Gus Dur dan Kepemimpinan Anak Muda

Sejak 14 hingga 16 Oktober, berlangsung Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian di Asrama Haji, Sukolilo, Surabaya. Ini adalah event tahunan, di mana hampir seribuan anak-anak muda dari seluruh penjuru Indonesia, dan beberapa berasal dari luar negeri, berkumpul untuk mendiskusikan ide-ide Gus Dur dan merancang proyek-proyek sosial-budaya yang diinspirasi dari ide-ide sang Guru Bangsa tersebut.

Selain Haul Gus Dur, mungkin Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian adalah momen di mana pluralisme dirayakan secara masif. Orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama bertemu tanpa prasangka. Mereka adalah para penggerak komunitas GUSDURian yang diikat oleh visi yang sama, yaitu melanjutkan perjuangan Gus Dur.

Mereka yang hadir hanyalah para penggerak komunitas GUSDURian di lokal masing-masing. Di belakang mereka ini, ribuan anak muda yang bahkan tidak pernah menyaksikan perjuangan Gus Dur secara langsung turut menyemai ide-ide kemanusiaan Gus Dur melalui gerakan sosial, mulai dialog lintas iman hingga program-program penguatan ekonomi rakyat.

Jaringan GUSDURian mungkin adalah sebuah gerakan sosial dalam bentuk jaringan terbuka (loose network) terbesar di dunia saat ini. Jaringan ini sama sekali bukan organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, juga bukan lembaga swadaya masyarakat. Jaringan ini hanyalah sebuah jaringan dari berbagai komunitas GUSDURian yang tumbuh secara suka rela di berbagai tempat.

Sepeninggal Gus Dur, para pengagumnya membentuk komunitas sendiri, mengaturnya, dan menyusun kegiatan dan gerakannya sendiri sesuai dengan kesepakatan di antara mereka. Komunitas-komunitas yang tumbuh ini kemudian menjadikan putri Gus Dur pertama, Alissa Wahid, sebagai pemimpinnya. Temu Nasional adalah mekanisme yang mereka gunakan untuk memperbaruhi gairah perjuangan, berbagai pengalaman, dan menyatukan gerakan.

Saat ini, tercatat seratus lima puluh lima komunitas yang tersebar di Indonesia dan luar negeri. Seratus empat puluh tujuh ada di Indonesia dan delapan komunitas ada di luar negeri. Beberapa penghargaan telah diterima jaringan ini. Salah satu yang paling prestisius adalah penghargaan Asia Democracy and Human Rights Award 2018 dari The Taiwan Foundation for Democracy (TFD). Penghargaan ini diberikan karena Jaringan GUSDURian dianggap telah berjasa dalam mempromosikan dialog antaragama, multikulturalisme, konsolidasi masyarakat sipil, toleransi, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Melihat fenomena jaringan ini, adalah menarik untuk melihat bagaimana ide-ide dan sepak terjang Gus Dur telah menumbuhkan gerakan kepemimpinan di kalangan anak muda ini, jauh melampaui usia sang tokoh. Saat Gus Dur menempati posisi sebagai Ketua Umum PBNU di tahun 1984, usianya sudah 48 tahun. Usia yang tidak lagi bisa dikatakan muda. Sekalipun demikian, Ketika Gus Dur naik menjadi pemimpin eksekutif di organisasi Islam tradisionalis terbesar se-Indonesia, bahkan sedunia ini, dia merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan kelompok muda progresif yang hendak membangunkan the sleeping giant.

Sekalipun dia cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri dan ideolog NU, kepemimpinan Gus Dur di tubuh NU bukan tanpa tantangan. Sejak awal kemunculannya, rejim lama di internal organisasi berusaha menjegalnya. Bahkan dalam rentang perjalanan kepemimpinannya, Gus Dur tidak sekali dua kali “diadili” para kiai yang tidak sependapat dengan pemikiran dan gerakannya. Peristiwa ikonik tentu saja adalah mufarraqah-nya KH As’ad Syamsul Arifin dari kepemimpinan Gus Dur. Padahal, Kiai As’ad adalah tokoh yang paling kuat mendukung Gus Dur untuk mengambil alih kepemimpinan NU dari tangan Idham Chalid, Ketum PBNU sebelumnya.

