Kisah inspiratif dalam hidup saya yang kadang menciutkan nyali, saat saya bertugas meminta tanda tangan dukungan warga untuk membangun masjid di lingkungan Rukun Warga (RW).
Semua berawal ketika saya terpilih menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT) 07 RW 13 Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto pada Juli 2018.
Saya, yang dikenal dengan nama sapaan pendek John Lobo, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Saya lahir di Kampung Woeloma, Desa Nenowea, Kabupaten Ngada, Flores. Menyelesaikan sarjana di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bidang Kateketik Widya Yuwana, Madiun, Jawa Timur.
Tahun 2005, saya bersyukur lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil. Sejak itu, saya bertekad membeli rumah di daerah Mojokerto. Sebelumnya, saya bekerja sebagai guru honorer di sekolah swasta di Kota Kediri, sehingga hanya mampu tinggal di rumah kontrakan. Itu saya jalani hingga menikah pada 2004.
Saat saya dipercaya menjadi Ketua RT, jumlah warganya sekitar 234 jiwa dari 78 Kepala Keluarga. Dari jumlah itu, keluarga saya, satu-satunya yang beragama Katolik.
Meski menjadi satu-satunya keluarga Katolik, saya pegang prinsip inklusif dalam pergaulan, terlibat aktif dalam kehidupan bersama, dan menjunjung tinggi budaya setempat.
Sebagai ketua RT saya sering terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan baik di tingkat RW maupun desa, seperti kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrengbangdes), sosisalisasi berbagai kebijakan daerah, dan sebagainya. Dari masalah sampah, pembangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hingga pembangunan masjid.
Menjadi Panitia Pembangunan Masjid
Pada 18 Agustus 2021, dalam sebuah rapat rutin, dibicarakan masalah pembangunan masjid di lingkungan fasilitas umum (Fasum) RW 13 Japan Asri-Pitaloka. Dalam rapat itu membahas pembentukan panitian pembangunan masjid. Sebagai ketua RT, saya dilibatkan dalam panitia. Saya dipercaya dalam panitia sebagai seksi hubungan masyarakat (Humas).
Dalam seksi Humas, tugas saya mengumpulkan dukungan persetujuan warga terkait keberadaan Fasum yang akan dipakai dalam pembangunan rumah ibadah masjid dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak perihal proses hingga selesainya pembangunan masjid.
Dalam perjalanan waktu, nyali saya kadang ciut ketika mengumpulkan tanda tangan dukungan warga untuk pembangunan masjid di kompleks Fasum RW. Komentar dan pertanyaan kritis muncul dari teman-teman Muslim.
“Pak John, panjenengan (Anda) itu bukan Muslim mengapa meminta tanda tangan perihal penggunaan Fasum kepada umat Muslim? Bahkan terlibat langsung dalam panitia pembangunan masjid,” salah satu komentar warga kepada saya.
Mendengar komentar itu, saya pun tersenyum, lalu menyampaikan permohonan maaf, sambil menjelaskan tugas saya sebagai ketua RT, yang mesti hidup bersama di tengah masyarakat.
Saya kira ini tahapan yang paling sulit yang akan saya lewati, namun saya mengalami kemudahan ketika menyampaikan proposal dan permohonan donasi warga.
Ini yang saya lakukan, ketika hendak melangkahkan kaki keluar rumah untuk menjumpai warga dalam urusan pembangunan masjid, saya selalu berdoa singkat agar mendapatkan tanggapan positif dari warga. Tentu, saya berdoa secara Katolik, dengan membuat tanda salib.
Turut Usulkan Nama Masjid
Kejadian unik lain saya alami ketika pertemuan di sebuah angkringan kafe kuno milik warga di RW 13. Sekitar 11 orang perwakilan tiap RT, tokoh agama dan masyarakat, bertemu. Pertemuan ini atas undangan penasihat pembangunan masjid yang bakal memilih nama masjid yang akan dibangun.
Saat itu penasehat meminta tiap anggota membawa usulan dua nama yang bakal dipilih sebagai nama masjid. Dua nama mesti berbeda. Ada delapan RT, total 18 usulan nama. Lalu dikocok seperti arisan, nama yang keluar bakal menjadi nama masjid yang akan dibangun.
Inilah awal yang sulit bagi saya. Maka saya pun meminta nasihat nama masjid yang saya usulkan. Akhirnya saya memasukan sepotong kertas yang digulung dengan tertulis sebuah nama. Ketika dikocok, keluar golongan kertas kecil bertuliskan Al-Iqlas. Itu usulan nama pertama yang saya tulis.
Saya pun tersenyum meski mulut terbalut masker warna putih. Hati kecil saya berkata, “Al-Iqlas itu pilihan saya.” Namun, nama itu akhirnya dianulir, beberapa tokoh agama menimbang nama itu telah dipakai oleh mushola di sekitar perumahan kami. Saya pun mengikhlaskan dan memberi kesempatan untuk mengocok undian lagi.
Kocokan kedua keluarlah nama Sirojul Muttaqin. Bagi saya nama itu punya kedalaman makna. Saya pikir, nama itu kontras dengan pandangan seorang pujangga kenamaan asal Inggris, William Shakespear, “What’s in a name, A rose by any other name is still sweet”, terjemahan dalam bahasa Indonesianya, “Apalah arti sebuah nama. Sekuntum mawar dalam nama lain tetaplah harum”.
Bagi saya nama tidak sekedar diberikan atau dilekatkan begitu saja pada sesuatu. Begitupun dengan nama bakal masjid yang muncul atau keluar setelah diundi. Sirojul Muttaqin terdiri dari dua kata yakni Sirojul yang berarti jembatan atau jalan dan Muttaqin artinya orang yang bertakwa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2000: 1126), takwa artinya terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya sehingga mencapai kesalehan hidup. Demikian harapan yang tersirat bahwa masjid yang dibangun tepat di RT 05 RW 13 Japan Asri tersebut adalah sarana ideal yang membawa jemaah untuk menggapai kesalehan hidup.
Proses pelaksanaan pembangunan masjid diserahkan sepenuhnya kepada warga RT.05 mengingat keberadaanya terletak di area tersebut sekaligus mengobati kerinduan warga setempat akan kehadiran tempat ibadah. Itu juga karena sebagian besar RT di RW 13 telah memiliki mushola.
Di bawah arahan ketua RT setempat warga saling bahu membahu dan bekerja sama untuk membangunnya. Sedangkan untuk konsumsi didukung oleh kelompok dasa wisma dari keseluruhan RT yang ada, termasuk istri saya sebagai ketua Dasa Wisma RT.07.
(Artikel ini pertama kali dimuat di katolikana.com)