Di tengah ramainya orang berkampanye yang semakin hari semakin panas, hari-hari ini kita disejukkan, jika bukan malah semakin dipanaskan, oleh Piala Dunia. Semua orang tahu, Indonesia dipadati oleh penggemar sepak bola. Meski tidak pernah ada prestasi gemilang yang pernah dicapai oleh negeri ini dalam hal sepak bola, namun masyarakatnya sungguhlah penggila sepak bola.
Betapa tidak, orang bisa dengan bersemangat bangun pada dini hari untuk menegakkan kekhusyukan menonton sepak bola. Ditambah dengan waktu yang dihabiskan untuk membaca, mengulas, dan membincangkannya. Sehingga semua penonton sepak bola adalah pengamat atau ahli, mereka bisa membuat analisis sendiri, memprediksi, bahkan membuat abstraksi.
Di media massa, selama Piala Dunia berlangsung, banyak dijumpai artikel dan tulisan mengenai Piala Dunia. Abdurrahman Wahid, di masa hidupnya, adalah salah satu kolumnis sepak bola yang produktif. Sepanjang Piala Dunia 1994, Gus Dur, secara rutin menulis artikel berisi analalisis pertandingan di harian Kompas.
Gus Dur menulis topik sepak bola, sependek pengetahuan saya, dimulai sejak tahun 1978. Saat itu Gus Dur menulis untuk harian Kompas dengan judul Si Awam dan Piala Dunia. Artikel-artikel lepas Gus Dur tentang sepak bola dicirikan dengan semangatnya untuk mengaitkan pada kondisi sosial (eskapisme, land reform, pembangunan, dan lain-lain).
Hanya pada seri Piala Dunia 1994 tersebut, Gus Dur lebih banyak berbicara pada aspek teknis dan taktis. Misalnya ketika ia menganilisis permainan Argentina yang menurutnya secara taktis akan lebih berkembang membaik justru ketika Maradona tidak lagi bermain. Di kesempatan lain Gus Dur juga mengomentari munculnya kuda-kuda hitam di Piala Dunia 1994 itu, yang bertarung membanggakan namun pada akhirnya harus tetap kalah, seperti tim Rumania, Swedia, dan Mesir.
Dalam memberikan analisis tentu saja Gus Dur tidak dipandu dan dibantu oleh data-data canggih dan rumit yang kini banyak digunakan para pundit sepak bola. Di masa sekarang, data statistik pertandingan sepak bola tidak lagi sederhana yang hanya bersi tentang berapa kali bola ditembakkan ke gawang, berapa katu kuning, dan berapa kali sepakan pojok; namun lebih lengkap dengan berapa kali setiap pemain menyentuh bola, jarak yang ditempuh setiap pemain, hingga heat map masing-masing pemain di lapangan bola. Meskipun demikian, membaca tulisan-tulisan Gus Dur kita bisa melihat karakter tim-tim yang bertanding saat itu.
Secara umum, sebagaimana disimpulkan sendiri oleh Gus Dur, Piala Dunia 1994 secara umum lebih mempertontonkan sepak bola pragmatis, yang penting menang. Sambil menikmati laga-laga Piala Dunia 2022 yang menurut saya jauh lebih menarik ketimbang Piala Dunia 1994, kita bisa bernostalgia menikmati dua tulisan Gus Dur tentang sejumlah hal di Piala Dunia 1994 tersebut. Satu tulisan mengenai kebanggan tim-tim underdog, satu tulisan lagi tentang pertandingan final yang terkenal menjemukan itu. Selamat menikmati.
___________________
ANTARA KEBANGGAAN DAN KEKECEWAAN
KOMPAS – Senin, 18 Juli 1994 Halaman: 1
Abdurrahman Wahid
Ketika Belgia dikalahkan dalam pertandingan semifinal putaran akhir piala dunia beberapa tahun yang lalu, rakyat Belgia justru menyambut kepulangan mereka dengan penuh antusiasme. Mereka bersyukur atas kemampuan tim kesayangan mereka untuk sampai ke putaran tersebut, dan tidak melihat lebih jauh dari itu. Kekalahan pada level yang tidak terduga sebelumnya dapat diraih, adalah sebuah kehormatan. Bahkan putaran akhir Piala Dunia 1990 menyajikan kebanggaan rakyat Mesir akan prestasi tim nasional mereka, yang mampu menahan Belanda dengan angka seri 0-0. Padahal waktu itu ada trio top Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Tak heran bila Presiden Husni Mubarak langsung mengumumkan hari esoknya sebagai hari libur nasional.
