Aku melihat jam dinding. Pukul sebelas lebih dua puluh lima. Suara hujan disertai petir menggelegar, menggetarkan seluruh bagian dinding rumah. Listrik padam. Sesekali ruangan terang oleh kilat yang menyala. Kulirik Somad, adikku, tertidur pulas di pelukan ibu. Rasa kantuk sulit sekali datang. Petir membuatku takut. Tetapi, ketakutanku menunggu kabar ayah mengalahkannya.
“Maryam, tidur,” ucap ibu setengah parau menahan kantuk.
“Ayah kapan pulang, Bu?” aku khawatir.
“Sebentar lagi,” jawab ibu singkat. Aku mendekati ibu dengan jantung berdebar.
“Ayah bertugas ke luar kota. Jaraknya jauh, jadi ayah pulang terlambat”.
Penjelasan ibu tidak membuatku puas. Bahkan rasa khawatir semakin besar. Bagaimana ayah pulang dengan motor bututnya. Jalanan pasti licin, belum lagi arah menuju rumah yang belum diasapal dan berlumpur. Terlebih, ini pertama kalinya ayah pulang terlambat, bahkan sampai tengah malam.
Tiba-tiba terlintas dalam benakku kejadian beberapa hari lalu. Ayah dan ibu marah, gara-gara ceritaku meneriaki mobil yang hilir-mudik membawa bendera. Aku berjoget meledek sambil berteriak lantang.
“Bendera kuning hebat pilihanku! Bendera kuning pilihanmu! Merah pilihanmu!”
Tidak seperti yang aku kira, ibu akan marah. Ayah ikut menambahkan.
“Kalau ayah dipanggil ke balai desa karena kamu bertindak begitu, bagaimana?”
Nyaliku menciut. Mataku sempat berkaca-kaca saat itu. Padahal menurut pak guruku, dari bendera lainnya, bendera kuning berlambang beringin memang paling hebat. Buktinya bendera itu berkibar di mana-mana. Aku semakin percaya dengan kata-kata pak guru. Tetapi apa alasan ayah dan ibu bersikap demikian.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, ayah kedatangan tamu asing di Minggu sore. Tiga orang laki-laki berbadan kekar. Setelah menyuguhkan kopi, ibu duduk di teras belakang. Kemudian ibu menyuruhku mencari Somad yang sedang bermain entah di mana.
“Jangan lewat pintu depan,” pesan ibu. Aku menurut. Setelah menyusul Somad pulang. Kami duduk bersama ibu. Wajah ibu terlihat khawatir, sementara Somad berada di pangkuannya. Tidak lama kemudian ayah muncul dengan wajah pucat.
“Mereka sudah pulang?” tanya ibu cemas. Ayah mengangguk pelan. Melihat ekspresi ayah, ibu segera mengambil segelas air putih untuk ayah. Setelah meneguk segelas air. Wajah ayah terlihat sedikit tenang. Namun, pandangannya masih terlihat kosong. Ibu semakin cemas. Somad rupanya ikut ketakutan, ia meminta digendong ibu. Aku pun demikian, meskipun tidak tahu apa yang membuat ayah terlihat takut, detak jantungku berirama semakin cepat. Lama terdiam, mulut ayah akhirnya terbuka. Bibirnya bergetar, kalimatnya terdengar lirih.
“Mereka datang atas perintah Pak Karto”.
Mendengar nama Pak Karto aku teringat Kiai Harun, guru ngajiku. Beberapa tahun yang lalu beliau pernah dikonfrontasi oleh Pak Karto tanpa sebab yang jelas. Padahal, setiap hari hanya mengajar ngaji dan bertani. Kiai Harun juga berperilaku baik dan santun kepada siapa pun. Beliau didatangi beberapa pria bertubuh kekar suruhan Pak Karto. Lumbung padinya diobrak-abrik. Tetangga tidak ada yang berani membantu apalagi melawan.
Pada Jumat siang setelah kejadian itu Pak Karto datang ke masjid. berpidato di hadapan orang-orang saat khutbah, bahwa kalau mau masuk surga harus kenyang, biar ibadahnya ikhlas. Kalau mau kenyang harus mau membantu program pemerintah. Kalau ada kiai menentang penguasa adil, itu namanya kiai zalim. Kebetulan aku sedang bermain bersama teman-teman di pelataran masjid, ikut menyaksikan.
