Rapat Desa dan Upaya Mencari Titik Temu Keberagaman

Sebagai seorang pemuda yang cukup aktif mengikuti berbagai organisasi yang ada di desa, saya sering kali mendapat undangan dari Pemerintah Desa untuk menghadiri acara rapat yang diselenggarakan di Balai Desa tempat saya tinggal. Rapat tersebut biasanya berbentuk Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes), Musyawarah Masyarakat Desa (MMD), dan jenis rapat-rapat yang lain.

Tentu saja, saya sangat antusias untuk menghadiri acara tersebut. Bukan karena di kegiatan tersebut saya bakal mendapat seporsi nasi geprek yang dapat mengganjal isi perut saya, bukan. Melainkan karena saya ingin bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan peserta lain pada acara-acara tersebut. Keantusiasan saya mengikuti rapat tersebut juga karena saya mempunyai latar belakang seorang mahasiswa, yang juga cukup aktif di organisasi kemahasiswaan di kampus. Jadi, malu dong kalau saya sampai tidak menghadiri kegiatan rapat di desa. Ya nggak ya?

Saat acara rapat telah dimulai, saya mencoba melihat samping kanan-kiri, depan-belakang saya. Dan ternyata, peserta rapat berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Saya tentunya tidak kaget dengan fakta ini. Memang, kebanyakan yang menghadiri rapat tersebut adalah para ketua RW dan ketua RT. Tapi, meskipun mereka sama-sama beragama Islam dan statusnya adalah orang nomor satu di wilayahnya masing-masing, bukan berarti mereka juga pernah mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Menjabat sebagai ketua RT dan ketua RW bukanlah pekerjaan utama mereka. Status itu hanyalah sebagai sampingan, karena pekerjaan utama mereka sangat beragam. Ada yang sebagai guru, penjahit, pedagang di pasar tiban, buruh industri batik, hingga ibu rumah tangga. Level atau jenjang pendidikan mereka pun tentunya juga tidak sama. Ada yang hanya lulusan SD, SMP, bahkan ada yang tidak tamat menyelesaikan studi S1. 

Dengan kondisi latar belakang peserta rapat yang berbeda-beda itu, apakah pemikiran mereka sama? Tentu saja tidak. Tidak semua orang yang menghadiri musyawarah itu punya pemikiran yang sama antar satu sama lainnya. Ada pak ketua RT 10 yang berprofesi sebagai buruh industri batik, misalnya, yang memberi masukan bahwa mendirikan gedung serbaguna hanya membuang-buang duit saja. Namun bu ketua RT 5 yang seorang guru SD setuju diadakan pembangunan gedung serbaguna tersebut, dengan alasan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan kemasyarakatan.

Meski sama-sama ketua RT atau ketua RW, pola pikir atau cara pandang mereka terhadap sesuatu tidak selalu sama. Karena mereka berasal dari status sosial yang berbeda. Selalu saja ada perdebatan yang terjadi di setiap rapat. Tapi, jangan bayangkan perdebatan yang terjadi mirip seperti perdebatan antara Rocky Gerung dengan anggota DPR RI Yandri Susanto di acara Mata Najwa lho ya. 

Perdebatan di rapat desa hanyalah perdebatan kecil, mencari jalan tengah atas permasalahan yang terjadi. Perdebatan ala orang-orang pinggiran, yang tidak sampai kepada menghakimi pendapat orang lain, atau mencaci maki orang yang pendapatnya tidak masuk akal, dan tentunya perdebatan yang, diperlihatkan dengan mimik wajah yang masih kelihatan normal, belum sampai kepada tahap mimik wajah yang menunjukkan rasa kekesalan, marah, kebencian, dan lain sebagainya. Dan yang terpenting, ending dari perdebatan, mungkin lebih tepatnya disebut diskusi, adalah memunculkan keputusan yang pada akhirnya disetujui semua orang. Saling ridha, kalau bahasa sederhananya.

Perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di dalam sebuah rapat yang diadakan oleh pemerintah desa memang wajar terjadi. Saya sendiri menilainya memang harus ada masukan-masukan yang beragam dari peserta rapat. Kalau tidak seperti itu, rapat yang tadinya ingin menghasilkan keputusan yang mufakat, malah justru menghadirkan suasana sepi dan sunyi karena tidak ada peserta rapat yang bicara untuk memberikan masukan-masukan atau saran. 

Akan tetapi, di balik perbedaan pemikiran-pemikiran antarpeserta rapat itu, tentu harus disikapi dengan bijak oleh pihak Pemerintah Desa, lebih spesifik kepala desa, selaku tampuk kekuasaan tertinggi yang ada di tingkat desa. Begitu pun, peserta rapat juga tidak boleh untuk merasa paling benar atas pendapatnya sendiri, menyalah-nyalahkan statement orang lain, tapi harus tetap bersikap saling menghormati dan menerima segala keputusan demi kebaikan dan kemajuan bersama.

Melihat gambaran tersebut tentu saya bisa mengatakan bahwa di dalam sebuah rapat musyawarah desa, ada bentuk keberagaman di masyarakat. Tidak hanya soal gender, status sosial, tapi juga tentang pemikiran. Soal gender, misalnya, di mana peserta rapat tidak hanya dihiasi kaum lelaki saja, tetapi ada juga ibu-ibu yang menjabat ketua RT atau RW, yang pada malam saat rapat mereka seharusnya punya kewajiban menyusui anaknya, misalnya.

Sementara dari segi status sosial, orang-orang yang bermusyawarah itu tidak cuma berprofesi sebagai guru semua, misalnya, tapi ada banyak profesi lain yang sempat saya singgung di awal. Dari ranah pemikiran, tentunya antara kaum ibu-ibu yang berprofesi sebagai penjahit, dengan bapak-bapak RT penuh ambisius pada proyek desa, sangat berbeda cara pandang maupun pikirannya. 

Nah, cara berpikir, menyampaikan gagasan, dan bersikap para peserta rapat yang berbeda-beda ini adalah bentuk dari sebuah keberagaman. Singkatnya, ketika kita membicarakan tentang keberagaman, tidak melulu harus seputar keagamaan, suku, atau budaya. Tapi di dalam sebuah rapat desa pun, bahkan pertemuan emak-emak arisan, ada keragaman atau perbedaan dalam segi pemikiran.  

Perbedaan pandangan, gagasan, pemikiran, pendapat adalah hal yang lumrah dalam sistem negara demokrasi. Jadi intinya perbedaan pendapat, entah di sebuah rapat pemerintahan desa, di organisasi kemahasiswaan, atau saat rapat anggota dewan, adalah hal yang lumrah. Perbedaan ini tentu saja membawa rahmat bila kita mau memahaminya dengan baik. Di sisi lain, perbedaan akan menjadi laknat bila segelintir orang tidak memahami hal tersebut.

Terjadinya perbedaan pendapat menunjukkan adanya dinamika berpikir, menunjukkan eksistensi, dan mendorong pengembangan ilmu pengetahuan. Perbedaan pendapat adalah rahmat yang harus disyukuri. Bahkan di kalangan ulama sejak dulu, perbedaan sikap dan pandangan adalah hal yang lumrah, bahkan menjadi sebuah tradisi hingga kini.

Sebagai Muslim, kita seharusnya menyikapi perbedaan pendapat dengan bijak. Mendahulukan nalar yang sehat ketimbang amarah yang menyesatkan pikiran. Jagalah hati dan ucapan agar tak menyulut permusuhan atau memecah belah persatuan. Kita adalah saudara yang harusnya saling menjaga. Rasulullah SAW bersabda, “Muslim adalah orang yang mampu menjaga Muslim lainnya dari lisan dan tangannya.” (HR Bukhari).

Penggerak Komunitas GUSDURian Pekalongan. Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan. Peminat kajian Literasi Digital, Ekonomi Islam, dan Sepak bola.