Pancasila Yes, NKRI Bersyariah No

Di akhir tahun 2018 kemarin, saya sempat mengikuti pelatihan juru bicara Pancasila di Makassar. Pelatihan ini diselenggarakan di empat provinsi dan dilaksanakan oleh Komunitas Bela Indonesia (KBI) yang diketuai oleh Denny JA. Ini merupakan salah satu program dari KBI untuk melatih juru bicara Pancasila sebanyak 1000 orang di seluruh Indonesia. Dari Sulbar sendiri diwakili oleh tiga orang.

Program ini sangat penting karena memberikan pemahaman ulang bahwa Pancasila adalah sesuatu yang telah sangat familiar dengan bangsa Indonesia. Pancasila itu jati diri bangsa. Pancasia adalah kalimatun sawa atau titik temu dari berbagai agama, budaya, ras, dan etnis yang ada di indonesia.

Pendekatan-pendekatan dalam materi kegiatan tersebut sangat dinamis karena sudah di-setting oleh tim perumus dari KBI pusat. Mereka sudah menyiapkan buku rujukan yang disusun oleh tim KBI, di antaranya ada Denny JA, Kapolri Tito Karnavian yang merupakan doktor dalam bidang terorisme, Yudi Latif yang merupakan cendekiawan muslim yang karangan-karangannya banyak mengupas Pancasila, dan ada Prof Nasaruddin Umar yang merupakan Imam Masjid Istiqlal, dan lain lain.

Para peserta dari kegiatan ini terdiri dari berbagai profesi: ada dosen, pendeta, tokoh agama, aktivis HAM, aktivis mahasiswa, dan amggota ormas. Dari berbagai latar belakang yang ikut dalam kegiatan ini semuanya sepakat bahwa Pancasila perlu untuk diinterpretasi ulang, mengingat bahwa tahun-tahun kemarin atau rezim-rezim yang lalu pemerintah mengkampenyekan Pancasila hanya sebatas sebagai simbol, tanpa mencoba untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang makna Pancasila yang sebenarnya.

Mereka mengkampanyekan Pancasila dalam batas retorika saja, dan terkesan dipaksakan, atau dalam bahasa Bung Hatta, kita lebih tertarik pada “filsafat gincu”, bukan “filsafat garam”. Filsafat gincu itu nampak tapi tidak terasa, sedangkan filsafat garam tidak nampak tapi sangat terasa.

Itulah yang terjadi di tahun-tahun kemarin, baik di Orde Lama maupun di Orde Baru, bahkan sampai ke era Reformasi. Pada masa-masa itu kita lebih tertarik dengan filsafat gincu, filsafat yang lebih mengedepankan formalitas yang kaku. Kita bagaikan robot yang sudah disetel, berjalan secara mekanis. Kita tidak pernah memaknai Pancasila secara substantif.

Makna pancasila itu sangat dalam. Di dalamnya sudah ada teologi, ada humanisme, ajaran persatuan tanpa memandang dikotomi antara para penganut agama, suku, dan etnis. Kita dipersatukan oleh satu simbol bhinneka tunggal ika yang didalamnya ada demokrasi atau musyawarah, ada ajaran keadilan, dan seluruh rakyat berhak untuk memperoleh rasa keadilan.

Namun dalam perjalanannya, Pancasila mengalami stagnanisasi. Pancasila menjadi mandul dari pesan-pesan spritual dan pesan-pesan kemanusiaan. Tuna persatuan yang terjadi adalah dikotomisasi. Masing-masing kelompok lebih mengedepankan identitas primordialnya. Pesan-pesan demokrasi dalam Pancasila di-nonfungsikan dan yang terjadi adalah demokrasi feodalisme. Demokrasi menjadi mati suri. Lebih-lebih dalam ranah keadilan.

Hal terakhir inilah yang telah dilumpuhkan oleh rezim-rezim yang lalu. Ada daerah-daerah yang betul-betul termarjinalisasi, yang tidak pernah tersentuh keadilan sosial. Itulah sebabnya di era kebebasan sekarang ini, banyak dari kelompok tertentu yang ingin menggeser nilai-nilai Pancasila.

