Perempuan Ulama

Banyak bukti yang kuat tentang peran perempuan dalam kehidupan bangsa Indonesia, seperti gerakan sayap perempuan dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, serta para perempuan pahlawan, seperti Cut Meutia dan Cut Nya Dien.

Sebelum pandemi Covid-19, berulang kali saya diminta menemui rombongan mahasiswa-mahasiswi dari seluruh penjuru dunia dalam bermacam program pertukaran ke Indonesia. Salah satu mata kegiatan populer adalah diskusi dengan Fatayat NU dan Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah. Betapa terkejutnya mereka setelah memahami betapa perempuan dan gerakan perempuan di kalangan umat Islam di Indonesia cukup kuat dan berkontribusi besar.

Perempuan dalam Islam yang mereka imajikan lebih banyak dipengaruhi oleh wajah perempuan dalam masyarakat Islam di Timur Tengah, terutama di Arab Saudi. Sejak beberapa tahun belakangan, ini ditambah oleh gambaran perempuan di Afghanistan, di bawah kepemimpinan Taliban, di mana perempuan tidak diperbolehkan bersekolah, diharuskan menutup sekujur tubuhnya, dan diposisikan sebagai subordinat laki-laki, dan dibatasi peran di ruang publiknya.

Apalagi, ini diperparah dengan kondisi genting di Iran sejak September 2022. Sejak terbunuhnya Mahsa Amini, gadis berusia 22 tahun yang ditahan polisi Iran karena melanggar aturan berhijab, gelombang protes menjalar ke seluruh penjuru Iran dan berujung ratusan orang meregang nyawa. Siswi-siswi di sekolah-sekolah pun tak ketinggalan berdemo di lingkungan sekolahnya masing-masing. Sejak Revolusi Iran di tahun 1979, pembatasan bagi perempuan memang sangat kaku ditetapkan. Semuanya atas dalih agama.

Belum lagi cerita-cerita yang terkait dengan perempuan dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Tak heran bila banyak orang terkaget-kaget menyaksikan kiprah perempuan Islam di Indonesia, baik sebagai personal maupun dalam kelompok sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Kiprah perempuan dan organisasi perempuan Muslim memang bukan sesuatu yang baru-baru saja terjadi, tetapi sejak sebelum Negara Republik Indonesia berdiri sebagaimana terlihat dalam berbagai jejak sejarah. Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, kepemimpinan para perempuan pahlawan, seperti Cut Meutia dan Cut Nya Dien, gerakan keluarga berencana Indonesia yang dimulai dari gerakan sayap perempuan dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dan berbagai tapak jejak perempuan menjadi bukti yang kuat tentang peran perempuan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Walaupun belum dalam kondisi adil jender yang ideal secara utuh, perempuan Indonesia memang sangat progresif. Perempuan Hakim Agama Islam sampai saat ini masih sulit ditemui di berbagai negara Islam. Namun, di Indonesia, sejak 1950-an, Menteri Agama saat itu, yaitu KH Wahid Hasyim, telah membuka pintu sepenuhnya bagi perempuan untuk dapat menjalani pendidikan menjadi Hakim Agama Islam.

Ini membuktikan bahwa ruang yang adil bagi perempuan dan laki-laki dengan perspektif agama di Indonesia bukanlah dampak dari agenda feminisme Barat atau agenda asing yang berkembang sejak 1970-an, sebagaimana kerap dituduhkan oleh para penentang gagasan keadilan jender. Ini tampak misalnya dalam jejak Nyai Khairiyah, putri KH Hasyim Asy’ari, memimpin pondok pesantren yang didirikannya bersama suaminya di Seblak Jombang sejak 1930-an. Tahun 1943, Beliau menginisiasi madrasah perempuan di Saudi Arabia, dengan melobi langsung Masyaikh Darul Ulum.

Tahun 2017, Indonesia mencatat rekor baru dengan diselenggarakannya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama, bertempat di Cirebon, Jawa Barat, dan dipuncaki di pondok pesantren Kebon Jambu yang dipimpin oleh Nyai Masriyah Arva. Diperkirakan dihadiri oleh 600 peserta. Ternyata partisipan membeludak sampai lebih dari 1.000 orang. Partisipan mancanegara pun melebihi perhitungan awal.

Sambutan terhadap KUPI I pun tidak hanya dirasakan sepanjang penyelenggaraan kongres atau hanya di Indonesia. Liputan dan komentar masyarakat global pun masih terjadi sampai saat ini. Hasil-hasil KUPI I juga menjadi bahan rujukan untuk menyikapi berbagai persoalan yang menyangkut perempuan dalam perspektif keislaman. Misalnya saja dalam pencegahan perkawinan anak dan kekerasan dalam rumah tangga. KUPI kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan perempuan Indonesia berbasis keislaman.

Pada akhir November 2022 ini KUPI 2 akan segera diselenggarakan oleh Konsorsium organisasi Alimat, Rahima, Fahmina, AMAN Indonesia, serta Jaringan GUSDURian. Bertindak sebagai tuan rumah adalah pondok pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara serta UIN Walisongo Semarang.

Sampai pendaftaran ditutup, sekitar 1.300 orang dipilih untuk menjadi peserta kongres, dan sekitar 600 orang terseleksi untuk international conference. KUPI 2 akan dihadiri peserta dari 29 negara. Sungguh animo yang luar biasa.

Kerangka tema utama KUPI 2 adalah meneguhkan peran perempuan ulama untuk peradaban yang berkeadilan. Agenda pengembangan paradigma pengetahuan dan gerakan transformatif KUPI akan diikuti dengan bahasan mengenai lima isu strategis. KUPI juga akan menyampaikan penyikapan atas berbagai persoalan perempuan dalam Islam secara global.

Di tengah gambaran global tentang perempuan dalam Islam yang tidak berdaya dan penuh persoalan, KUPI menjadi holding space yang mencerahkan dan membawa harapan perubahan. KUPI berhasil memunculkan keberadaan para perempuan ulama, meneguhkan otoritas mereka dalam kehidupan sosial keagamaan dan yang lain, serta mengapresiasi kiprah mereka dalam kerja-kerja keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.

Walau tidak menyandang predikat bagian dari perhelatan G20 yang prestisius itu, KUPI telah berhasil secara organik menjadikan perempuan ulama Indonesia sebagai pemimpin di garis terdepan gerakan perempuan dalam peradaban kaum Muslim dunia. Dari umat, untuk umat.

Di tengah berbagai kabar buruk dan tantangan kehidupan berbangsa di Indonesia, kehadiran KUPI 2 sungguh melegakan, bukan?

_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 13 November 2022

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.