Mungkinkah Menjadi Seorang Muslim dan Seorang Buddhis Sekaligus?

Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku,
Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku,
Aku tidak tertarik memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama,
Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,
karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.

Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,
dan nilailah oleh dirimu sendiri.

Jika itu baik bagimu, terimalah,
Jika tidak, janganlah engkau terima
.

Buddha – “Udumbara Sutta”

Judul di atas jika dibongkar variabelnya, ada dua hal yang bisa dipersoalkan, pertama kata “Muslim”, dan kedua kata “Buddhis”. Seperti apa Anda—sebagai pembaca—memaknai kedua variabel tersebut, sejauh itu pula anda lebih lanjut memberi penilaian pada tulisan atau cerita di bawah ini.

Secara pribadi, saya mulai berinteraksi dengan gagasan tentang Buddha sejak masih nyantri di Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kala itu, saya pernah menulis paper tentang “Jalan Mulia Berunsur Delapan”. Saya masih ingat, pada waktu itu saya mencari informasi tentang Buddha sebatas dari studi literatur alias sekadar membaca buku para ahli teologi agama-agama.

Hari ini baru terasa bahwa cara tersebut sangat kering dan tak ada makna lebih dalam—selain memang sekadar untuk menggugurkan kewajiban saya atas beban tugas di akhir semester.

Awal Mengenal Buddha lewat Waisak dan Meditasi

Di awal hingga tengah masa perkuliahan S-1 saya di UIN Sunan Kalijaga tersebut, saya rutin pula datang ke Borobudur pada saat hari raya Waisak. Bagi saya, perayaan tersebut adalah momen langka untuk bisa melihat langsung para bhikkhu dan umat Buddha memenuhi kawasan Mendut hingga membanjiri kawasan Candi Agung Borobudur.

Lantas pada separoh akhir masa studi S-1 saya, ada kalanya saya rajin mengikuti meditasi rutin yang digelar di Vihara Karangdjati, Monjali. Di momen meditasi tersebut, tentu ada banyak umat Buddha berkumpul. Meski saya perhatikan—karena meditasi ini terbuka untuk umum—kadang lebih banyak umat non-Buddhis yang turut bermeditasi.

Meditasi tiap Jumat itu adalah momen berharga bagi saya untuk sedikit mengenal ajaran Buddha. Sebab seusai meditasi, selalu ada sesi sharing dari instruktur kepada para pesertanya. Para peserta meditasi pun juga dipersilakan jika ingin sharing atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Sehingga meski meditasi tersebut berlangsung secara formal, kadang obrolan informal setelahnya jauh lebih menarik untuk disimak. Bahkan, obrolan seusai sesi meditasi tersebut bisa berlangsung berjam-jam, hingga larut malam.

Berbekal pengalaman tersebut, saya sempat menuliskan refleksi saya di tahun 2021 lalu di laman Gusdurian.net (https://gusdurian.net/tafakkur-sang-buddha/). Bertepatan dengan momentum Ramadan, saya mencoba menelisik bahwa apa yang direnungkan Siddharta Gautama dan apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam simpulan saya ketika itu, mereka berdua memiliki kesamaan, yakni mereka sama-sama mencapai pencerahan sebagai puncak spiritualitasnya. Kemudian, kedua tokoh reformator ini memulai perubahan dari tataran diri yang lantas berimplikasi pada perubahan masyarakatnya pada waktu itu.

Masih di tahun 2021, saya juga pernah menuliskan dua khotbah fenomenal dari kedua tokoh tersebut di laman Alif.id (https://alif.id/read/ashm/dari-benares-menuju-arafah-merayakan-waisak-bersama-sang-buddha-dan-nabi-muhammad-saw-b238075p/). Dalam tulisan tersebut, saya menemukan kedua khotbah yang begitu monumental. Di sana saya juga menemukan keduanya punya banyak persamaan atau titik temu (kalimatun sawa’) di tengah terjalnya perbedaan kedua tokoh ini—entah besar atau kecil, tergantung bagaimana Anda sebagai pembaca menilai.

Meneropong Ajaran Buddha melalui KDAB

Waktu berlalu, saya kemudian dipertemukan dengan informasi tentang Kursus Dasar Agama Buddha (KDAB). Kursus ini diadakan oleh Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) DIY dan Vihara Karangdjati.