Mereka mencoba menggembosi secara perlahan dan mengkampanyekan rasa skeptis terhadap Pancasila dengan mencoba menawarkan NKRI bersyariah, atau Pancasila bersyariah. Kelompok inilah yang ingin mengembalikan tujuh kata dalam Pancasila yang dihilangkan oleh para pendiri bangsa. Bukan hanya itu, mereka ingin mendirikan negara Islam atau menegakkan syariat Islam.

Gerakan-gerakan formalisasi syariat Islam mulai menguat bersamaan dengan zaman Reformasi. Saat itu, keran kebebasan berdemokrasi dibuka dengan lebar, sehingga para pejuang syariat Islam yang di masa Orde Baru berjuang secara sembunyi-sembunyi, sudah berani menampakkan diri dan berjuang secara terang-terangan, baik lewat DPR maupun lewat gerakan-gerakan radikal.

Perjuangan mereka cukup masif dan terorganisir, mulai dari lewat gerakan-gerakan dakwah melalui pendidikan formal maupun non-formal seperti kajian-kajian keislaman. Gerakan mereka menggunakan simbol-simbol “kembali kepada Al-Qur’an-hadis” dengan pemahaman yang sangat tekstual. Inilah yang dicoba digaungkan oleh pejuang-pejuang syariah, atau NKRI bersyariah.

Hal ini sangat bertentangan dengan hasil rumusan pendiri NKRI. Para pendiri NKRI telah berjuang mempersatukan wilayah Indonesia yang sangat beragam dari segi etnis, agama, dan budaya. Para pejuang pendiri bangsa ini sudah sangat paham bahwa wilayah Nusantara ini sangat plural dan karena itu perlu aturan-aturan yang bisa diterima oleh semua pihak.

Betapa para pejuang republik ini sudah berpikir sangat jauh ke depan tentang eksistensi negara ini untuk masa yang akan datang. Mereka sangat ikhlas dalam berjuang. Padahal kalau kita mencoba menelaah dasar negara kita ini, itu sangat islami, tidak ada satupun silanya yang bertentangan dengan prinsip keislaman. Tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam.

NKRI ini sudah bersyariah. Maka tidak perlu diberikan label syariah. Oleh sebab itu marilah kita mencoba mengaktualisasikan kembali hasil ijtihad kebangsaan yang diwariskan oleh para pejuang NKRI. Kita pertahankan Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini merupakan titik temu antara berbagai agama, budaya, suku yang ada di Indonesia.

Menurut survey LSI Denny JA, mengapa Pancasila kehilangan kekuatan simboliknya sebagai perekat keragaman bangsa? Setidaknya ada tiga penyebab:

Pertama, menurunnya dukungan atas Pancasila karena isu ketimpangan ekonomi. Ketimpangan yang semakin melebar sangat rentan dengan isu keadilan. Ada variabel ketidakpuasan ekonomi dan isu keadilan sosial yang dialami oleh mereka yang meninggalkan Pancasila.

Kedua, berkembangnya ideologi atau paham lain di luar Pancasila.

Ketiga, terjadi sesuatu pada Pancasila itu sendiri. Zaman sudah sedemikian berubah. Pancasila tak lagi disosialisasikan dengan spirit zaman baru, era milineal, yang tak lagi pas dengan kebijakan Top-Down. Ini era Bottom-Up, dari masyarakat untuk masyarakat. Turunnya dukungan atas Pancasila itu diakibatkan pula oleh sebut saja melemahnya “marketing Pancasila.”

Marilah kita kembali merenungi, perjuangan para pendiri bangsa yang sangat spektakuker ini. Kita jangan terpengaruh dengan ideologi-ideologi palsu yang dicoba dikampanyekan oleh golongan-golongan tertentu yang ingin mencerai beraikan bangsa kita.

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.