Jika anda pernah menonton film The Matrix, deretan bilangan 0 dan 1 bergerak cepat, bergantian dan mendominasi dunia yang didiami oleh Neo, tokoh utamanya yang dibintangi oleh Keanu Reeves. Angka yang tertulis sebagai judul di atas bukanlah deretan bilangan biner yang menjadi dasar dari semua sistem bilangan berbasis digital. Angka itu sebenarnya adalah angka duka atas terjadinya tragedi kemanusiaan saat jatuh korban ratusan orang dalam kerusuhan pasca ‘derby Jatim’ antara Arema vs Persebaya pada 1 Oktober kemarin.
Saya tertarik meneruskan tulisan kawan Ahmad Zainul Hamdi yang berjudul “Aku menyembah bola dan memperlakukannya seperti Tuhan”. Dengan sadar saya mengaminkan bagaimana tulisan tersebut menarasikan bahwa sepak bola sudah benar-benar menjadi sebuah agama. Sementara klub idola berubah menjadi sekte tertentu yang tak mentolerir keberadaan klub lain yang tentu saja bermazhab beda dan dalam sekte yang berbeda pula.
Andai boleh menyimpulkan dalam bahasa warung remang-remang di mana lepen, cukrik, tuak, dan ciu bisa kita nikmati dengan mudah, kesimpulan yang muncul adalah “Sepak bola adalah agamaku, klub idola adalah sekte mazhabku, sementara klub lain adalah sekte mazhab yang sesat dan wajib diperangi dan kalau perlu dibunuh.”
Ini mengingatkan saya akan sebuah redaksi hadis yang menyebutkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu golongan saja yang akan masuk surga dan 72 golongan akan masuk neraka. JIka ditarik benang merah antara fanatisme dalam mendukung sebuah klub dan redaksi hadis tadi, maka setiap orang akan saling berebut menjadi satu golongan yang dijanjikan akan surga.
Lantas, Anda berada di golongan yang mana? Bagaimana jika kemudian anda menjadi fanatik kepada golongan yang Anda ikuti, merasa paling benar dan memandang golongan lain adalah ahli neraka? Padahal, sementara itu di sisi yang berseberangan, manusia-manusia lain yang berada di golongan yang berbeda dari kita juga berpandangan sama, bahwa merekalah yang benar dan justru kitalah yang menjadi ahli neraka. Ini baru dari satu sisi Islam dengan hadis seperti demikian, bagaimana dengan agama lain-lainnya, kepercayaan lain-lainnya yang juga fanatik terhadap keyakinan dan kelompoknya?
Kuncinya ada pada kata ‘fanatik’. Sepak bola pun begitu, jika fanatisme sudah menjalar ke seluruh aliran darah di nadi, menyusupi ke seluruh sendi, maka yang ada dan yang paling benar adalah klub idola sendiri. Di sana ada kebanggaan dan harga diri yang dipertaruhkan. Kekalahan adalah sesuatu yang haram, apalagi kalah dari rival.
Jadi bisa kita bayangkan bukan bagaimana rasanya menjadi Aremania yang klubnya dikalahkan Persebaya, apalagi kalahnya di kandang sendiri. Ada perasaan harga diri yang terinjak-injak. Ada kebanggaan yang terkoyak-koyak. Lantas, sebenarnya di manakah posisi harga diri itu sebenarnya? Sebegitu tinggikah kita menempatkannya? Dan kala harga diri itu jatuh lantas dunia menjadi kiamat?
Sepak bola bukanlah permainan playstation yang bisa kita menangkan terus menerus. Di mana kala kalah, kita bisa me-reset-nya, mengulang pertandingan kembali dan memenangkannya. Sepak bola tidak bisa melulu soal kemenangan yang mudah kita terima, hingga merayakannya dengan berbagai macam cara yang kalanya menjadi berlebihan. Sepak bola juga berbicara soal kekalahan. Ada yang menang tentu saja ada yang kalah. Tapi, jika tadi kita dengan mudah untuk siap menerima kemenangan, apakah kita juga sudah siap menerima kekalahan?
Perlu kedewasaan untuk bisa menerima kekalahan dengan baik. Ini pekerjaan rumah terbesar untuk semua supporter sepak bola di tanah air ini. Dari tragedi Kanjuruhan 01.10 ini bisa menjadi momentum kita untuk bercermin. Syukur-syukur bisa menjadi momentum berdamainya Bonek dengan Aremania karena di saat terjadinya tragedi, kedua klub merekalah yang sedang bertanding. Belajar menang dengan tak menjadi arogan, belajar kalah dengan bijaksana.
Sepak bola bukan agama, klub bukan sekte atau mazhab, semuanya tak perlu dibela mati-matian hingga menghilangkan nyawa. Ini hanya sepak bola, yang harusnya menyatukan dan menghidupkan, bukannya mencerai beraikan dan mematikan.