Forum Isu Prioritas Hadirkan Kelas Perwujudan Keadilan Hakiki dan Ketangguhan Keluarga, Perempuan dan Anak

Perempuan merupakan kaum marginal yang mendapat perhatian besar dari Gus Dur. Berlandas nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan yang telah diteladankan olehnya, Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian 2022 mengadakan kelas Perwujudan Keadilan Hakiki dan Ketangguhan Keluarga, Perempuan, dan Anak dalam forum isu prioritas.

Perwujudan Keadilan Hakiki dan Ketangguhan Keluarga, Perempuan, dan Anak

Perempuan merupakan kaum marginal yang mendapat perhatian besar dari Gus Dur. Berlandas nilai keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan yang telah diteladankan olehnya, Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian mengadakan kelas Perwujudan Keadilan Hakiki dan Ketangguhan Keluarga, Perempuan, dan Anak dalam forum isu prioritas.

“Idealnya manusia itu sama, tapi dalam praktiknya dibedakan. Ada yang lebih baik, ada yang biasa saja. Perbedaan tidak untuk merendahkan tapi agar mampu saling melengkapi satu sama lain. Pengalaman biologis antara laki-laki dengan perempuan berbeda, oleh itu perlu ada keadilan hakiki yang harus disadari bersama. Meski berbeda kapasitas, tetapi wajib untuk memperhatikan ketahanan agar tidak jadi korban atau pelaku,” tutur Faqihuddin Abdul Kodir ketika forum yang berlokasi di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Sabtu, 15 Oktober 2022.

Nurul Bahrul Ulum, founder Cherbon Feminist selaku pemandu diskusi, ia membagi forum menjadi lima kelompok dengan isu: (1) Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, (2) Domestifikasi Perempuan, (3) Kesetaraan Gender di Ruang Publik, (4) Perkawinan Anak, (5) Ketahanan Keluarga dan Stunting. Semua kelompok diminta memberikan kerangka kerja pada level penguatan masyarat, gagasan jejaring gerakan, dan kebijakan publik.

Diskusi itu memberi kesempatan pada peserta untuk saling berbagi pengalaman sosial terkait kelompok rentan yang terjadi di wilayah masing-masing. Saling mencari akar permasalahan sehingga menghasilkan kerangka kerja, agar ke depannya terwujud kesetaraan dan keadilan hakiki.

Salah satu peserta mengatakan hal terpenting untuk ketangguhan keluarga ialah pendidikan keluarga. Masyarakat sampai hari ini berpikir bahwa mengasuh anak diwajibkan pada sosok perempuan (ibu). Kita ingin mengubah pola pikir, pengasuhan merupakan kewajiban bersama. Mengasuh anak, menyelesaikan masalah keluarga adalah persoalan bersama laki-laki dan perempuan, istri dan ayah. Begitu pula pendidikan di pesantren hendaknya punya kurikulum adil gender. Kalau tidak ada, lembaga pendidikan harus membuka akses seluasnya agar santri atau muridnya paham adil gender sejak dini.

“Karena keadilan hakiki, teman-teman selaku penggerak jangan sampai lagi pakai istilah yang salah yang akhirnya berpotensi mengeksklusi hak-hak. Misalnya pernikahan dini diganti jadi PUA Pernikahan Usia Anak karena yang ditentang adalah usia anak, sesuai dengan undang-undang. Kemudian misalnya kehamilan di luar nikah. Kalau penggerak pakai kehamilan tidak diinginkan atau tidak direncanakan. Jika disebut kehamilan di luar nikah berarti solusinya harus dinikahkan. Padahal tidak semua kehamilan solusinya dinikahkan. Jadi dimulai dari istilah-istilah itu,” ungkap Kalis Mardiasih.

Di akhir sesi, Faqihuddin Abdul Kodir juga berpesan pada para GUSDURian untuk mengambil peran dalam isu ini.

“Nyatanya kehidupan ini sakit terutama jika dikaitkan dengan perempuan. Sangat tidak adil, banyak kekerasan dan kezaliman. Tapi justru di situ peran GUSDURian berada, bermakna dan meningkatkan spiritualitasnya. Dari kesakitan itu kita bisa berkolaborasi untuk menggunakan nalar kritis dalam melihat masalah yang sepertinya baik-baik saja, terutama dalam konteks sejauh mana perempuan dilibatkan, didengarkan, dan pengalamannya menjadi sumber pengetahuan dan keimanan,” tutup penulis buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah tersebut.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.