Social Media

Bumi adalah Ibu, Kita Wajib Menghormatinya

Suatu pagi, saya bersama teman-teman sedang mencari sarapan di dekat rel kereta api dekat UIN Yogyakarta. Aktivitas itu kami lakukan dalam rangka mengambil momen terbaik untuk melihat alam di pagi hari pasca subuh, dengan iringan suara kereta yang akan berlalu-lalang.

Setelah kami duduk di salah satu warung soto dekat rel itu, salah satu teman berkata, “Warga Wadas sedih kehilangan buminya, mereka berjuang untuk mengambil kembali haknya atas tanahnya. Tanah mereka dirampas, dan harapan mereka tentang masa depan sudah sirna,” ucap Dandi sambil menyeruput teh hangat. 

“Apakah kamu ke sana kemarin? Apa yang kamu dapat kemarin? Bukannya masyarakat di sana sudah damai ya? Kan pemerintah menjamin hak-hak mereka. Lagian apa susahnya sih menyerahkan itu? Bukannya tinggal terima uang dan langsung beres semua masalah ya?” Arina memotong pembicaraan. 

Kasus Wadas bukanlah sekedar penggantian uang semata. Lebih dari itu, perjuangan warga Wadas untuk mempertahankan bumi yang selama ini menjadi sumber penghidupan, dirampas oleh pemerintah. Bagi mereka, pemerintah tidak hanya merampas sumber penghidupan, tapi juga merampas masa depan serta memutus kehidupan. 

Salah satu perjuangan yang perlu dilihat adalah, kisah Wadon Wadas yang turut terlibat penting dalam perjuangan merebut bumi Wadas. Mereka dengan wajah pilu, ditambah hilang harapan akibat perampasan bumi itu, merasa bahwa masa depannya suram. Wadon Wadas adalah praktik penting betapa berharganya bumi bagi masyarakat Wadas.

***

Setiap pagi, pasca subuh, bapak dengan seragam khasnya ala petani, bapak saya berangkat ke sawah untuk melihat padinya. Anaknya yang akan pergi ke sekolah, tidak pernah bertemu dengan bapak karena ia sudah berangkat bekerja. Begitupun pulang sekolah, saya juga tidak pernah bertemu bapak karena masih di sawah. Tatkala pagi menjelang jam 7, ibu menyusul dengan membawa nasi dan lauk yang dibungkus dengan bakul. Sore harinya bapak pulang dengan muka yang lesu dan capek.

Melihat pemandangan itu, saya masih ingat betul bagaimana perasaan ibu dan bapak ketika mendengar kabar bahwa, minggu depan, kami akan panen padi di dua petak sawah, warisan kakek nenek, di mana tiga bulan lalu sudah ditanami padi. Dalam rentang waktu tiga bulan itu, bapak dan ibu melakukan banyak hal, mulai dari memberi pupuk, mengambil rumput yang menjadi benalu bagi tanaman, hingga melakukan pengairan kepada sawah supaya kondisinya tetap lembab. Bapak dan ibu senang sekali, sebab dapur kami, akan ketambahan gabah. 

Pada momen itu, raut bapak dan ibu terpancar bahagia. Setidaknya, dalam persoalan makan, keluarga kami akan terjamin untuk beberapa bulan ke depan dengan adanya gabah di dapur. Ingatan itu kabur ketika semisal ada orang yang mau merampas sawah kami dengan paksa. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit ibu dan bapak. Sebab, sawah yang mereka banggakan tidak hanya sekedar tempat untuk menyemai kehidupan. Lebih dari itu, ia adalah ruh dari para leluhur kami dan warisan kehidupan bagi generasi yang akan datang. Saya dan adik, atau keturunan saya nantinya, akan menikmati hasil dari sawah itu. 

***

Membayangkan dua kisah itu, saya merasa bahwa, bumi adalah roh yang mati tapi mampu menghidupkan. Pada sebagian orang, ia adalah harapan untuk generasi akan datang. Makna itu sama dimiliki oleh orang tua saya dan warga Wadas. Warga Wadas berjuang mati-matian bukan untuk diri mereka sendiri. Lebih dari itu, perjuangan mereka untuk generasi selanjutnya, dan menjadi sumber penghidupan bagi mereka, untuk saat ini, esok, dan nanti. 

Bumi sudah memberikan banyak hal kepada kita. Ditanami bibit jagung, muncul jagung yang bisa dimanfaatkan oleh keluarga, dan diberikan kepada tetangga. Ditanami gabah, muncul beras yang bisa dinikmati oleh kita dan menjadi makanan pokok seluruh masyarakat Indonesia.

Sudahkah kita berterima kasih kepada bumi karena sudah menyediakan kebutuhan manusia? Selayaknya manusia, ia seperti ibu yang seharusnya kita hormati sebagai makhluk hidup. Penghormatan tertinggi kepada bumi tidak dipraktikkan seperti menghormati bendera merah putih. Namun, praktik sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon secara liar dan praktik-praktik lainnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.