Orang Mesir berhak saja untuk merasakan hasil imbang itu sebagai prestasi luar biasa. Kalau para penyerang Mesir tidak dapat menembus benteng pertahanan Belanda Adrie van Teglen, Ronald Kumann, dan Woutres, bukanlah berita besar. Hanya Italia dan Jerman Barat saja yang dapat menggedor pertahanan tim Oranye waktu itu. Tetapi bahwa trio penyerang Belanda di atas tidak dapat menembus pertahanan Mesir, itu adalah berita yang luar biasa bagi rakyat negeri lembah Sungai Nil itu.
Sebaliknya, kegagalan Jerman mengalahkan Bulgaria dalam putaran akhir piala dunia kali ini tentu menimbulkan kekecewaan sangat besar di negeri Bir tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa memang tim Jerman sudah mandul dan tidak produktif lagi. Buktinya, gol balasan tunggal Jerman itu pun tercetak dari tendangan dua belas pas hasil akal-akalan Juergen Klinsmann yang menjatuhkan diri di kotak penalti lawan. Bukannya hasil kombinasi serangan yang tajam dan efektif dari para gelandang menyerang Jerman yang dialirkan melalui dua ujung tombak Klinsmann dan Rudi Voeller.
Apa pula kekalahan Argentina yang menyesakkan dada Basile dan tim asuhannya dalam putaran perempat final Piala Dunia 1994 ini. Tim Argentina jelas lebih unggul dalam penguasaan teknik atas bola, dan secara keseluruhan lebih baik kualitas para pemainnya. Katakanlah sebuah kesebelasan tingkat A berhadapan dengan kesebelasan yang waktu itu masih dianggap pada taraf tingkat B plus, atau maksimal A minus. Namun dalam kenyataan, gol perolehan Argentina memang kalah banyak, dan dengan demikian tim cemerlang itu harus rela tersingkir lebih dini dari yang diduga.
Walaupun Belanda kali ini dikalahkan dalam putaran perempat final dan bukannya semifinal, namun kekecewaannya tidaklah begitu besar. Pertama karena memang tim tersebut adalah “rakitan baru” yang belum jauh berkembang. Hasil itu pun sudah merupakan ketepatan arah pengembangan strategi yang ditempuh pelatih Dick Advocaat. Sebab lain yang membuat kekecewaan tidak begitu besar adalah kenyataan pemenang yang mempecundangi Belanda itu adalah Brasil, yang sedang berada puncak siklus yang secara maksimal dapat dicapai pada saat ini. Kualitas pertandingan tersebut juga menampilkan sajian yang dapat dianggap sebagai “final sebenarnya” (real final) putaran akhir Piala Dunia 1994 ini.
Sebaliknya, pertandingan perempat final melawan Swedia hasilnya sangat menyesakkan dada bagi Rumania. Kepiawaian mereka mengalahkan berbagai tim puncak dunia dalam putaran penyisihan dan perdelapan final ternyata dihentikan oleh tembok pertahanan Swedia yang dikombinasikan dengan serangan balik yang efektif oleh trio Thomas Brolin, Martin Dahlin, dan Kennet Andersson. Efektivitas serangan Hagi dan Raducioiu, dikombinasikan dengan ketajaman gebrakan Pupescu dan Lupescu, yang bahkan masih ditunjang oleh gebrakan maut dari Dumitrescu, ternyata sia-sia saja hasilnya. Terkumpulnya “kaki penyerang” (attacking feet) di kubu Rumania sebanyak itu tidak mencapai momentum cukup untuk meloloskan tim itu ke putaran semifinal.
Sesak napas yang menyakitkan juga dirasakan oleh Swedia, dalam pertandingan berikutnya. Setelah berhasil mengembangkan cara bertahan yang efektif menghadapi ketajaman para penyerang Brasil, tim asuhan Tommy Svensson itu harus menelan kenyataan pahit tembok pertahanannya dihancurkan Brasil akibat diusirnya kapten Jonas Thern ke luar lapangan oleh wasit. Setelah mampu mengimbangi permainan Brasil selama 80 menit dan membuat frustasi para penyerang lawan sekaliber Romario dan Bebeto, alangkah sesak dada Brolin dan kawan-kawan oleh kemalangan tersebut.
Berangkat dari kenyataan inilah, harus dimengerti ucapan Thern seusai pertandingan, bahwa pertandingan penentuan tempat ketiga dan keempat melawan Bulgaria tidak ada artinya. Menurut Thern yang kemudian diperkuat Svensson, sangat sulit membangkitkan kegairahan bertanding semaksimal mungkin setelah mengalami kekecewaan demikian berat. Bahkan mereka sempat mengeluarkan sebuah usulan agar pertandingan seperti itu ditiadakan saja dalam kompetisi akbar sejagat tersebut. Seperti halnya dalam putaran akhir Piala Eropa. Jadi lampu sorot hanya terpusat pada mereka yang memenangkan putaran semifinal, bukannya yang kalah.