Melihat bagaimana Gus Dur berproses membangun kepemimpinannya tampak bahwa faktor keturunan dan posisi bukanlah faktor utama dalam karir kepemimpinannya. Jika saat ini pengaruh Gus Dur sedemikian kuat bahkan setelah tiga belas tahun wafatnya, jelas itu bukan semata-mata karena jabatan dan siapa ayah dan kakeknya. Hingga kini, pemimpin NU naik dan turun silih berganti. Begitu juga keturunan Bani Hasyim melalui garis Wahid Hasyim. Tapi hanya Gus Dur-lah pada akhirnya yang menjadi pemimpin abadi, kepadanya jutaan orang merasa mendapatkan inspirasi dan tuntunan dalam mengarungi hidupnya.

Kalau kepemimpinan Gus Dur dibaca dari kaca mata levels of ledership John C. Maxwell, kepemimpinan Gus Dur tidak hanya mengandalkan posisinya sebagai ketua umum PBNU. Tapi, bagaimana posisi yang dipegangnya itu pada akhirnya membuatnya menyusuri tangga demi tangga kepemimpinan sampai pada level puncak. Menurut Maxwell, kepemimpinan bukan semata-mata posisi atau jabatan yang dipegang seseorang. Kepemimpinan adalah sebuah proses, sebuah perjalanan. Bukan hanya karena seseorang memegang posisi sebagi manajer kemudian secara otomatis dia dia adalah seorang pemimpin besar. Kepemimpinan adalah tentang berhubungan dengan orang-orang dan dinamika yang terjadi di antara orang-orang tersebut.

Menurut Maxwell, ada lima tangga kepemimpinan. Tangga terendah adalah position. Di tangga ini, seseorang menjadi pimpinan karena dia menduduki posisi tertentu. Orang-orang di sekitarnya mematuhinya karena mereka wajib mematuhi atasannya. Seseorang tidak bisa begitu saja mencapai puncak tangga kepemimpinan (pinnacle) tanpa melalui tangga-tangga lain dengan cara membuktikan bahwa dia memiliki pribadi yang baik (permission), menghasilkan karya (production), dan melakukan kerja-kerja yang dirasa bermanfaat bagi orang lain (people development).

Gus Dur telah melampaui tangga-tangga tersebut dan mencapai puncaknya. Di bawah kepemimpinannya, Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang diperhitungkan dalam konteks gerakan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil. Gus Dur mempresentasikan dirinya sebagai kekuatan civil society. Dia hadir menyapa kelompok-kelompok yang selama ini tak tersapa. Bahkan para aktivis NGO dan seniman melingkar di sampingnya untuk menjadi bagian dari darah baru yang sedang dipompanya.

Harus diakui, dalam beberapa hal ide-ide Gus Dur ini menyengat anak-anak muda NU. Saat ide dialog lintas iman masih dianggap tabu di sebaian besar tokoh-tokoh tua, Gus Dur bergandengan tangan dengan berbagai pemuka agama. Anak-anak muda kemudian berduyun-duyun membuat berbagai kegiatan lintas iman. Pluralisme dan toleransi menjadi tema yang terus menerus diperbincangan saat ini. Bahkan, ide-ide peradaban baru yang saat ini digaungkan oleh Ketua Umum PBNU adalah pemikiran yang ditimba dari mata air Gus Dur.

Jika saat ini, ribuan anak muda menyuarakan keprihatinan yang sama, mengikatkan diri ke dalam nilai-nilai kemanusiaan universal, dan bergerak bersama untuk memastikan bahwa Indonesia adalah rumah bersama, itu semua karena Gus Dur telah memberi teladan. Gus Dur merepresentasikan dirinya sebagai pejuang kemanusiaan. Anak-anak muda ini merasakannya. Mereka bergerak tak perlu ada penyokong dana dan pemberi perintah, karena mereka telah menemukan Gus Dur di dalam dadanya.