Setelah mencermati persyaratan di posternya, saya memastikan tak ada persyaratan harus memiliki latar belakang agama Buddha atau ber-KTP Buddha untuk mengikuti KDAB. Saya pun langsung tancap gas untuk mendaftar. Singkat cerita, saya diterima bersama beberapa orang lainnya—yang entah apa pula latar belakang keyakinannya.

Satu hal yang membedakan cara saya menggali ajaran Buddha pada waktu lalu ketika masih menempuh studi S-1 di UIN Sunan Kalijaga dengan yang saya alami di KDAB, adalah kali ini saya bisa berinteraksi langsung dengan pengajar sekaligus sumber utama/primer—orang-orang yang meyakini ajaran Buddha. Penggalian saya kali ini begitu interaktif dan terasa lebih hidup.

Dalam kelas sebanyak delapan kali pertemuan yang berlangsung dari Juli hingga September 2022 ini, terdapat banyak hal yang dipelajari secara komprehensif. Mulai dari detail mempelajari riwayat hidup Buddha Gautama, empat kebenaran mulia, ketuhanan dalam perspektif agama Buddha, ritual-ritual Buddhis, organisasi-organisasi umat Buddha, kamma (hukum karma) dan punarbhava (tumimbal lahir/lahir kembali) hingga paticcasamuppada (hukum tentang fenomena yang kemunculannya bersebab—atau 12 mata rantai).

Menjadi Muslim Sekaligus Buddhis, Mungkinkah?

Kembali ke judul tulisan ini, di awal kelas KDAB saya sempat mempertanyakan apa perbedaan antara agama Buddha dan ajaran Buddha. Saya cukup yakin ketika Anda mendengar kata “agama”, hal yang paling umum muncul di kepala Anda adalah lembaga atau institusi. Menyusul setelahnya pikiran tentang ajaran, kitab suci, nabi, dan bahkan Tuhan. Persis cara republik kita tercinta memberikan definisi atas “agama”.

Jawaban yang saya dapat di dalam KDAB, justru ringkas saja. Ternyata untuk mengikuti ajaran Buddha tidak perlu untuk berganti identitas. “Kelas ini dibuat tidak untuk Buddhaisasi,” demikian seorang pemateri di kelas tersebut pernah berseloroh.

Pemateri tersebut mengutip kalimat yang pernah dikatakan Bhikkhu Pannavaro Mahathera, “Mengikuti ajaran Buddha, tidak perlu mengganti identitas (di KTP).”

Pernyataan itu menjadi satu hal yang baru sekaligus menohok bagi saya. Sebab, jika kembali ke kalimat Bhikkhu Pannavaro di atas, entah apakah masih relevan pertanyaan apakah mungkin menjadi seorang Muslim dan seorang Buddhis sekaligus? Sebab pada akhirnya ajaran-ajaran Ilahi memang memiliki dimensi perenial yang bertemu di satu titik (esoterik). Meski pada saat yang sama ajaran-ajaran tersebut juga tidak bertemu (eksoterik).

Saya kian mengamini hal tersebut setelah saya menyelesaikan semua rangkaian proses belajar di KDAB sebanyak dua bulan penuh. Saya merasa tidak lagi memerlukan identitas atau pengakuan, apakah saya adalah seorang Muslim yang sekaligus seorang Buddhis? Pengakuan semacam itu rasanya sudah menjadi tidak penting.

Apa yang saya temukan adalah bahwa antara ajaran yang dibawa oleh Buddha Gautama dan Nabi Muhammad SAW tak ada yang bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan. Sejatinya, meski berbeda zaman dalam perutusannya, Buddha Gautama dan Nabi Muhammad SAW mengembalikan kualitas kesadaran masyarakat atau orang-orang pada masanya, meski akhirnya berbeda di teknik atau caranya.

Spirit utama mereka sama—bagaimana keserakahan (loba), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) itu harus diatasi. Caranya tentu dengan mengasah spiritualitas kita dan menajamkan kualitas kesadaran dengan banyak berlatih.

Buddha Gautama dan Nabi Muhammad SAW juga sama-sama berjuang mendorong manusia untuk memurnikan batin atau tazkiyah al-nafs (menyucikan jiwa) serta berbuat kebajikan (virtue).

Terkait hal ini, sedikit memodifikasi salah satu wejangan fenomenal dari Gus Dur, “Jika engkau berbuat baik kepada semua ciptaan (baik manusia maupun makhluk hidup lainnya), orang tidak akan tanya apa agamamu.”

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).