Yogyakarta si Miniatur Indonesia dan Praktik-Praktik Baik Keberagaman di Dalamnya

Kiranya semua orang mengenal kota ini. Kota yang dikenal dengan makanan khasnya, tempat pariwisata, penduduk yang ramah dan kampus-kampus yang menjadi incaran siswa yang baru saja menyelesaikan masa-masa SMA nya, itulah kekhasan Kota Yogyakarta.

Gudeg adalah makanan fovorit di kota ini. Maka tak heran jika kota ini dijuluki dengan Kota Gudeg. Saking kayanya akan tempat pariwisata, maka tak heran jika kota ini dikenal sebagi ikon Wonderful Indonesia. Bahkan orang-orang yang belum pernah bertandang secara langsung ke kota ini mengira bahwa Candi Borobudur dan Prambanan terletak di Yogyakarta. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pelajar.

Dengan alasan-alasan itulah banyak orang dari Sabang sampai Merauke ingin melangkahkan kakinya ke Kota Yogyakarta, baik untuk mencicipi makanan khasanya, jalan-jalan, atau belajar. Bahkan ketika sudah bertandang ke kota ini, tak jarang banyak orang yang enggan meninggalkannya. Dengan latar belakang demikian kita dapat melihat bagaimana keberagaman dari setiap orang yang berkumpul di lingkaran kota ini. 

Keberagaman yang dimaksud yaitu latar belakang bahasa daerah, suku, agama, dan keyakinan. Mungkin di kota lain agaknya kita kesusahan mencari keberagaman ini. Sehingga, ketika kita berada di kota ini menjadi sebuah privilege bagi kita untuk memahami indahnya Indonesia dengan keberagaman warga negaranya.

Misalnya saja, di Yogyakarta kita bisa dengan mudah menemukan orang-orang dengan agama Katolik di Universitas Atmajaya, orang-orang dengan agama Protestan di Universitas Kristen Duta Wacana, dan orang-orang Islam dengan berbagai alirannya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta kita bisa menemukan keberagaman itu di kampus-kampus lain.

Dalam hal ini, kita bisa mengenal lebih dalam, menjalin relasi baik, dan belajar banyak perspektif dengan orang-orang yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat. Selain itu kita juga bisa berjumpa dengan orang-orang latar belakang suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Dayak, Asmat, Bugis, Madura, Nias, dan lain-lain yang bisa dengan mudah kita temui di kampus-kampus maupun tempat wisatanya seperti di Malioboro. 

Meskipun kita tidak dapat memungkiri bahwa akhir-akhir ini marak kasus intoleransi, hal tersebut tentunya tidak mengendorkan semangat persaudaraan umat beragama di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Beberapa praktik baik dalam pluralisme yang terjadi di Yogyakarta di antaranya adalah jelang perayaan Imlek 2022 di Klenteng Fuk Ling Miau yang terletak di Gondomonan. Sejumlah elemen masyarakat dengan berbagai macam latar belakang agama dan budaya turut serta bersama-sama membersihkan tempat ibadah tersebut sebagai gambaran toleransi antarumat beragama.

Selain itu, di Yogyakarta kita bisa dengan mudah menemukan doa lintas agama. Misalnya salah satu doa lintas agama yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Nusantara pada bulan Februari tahun 2022 yang bertajuk “Bumi Rumah Bersama, Satukan Tangan Hadapi Perubahan Iklim dan Pandemi Covid-19” di Taman Wisata Candi Prambanan, di mana doa bersama tersebut dibacakan oleh enam pemuka agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. 

Tak berhenti di situ, kita juga bisa melihat banyaknya paktik baik antarteman kos. Teman saya, Aisyah, adalah salah satu orang yang berencana menetap untuk tinggal di Yogyakarta setelah menyelesaikan studi Strata-1 nya. Ia berasal dari Nusa Tenggara Barat. Aisyah bersahabat dekat dengan salah seorang kawannya yang berasal dari Sumatera. Seorang kristiani. Di kos sahabatnya itu tersimpan alkitab dan salib yang terpampang. Dalam kitab sucinya itu terselip selembar kertas nama Aisyah yang sebelumnya diawali kata-kata: “Ya Tuhan berkatilah orang-orang ini”. 

Malam itu, sekitar pukul 19.00 WIB, sahabat Aisyah tersebut mematikan lampu kamarnya dan mulai menyalakan sebuah lilin. Terasa hening dan hangat malam itu. Laki-laki yang duduk bersilang menghadap salip dan lilin disertai kedua tangannya yang mengepal, membaca selembar demi selembar kitab yang ada di depannya. Ia duduk bersilang sekitar empat puluh lima menit, lalu kembali menyalakan lampu kamarnya.

Dalam hal ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa ketika kita memilihara perbedaan, maka kita akan mendapatkan kisah yang berbeda pula. Walaupun berbeda dalam cara beribadah dan berdoa tapi yakin dan percayalah bahwa setiap doa yang dilantukan itu demi kebaikan. Aisyah sangat terharu ketika mengetahui apa yang dilakukan sahabatnya. 

Praktik baik dalam merawat pluralisme di Yogyakarta tentunya menjadi contoh baik untuk diterapkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Bahwa keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini adalah suatu kekayaan yang harus terus dirawat. Karena dengan keberagaman inilah kita bisa saling mengasihi satu sama lain.

Alumnus Creator Academy 2022 Seknas Jaringan GUSDURian. Anggota Srikandi Lintas Iman Yogyakarta dan Solidaritas Perempuan Kinasih. Pemerhati isu perempuan dan ketertindasannya.