negara, dan tidak satu pun silanya yang bertentangan dengan agama. Bahkan sila pertama dari Pancasila yang merupakan pengganti dari tujuh kata yang dihilangkan itu lebih islami dari sebelumnya. Di samping bermakna tauhid dalam konsep ajaran Islam, juga bisa diterima oleh agama-agama lain.
Dan sila pertama dari Pancasila itu adalah menjiwai sila-sila yang lain. Itulah sila yang paling pokok. Maka dari itu, dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 29 dikatakan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Dan Pancasila ini adalah kalimatun Sawa, titik temu dari berbagai agama yang ada di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarahnya, baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru, Pancasila mengalami banyak tantangan dan rongrongan. Di masa Orde Lama eksistensi Pancasila dihadapkan dengan ideologi komunis yang sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila. Begitupun di zaman Orde Baru, Pancasila lebih banyak digaungkan oleh para elit bangsa dalam bentuk verbalistik. Pancasila dalam bahasa Bung Hatta ibarat gincu, ada atau nampak tapi tidak terasakan, bukan seperti garam tidak nampak tapi terasa.
Pasca-Orde Lama dan Orde Baru, Pancasila tidak sepi dari perbincangan. Bahkan ada dari kalangan politisi muslim yang mengangkat atau menghidupkan kembali piagam Jakarta. Ini adalah suatu kemunduran dalam memahami visi kebangsaan dan kenegaraan. Ini karena kebebasan dalam mengemukakan pendapat di zaman Reformasi lebih terbuka.
Para politisi yang masih memperdebatkan Pancasila adalah politisi yang tuna visi kebangsaan. Mereka tidak memahami bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis, bangsa yang majemuk. Pemahaman mereka terhadap Islam dan Pancasila sangatlah parsial. Pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap konsep Pancasila yang telah dirumuskan founding fathers.
Memang salah satu yang menjadi penyebab menurunnya dukungan terhadap Pancasila dari survei di atas adalah berkembangnya ideologi atau paham lain di luar Pancasila ketika memasuki era Reformasi. Beragam warna dan spektrum politik yang datang sebagai alternatif, baik dari yang kiri hingga kanan. Bagi warga yang menginginkan keadilan sosial, paham alternatif yang populis akan sangat membujuk.
Ini juga tidak terlepas dari pemimpin atau elit bangsa yang bergaya hidup glamour. Mereka hidup dalam kemewahan dan dalam pembagian “kue pembangunan” itu tidak punya nilai keadilan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Salah tokoh bangsa yang sangat sering mengkritisi para pemimpin bangsa adalah almarhum Prof Syafi’i Ma’arif. Ia bahkan pernah melontarkan suatu ungkapan bahwa salah satu sila dalam Pancasila yang masih yatim adalah sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah sila yang kurang mendapat perhatian dalan perspektif pembangunan.
Itulah pokok-pokok pikiran dalam memperingati hari lahir Pancasila 1 Oktober 2022. Mudah-mudahan ke depan kita bukan hanya pintar dalam mengucapkan Pancasila, tetapi lebih dari itu kita dapat merealisasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.