Social Media

Penghayatan Islam dan Dakwah yang Meneduhkan ala Prof. Nasaruddin Umar

Secara kebahasaan, dakwah berasal dari bahasa Arab da’aa yang berarti mengajak. Mengajak dalam perspektif Al-Qur’an adalah mengajak ke jalan Tuhan dengan cara hikmah, bijak, nasehat yang baik, punya argumentasi yang baik, dan punya landasan yang kuat atau dasar-dasar teologis yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di tempat yang lain Al-Qur’an memerintahkan untuk melakukan atau mengajak sekelompok orang atau masyarakat untuk mengajak ke kebaikan, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah kepada yang mungkar. Sangat menarik untuk mengkaji ayat ini, “Hendaklah ada sekelompok orang dari kamu yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang berbuat munkar” (QS.3.104).

Ayat di atas sangat menarik karena Tuhan menggunakan dua kata yang secara terjemahan hampir sama tapi maknanya berbeda. Yaitu yad’uuna ilal khair dan wa ya’muruuna bil ma’ruf. Mengajak ke kebaikan dan menyuruh yang baik atau ma’ruf. Al khair dan ma’ruf adalah dua kata yang hampir sama artinya.

Dalam kajian keagamaan, tidak mungkin dua kata yang sama artinya dalam satu ayat, pasti ada perbedaan di antara kedua kata tersebut. Kalangan pakar keagamaan mencoba memberikan pemahaman terhadap kedua kata tersebut: al khair coba diterjemahkan dengan ‘kebaikan secara universal’ atau ‘kebaikan secara umum’, sedangkan ma’ruf diartikan ‘kebaikan secara partikular’.

Islam itu agama yang ajaran-ajarannya mengandung kebaikan yang universal tapi implementasi dari keislaman secara universal itu berbeda antara satu wilayah atau daerah dengan wilayah lainnya. Penafsiran Islam di Indonesia tentu akan ada perbedaan dengan penafsiran Islam di Arab, karena Islam adalah agama yang fleksibel.

Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang banyak menempel pada budaya lokal yang ada. Budaya lokal yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia. Para puritanis menganggap bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang sinkretik, Islam yang bercampur dengan budaya di luar Islam. Namun dalam sejarah dakwah keislaman yang masuk ke Indonesia, hal ini bisa dikatakan berhasil karena para pembawa Islam ke Indonesia adalah para ulama sufi dan para pedagang. Komunitas ini sangat toleran terhadap budaya-budaya yang berkembang di tempat mereka melakukan misi keislaman.

Mereka sangat akomodatif terhadap budaya-budaya yang ada di suatu daerah. Mereka tidak langsung memvonis bahwa budaya ini bertentangan dengan misi keislaman. Oleh sebab itu sangat banyak kita dapati dalam pengembangan Islam di Indonesia budaya menjadi medium untuk mempercepat penyebaran Islam.

Salah satu contoh yang paling dekat adalah model atau bentuk masjid di awal berkembangnya Islam. Masjid di masa itu mengambil bentuk atau model bangunan-bangunan Hindu. Di situ Islam tidak  mempermasalahkan model kubah masjid dan tetap mempertahankan model seperti itu, sehingga masyarakat dengan senang hati menerima ajaran-ajaran Islam yang tidak terlalu mempermasalahkan tentang bentuk kubah tersebut.

Model-model dakwah seperti inilah yang dicoba dikembangkan oleh Prof. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dan pendiri organisasi lintas agama untuk Masyarakat Dialog antar Umat Beragama. Model dakwahnya sangat akomodatif, moderat, teduh, menentramkan, tidak mudah menyalahkan, tidak mudah mengkafirkan, bijak, dan punya argumentasi yang baik.

Model-model dakwah yang disampaikan oleh Prof. Nasar adalah pendekatan yang lebih mengedepankan aspek kultural, seperti yang pernah dilakukan oleh para Walisongo dengan menggunakan wayang sebagai alat untuk menyampaikan dakwah ke masyarakat. Itulah yang dimaksud dengan aspek kultural karena mencoba mengadopsi budaya-budaya yang sedang berkembang di masyarakat dan dicoba dengan pendekatan kultur yang cocok dengan budaya masyarakat setempat.

Dalam berbagai pemaparan nasihat-nasihat keagamaan Prof. Nasar, baik melalui buku-buku karangannya maupun lewat ceramah dan kajian daringnya, sangat memberikan keteduhan. Kajian-kajiannya komprehensif, baik dengan pendekatan kultural-budaya maupun kajian dengan pendekatan teks yang kemudian dicoba diinterpretasikan lewat konteks.

Pak Nasar tidak pernah mempertentangkan antara pendekatan tekstual dengan pendekatan kontekstualnya. Penguasaan terhadap bahasa, khususnya bahasa Al-Qur’an, ikut memperkaya pembahasan berbagai tema kajiannya. Dari teks menuju konteks itulah yang akan melahirkan kupasan ilmu yang komprehensif dan melahirkan hikmah-hikmah yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kalau kita mengacu pada pembagian agama menurut hadis, yakni ketika malaikat Jibril mendatangi Muhammad dan bertanya tentang ketiga pilar agama yakni Iman, Islam dan Ihsan, Prof Nasar lebih menitikberatkan kepada kajian Ihsan, yakni bagaimana mendekati Tuhan lewat stasion-stasion atau tahapan menuju Tuhan. Meski demikian ia juga tidak pernah meninggalkan pendekatan Iman dan Islam.

Prof. Nasar sangat terkenal lewat kajian Iqra’-nya. Iqra ada empat tingkatan, yaitu iqra’ satu, dua, tiga dan empat. Sama halnya dengan berislam atau memahami keislaman yang punya tingkatan-tingkatan pula. Iqra’ pertama adalah ketika seseorang yang memahami Islam baru dalam taraf awal, yakni masih sangat mengandalkan teks. Kemudian iqra’ kedua sudah ada peningkatan dengan mencoba memberikan makna terhadap teks. Sebuah peningkatan dari hanya pemaknaan secara tekstual saja. Begitu masuk iqra’ ketiga dan keempat maka bukan penafsiran atau pemaknaan terhadap teks lagi, tapi sudah sampai makna yang terdalam dari suatu teks atau dalam kajian tasawufnya adalah makna esoteris dari suatu teks.

Satu lagi yang cukup menarik dari cara penyampaikan Prof. Nasar adalah penafsiran suatu teks ke teks berikutnya. Ketika mengupas iqra yang artinya bacalah, belajarlah, maka juga harus didampingi dengan bismi rabbik. Iqra tanpa bismi rabbik akan melahirkan manusia-manusia yang sekuler, melupakan Tuhan. Demikian juga sebaliknya, bismi rabbik tapi tidak iqra’ tentu akan melahirkan manusia-manusia yang bodoh. Percaya kepada Tuhan tapi tidak memperdalam ilmunya.

Itulah pandangan singkat tentang metode dakwah atau penyampaian kajian-kajian keislaman yang menjadi ciri khas dari Prof. Nasar. Ia memakai pendekatan yang dinamis dalam memahami Islam dan sangat meneduhkan serta menentramkan dalam menyampaikan kepada orang lain.

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.