Judul di atas saya dapatkan dari judul makalah karya Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono yang dibuat pada 2001 silam. Frase “jasa tak terhimpun, dosa tak terampun” seperti sudah menjadi makanan sehari-hari pada institusi kepolisian beserta manusia-manusia yang berada di dalamnya. Entah itu jenderal, komisaris, perwira, atau sekedar karyawan tata usaha.
Polri sebagai institusi hukum yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum, pemerang kejahatan, penjaga ketertiban, pecinta kamanusiaan, masih jauh panggang dari api apabila kita melihat dari sepak terjang institusi ini hingga sekarang. Kasus-kasus spektakuler macam Ferdy Sambo dan kerusuhan di Stadion Kanjuruhan baru-baru ini seperti memperlihatkan tidak ada kemajuan signifikan dari otokritik yang termuat pada makalah tersebut, dan bahkan untuk otokritik yang ditulis pada tahun 2001. 22 tahun silam!
Saya teringat joke lawas almarhum Gus Dur soal polisi yang dimuat dalam buku Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013) karya Muhammad AS Hikam. Di hadapan Gus Dur, AS Hikam berucap: “Kasus yang melibatkan Polri ini apakah saking sudah kacaunya lembaga itu atau gimana ya Gus? Kan dulu panjenengan yang mula-mula menjadikan Polri independen dan diletakkan langsung di bawah Presiden?”
“Gini loh, Kang,” Gus Dur mengawali perkataannya. “Polri kan sebelumnya di bawah TNI dan itu tidak bener. Mosok aparat keamanan dalam negeri dan sipil kok diatur oleh dan dengan cara tentara. Tapi kan memang begitu maunya Pak Harto dan TNI supaya bisa menggunakan Polri untuk mengawasi rakyat. Setelah reformasi ya harus diubah. Maka Polri dibuat independen dan untuk sementara supaya proses pemberdayaan terjadi dengan cepat di bawah Presiden langsung. Nantinya ya di bawah salah satu kementerian saja, apakah Kehakiman seperti di AS atau Kementerian Dalam Negeri seperti di Rusia, dan lain-lain. Nah, Polri memang sudah lama menjadi praktik kurang bener itu, sampai guyonan-nya kan hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng (Kapolri 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur… hehehe…,” urai Gus Dur panjang lebar.
Apakah benar begitu? Polisi jujur dan baik hanya almarhum Pak Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur?
Melalui kanal instagram @officialpersebaya, @specials_ID35 dan @hoofbureauid , juga wawancara Cak Ji (walikota Surabaya) dengan abah Mustaqim (mantan pemain Persebaya yang juga menjadi asisten pelatih Persebaya musim ini) di kanal youtube-nya, saya mendapatkan perspektif lain tentang polisi.
Di sana saya melihat perjuangan aparat kepolisian yang bertugas melindungi para pemain Persebaya dan official tim melakukan evakuasi saat keluar dari Stadion Kanjuruhan. Melalui perintah agar segera meninggalkan lapangan, 5 menit saja di ruang ganti, dan masuk ke rantis Barracuda. Semuanya dilakukan dengan begitu cepat, cermat, dan terkoordinir. Telat sedikit saja, situasi akan membahayakan tim dan official Persebaya.
Sementara itu di luar, keadaan lebih kacau lagi. Massa yang beringas membakar mobil patwal dan mulai melempari rantis Barracuda dengan bebatuan tanpa henti-hentinya, bahkan hingga membuat kaca rantis retak karenanya. Suasana sudah seperti pertempuran dan perang yang tak terbayangkan, padahal ini hanyalah sebuah pertandingan sepak bola. Hanya sebuah pertandingan sepak bola!
Melalui perjuangan yang panjang dan menegangkan itu, akhirnya seluruh tim dan official Persebaya selamat dan bisa dievakuasi hingga kembali ke Surabaya. Saya tak bisa membayangkan andai proses evakuasi ini gagal, rantis tertahan dan dibakar oleh massa, bisa saja jatuh korban lebih banyak lagi. Dan yang pasti, itu akan menyulut api permusuhan antara Bonek dengan Aremania berkobar lebih besar lagi. Dendam dan permusuhan yang belum selesai bisa lebih mendalam lagi. Saya sungguh mengapresiasi kinerja para polisi dari Polwiltabes Surabaya tersebut, mereka menjalankan tugasnya dengan sempurna, bahkan melakukannya dengan taruhan nyawa mereka sendiri.
Sampai di sini saya merenung. Seperti manusia pada umumnya, ada yang baik, ada juga yang buruk. Polisi juga ada yang baik, walau yang buruk juga banyak. Ferdy Sambo mungkin yang terburuk. Apakah bapak-bapak polisi tadi itu mewarisi kejujuran dan kebaikan Pak Hoegeng? Semoga.
Atau, apakah mereka dalam kesunyian jalan “Jasa Tak Terhimpun, Dosa Tak Terampun” akan dianggap sebagai patung polisi dan polisi tidur saja?
Terima kasih, masih ada polisi baik.