Belakangan, diketahui kalau Kiai Harun tidak menjual gabahnya ke koperasi desa.
“Kenapa gabahnya tidak dijual ke koperasi, Kiai?” tanya ayah. Ayah sempat bertemu Kiai Harun karena khawatir. Kiai Harun tersenyum tipis.
“Bukankah kita harus mendukung program pemerintah yang mencanangkan beras murah, seperti apa yang dikatakan oleh Pak Karto?” ayah menambahkan.
“Aku tidak menjual gabahku, akan kuberikan kepada mereka yang lapar”.
Ayah tersenyum menunduk karena malu dengan jawaban sederhana Kiai Harun.
***
Aku juga teringat peristiwa lain. Saat aku dan ayah naik kendaraan umum hendak ke Kota. Kami melihat sosok pemuda dengan mata merah sempoyongan. Mengenakan celana jeans serta jaket kulit, lehernya terbelit saputangan merah. Sesekali kaki bersepatu boots miliknya menghentak, mengagetkan penumpang lain, termasuk aku. Aku mendekap lengan ayah. Tidak berani memandang ke arah pemuda tadi. Ia terus meracau membuat suasana tidak nyaman.
Perasaan lega menghampiri ketika pemuda tadi turun. Lalu suasana hening yang semula hadir mulai pecah.
“Semoga pemuda itu baik-baik saja,” cetus seorang lelaki paruh baya. Membuat mata penumpang lain berpandangan.
“Semoga,” tukas seorang perempuan berambut pendek.
“Kulihat ada tato di tangannya.”
“Dan saputangan di leher,” imbuh yang lain. Seketika perasaan ngeri menyergap di antara kami. Suasana sunyi yang tidak biasa. Aku mendongkak ke wajah Ayah.
“Ayah,” ucapku khawatir.
“Tak apa,” sahut ayah sambil mengusap rambutku.
Sampai di rumah, ayah bercerita tentang saputangan yang diikat di leher. Tanda pemuda nakal yang mengganggu masyarakat. Jika mereka bersikap seenaknya, bisa-bisa diciduk. Dan tidak akan pernah kembali. Terlebih, jika ia bertato. Tak kusangka bahwa itu akan terjadi. Esoknya mayat pria itu ditemukan mengambang di kali.
Penemuan mayat itu membuar geger seluruh kampung. Kabar itu sampai di telinga ibu. Ibu penasaran, ingin melihat tempat kejadian bersama tetangga. Namun ayah melarang.
“Jangan ke sana! Ayah dengar Pak Karto memerintahkan agar tetap berada di rumah”.
***
Pikiranku beranjak terlalu jauh, sampai aku tidak sadar kalau ibu sudah tidak ada di sampingku. Aku beranjak dari tempat tidur mencoba mencarinya. Ternyata ibu ada di ruang depan, ia berdiri menatap keluar lewat jendela.
“Ibu.” Ibu menoleh. Ruang tamu yang padam terang oleh kilatan cahaya. Aku mendekat. Ibu menyambutku dan merapatkanku dalam rangkulannya. Kami berdua memandang ke luar. Kegelapan yang meliputi pandangan kami, sesekali kilat memberi secercah cahaya.
“Kenapa tidak tidur?” tanya ibu tanpa melepas pandangannya.
“Menunggu ayah.” jawabku datar. Ibu menatapku, aku balas menatapnya. Ia menghela nafas. Kulihat perasaan khawatir berkecamuk di wajahnya. Lama kami terdiam. Lalu ibu menyuruhku kembali ke tempat tidur.
“Saat subuh, pergilah ke mushola dan temui Kiai Harun. Sampaikan kepada beliau ibu ke kota mencari telepon.”
Terngiang kalimat terakhir ibu sebelum ia keluar. Angin dingin berhembus saat ibu membuka pintu. Membawa payung, ibu mantap melangkah. Sebelum jauh ia sempat menyuruhku cepat mengunci pintunya. Kuabaikan perintahnya, aku terus menatap punggungnya sampai hilang oleh kegelapan.
Jam dinding berdentang tiga kali. Suara petir tidak lagi terdengar, hujan mulai reda. Namun, gemuruh di dadaku tidak berhenti. Jantungku berdetak kencang. Keringat dingin mulai keluar. Aku menggigil ketakutan. Malam terasa sangat panjang.
Cirebon, Februari 2019