Beringas

Semakin lama, kabar kasus kekerasan semakin banyak saja mampir di hadapan kita. Kekerasan terjadi di berbagai konteks dan bentuk, oleh siapa pun. Saking banyaknya, publik pun mulai mengalami desensitisasi dan tidak lagi heran dan marah ketika ada kasus kekerasan terjadi.

Namun, kita tetap terkejut ketika mulai muncul berita kasus-kasus kekerasan di lingkungan santri dan pesantren, baik kekerasan fisik yang ekstrem maupun kekerasan seksual. Publik dihebohkan dengan kasus Bechi, putra kiai yang melakukan kekerasan seksual dan seakan memiliki kekebalan hukum saking sulitnya ditangkap polisi.

Sebelumnya, ada kasus Herry Wirawan yang mengaku kiai dan memerkosa santri-santrinya yang tak berdaya. Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan kasus seorang santri pondok pesantren di Tangerang meregang nyawa akibat dikeroyok santri seniornya.

Dan beberapa hari ini kita terperangah menjumpai situasi yang sama terjadi di Pondok Pesantren Modern Gontor, institusi yang cukup disegani di dunia pesantren karena kepiawaiannya memadukan pendidikan modern dengan model pendidikan Islam khas Indonesia. Tidak terbayangkan hal sedemikian terjadi di sana. Apalagi kasus ini dikelola secara tidak tepat, dengan informasi misleading yang disampaikan kepada keluarga korban dan berujung pada tereksposenya kasus ini bagai infotainment.

Publik terkejut karena kekerasan adalah budaya yang jauh dari dunia pesantren. Pesantren selalu digambarkan sebagai tempat menyemai akhlak mulia dan mengembangkan karakter, dengan bersumber dari ajaran keagamaan. Corak keislaman Indonesia warisan Wali Songo yang damai, toleran, dan jauh dari kekerasan sangat kuat mewarnai kehidupan pesantren.

Kiai yang berperan sebagai pengasuh pesantren menjadi sosok panutan, baik bagi santri maupun keluarga santri. Kealiman (ketinggian ilmu agama) dan kearifan sang kiai menjadi keyakinan bahwa nilai-nilai Ilahiah akan memandu kehidupan pesantren. Kehadirannya yang utuh penuh menjadi semacam jaminan bahwa segala hal di dalam lingkungan pondok pesantren tersebut akan berlangsung baik.

Kepercayaan penuh kepada kiai menjadi dasar tumbuhnya prinsip tawadhu’ (hormat sepenuhnya) kepada kiai. Santri dan keluarganya sepenuhnya tunduk kepada kiai, dengan harapan mendapat luberan berkah Tuhan yang jatuh kepada sang kiai. Istilah khasnya ”nggandol sarung kiai” atau berpegang pada sarung kiai.

Nilai ini tentu sesuatu yang mungkin tak terbayangkan bagi mereka yang tidak berasal dari tradisi ini, tetapi justru di sinilah transmisi nilai-nilai luhur menjadi sangat mudah dilakukan selayaknya dilakukan kakek dalam keluarga besar atau tetua suku. Di berbagai agama, peran yang sama dijalankan para romo, pendeta, biku, pedande, dan tokoh agama lainnya.

Ketika sebuah pondok pesantren mengalami pertumbuhan pesat sehingga memiliki ribuan santri, maka wewenang mengelola pondok pesantren mulai didelegasikan kepada pengasuh pesantren, dan diturunkan sebagian kepada para santri senior. Kiai masih menjadi figur utama, tetapi bermunculanlah figur-figur lain yang harus dihormati dan ditaati santri selaras dengan prinsip tawadhu’ tersebut: keluarga kiai, pengasuh pesantren, ustaz ustazah, dan santri senior.

Di sinilah slippery slope (turunan licin) yang berbahaya bagi dunia pesantren. Sikap tawadhu’ tak berbatas dari santri dan keluarganya digantungkan pada kealiman dan kearifan kiai, tetapi akhirnya disematkan kepada elemen-elemen yang sudah pasti tidak memilikinya sebagaimana sang kiai. Kekuasaan yang diterima tidak didukung kearifan sang pemegang kuasa dan menjelma menjadi relasi kuasa yang opresif.

Dalam dunia psikologi, dikenal riset kontroversial bernama Stanford Prison Experiment (1973). Sang peneliti, Zombardo, ingin melihat bagaimana pengaruh setting sosial pada perilaku manusia. Sukarelawan penelitian dibagi menjadi dua kelompok peran: sipir penjara dan narapidana. Ternyata para sukarelawan menunjukkan perilaku yang sesuai perannya. Pemeran sipir menunjukkan perilaku beringas dan para pemeran narapidana melaporkan rasa tertekan yang amat sangat. Riset ini menunjukkan bahwa peran dan jabatan dengan segala perangkatnya (seragam dan peralatan) akan memengaruhi bagaimana orang berperilaku.

Para santri senior yang melakukan penganiayaan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, barangkali mengalami sindrom yang sama: mengambil otoritas kiai, hanya bermodal jabatan sebagai senior. Apalagi para santri dan pengasuh pesantren sama-sama meyakini bahwa hukuman dan disiplin diperlukan untuk memperkuat ketangguhan mental setiap santri. Alhasil, tradisi semacam ini pun bisa terjebak menghasilkan santri beringas, terutama para senior terhadap adik-adik santrinya.

Kasus seperti Gontor ini jarang sekali terjadi dari sekitar 30.000 pesantren yang terdaftar di Kemenag RI. Meski demikian, mengingat tren kekerasan secara umum terus meningkat, kita perlu memastikan tren ini tak menguat juga di pesantren. Sudah saatnya dunia pesantren menata ulang sistem dan norma pengelolaan pesantren yang ada. Para kiai perlu memastikan betul bahwa titik-titik rentan dikelola dengan saksama sehingga tidak menimbulkan bahaya.

Bagaimanapun harapan masyarakat kepada pesantren masih sangat tinggi. Dengan kerendahan hati untuk mengakui setiap titik lemah dan ruang tumbuh pesantren, kasus-kasus yang ada justru dapat menjadi batu lompatan bagi pesantren untuk berproses menjadi institusi pendidikan berbasis keagamaan unggulan Indonesia.

_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 11 September 2022

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.