Namun, luapan emosi itu ternyata tidak diikuti oleh kejatuhan semangat juang tim Swedia tersebut. Tim asuhan Svensson memenangkan posisi ketiga putaran akhir Piala Dunia 1994, dengan menundukkan Bulgaria melalui skor telak 4-0. Swedia tampil dengan keyakinan penuh akan apa yang dicarinya: pembuktian bahwa strategi bertahan-plus-serangan-balik secara kreatif adalah sebuah cara bermain bola yang efektif. Kekalahan dari Brasil karena kemalangan dikeluarkannya kapten kesebelasan Thern dari lapangan, tidak mengurangi keabsahan strategi yang diterapkan Svensson itu.
Keyakinan itulah yang membuat Swedia lalu mengamuk bagaikan banteng ketaton dan memenangkan pertandingan tersebut, walaupun tentu saja didukung oleh tidak jelasnya bagaimana keinginan Bulgaria untuk memenangkan pertandingan akan diwujudkan. Serangan-serangan tanpa tujuan yang jelas dari pihak Bulgaria sudah tentu tidak akan dapat menjebol ketatnya pertahanan Swedia kala itu. Tanpa kapten Thern, kualitas tim Swedia ternyata tetap unggul dan sanggup memberikan legitimitas kepada strategi pelatih Svensson.
Sungguh tipis batas antara kekecewaan dan kebanggaan dalam hal ini. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut tim. Dari hal-hal seperti ini, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia, oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepak bola? Sepak bola merupakan bagian kehidupan, atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepak bola.
MENGENDALIKAN, TETAPI KALAH
KOMPAS – Selasa, 19 Juli 1994 Halaman: 1
Abdurrahman Wahid
PERTANDINGAN final Piala Dunia 1994 ternyata merupakan kebalikan dari perkiraan orang. Bukannya permainan menyerang yang tuntas yang dipertontonkan, melainkan serangan setengah hati yang dibiarkan pudar begitu tampak ada resiko serangan balik dari pihak lawan. Kelebihan teknik bermain individual para pemain Brasil dibiarkan tidak tersalurkan secara optimal dalam rangkaian gempuran atas wilayah pertahanan Italia. Sebaliknya, serangan Italia hanya satu dua saja yang berbahaya bagi penjaga gawang Brasil Taffarel.
Pelatih Brasil Carlos Alberto Parreira ternyata tidak mampu melepaskan diri dari “jeratan laba-laba” yang dipasang Arrigo Sacchi, pelatih tim Italia. Sacchi menurunkan tempo permainan dan membiarkan bola berputar-putar di lini tengah belaka, dan terus menerus diperebutkan oleh para gelandang. Begitu bola berada di kaki pemain tengah Brasil, segera diupayakan oleh para pemain tengah Italia untuk merebutnya. Tujuan taktik ini adalah untuk tidak membiarkan bola dikirim ke depan, kepada para penyerang Brasil.
Dengan demikian, upaya mengurangi ketajaman gedoran barisan penyerang Brasil yang terkenal tajam itu, dilakukan secara optimal. Sama dengan taktik yang dilakukan Tommy Svensson dalam mengarahkan tim Swedia ketika menghadapi Brasil dalam pertandingan semifinal, walaupun dengan cara yang berbeda.
Dengan cara itu barisan tengah Brasil tidak mampu mengirim bola-bola akurat yang dibutuhkan duet penyerang Romario-Bebeto. Tercatat hanya sekali terjadi serangan berbahaya oleh kedua ujung tombak Brasil itu dalam sebuah kerja sama sangat rapi. Itu pun gagal membuahkan gol, karena akuratnya penjagaan zonal dari Paolo Maldini.
Cara membuat bola “mogok di lini tengah” adalah cara yang seringkali dipakai dalam pertandingan antara dua buah tim yang berkekuatan seimbang dalam kompetisi seri A Liga Italia. Sangatlah mengherankan, bahwa Sacchi bisa memanfaatkan strategi “positif-tapi-macet” itu secara demikian efektif dalam pertandingan akbar seperti final Piala Dunia.
Dan juga sangat mengherankan, bahwa Parreira tidak mampu menembus pola yang menjemukan itu, padahal justru pihak Brasil yang memerlukan dobrakan-dobrakan kreatif. Sebaliknyalah yang justru terjadi karena pihak Brasil justru memusatkan serangan hanya melalui duet Romario Faria dan Bebeto. Para pemain sayap dan gelandang menyerang seolah-olah dilarang membuat tembakan langsung ke gawang Gianluca Pagliuca.
Dengan demikian menjadi lebih mudahlah Paolo Maldini dan kawan-kawan mematahkan serangan-serangan Brasil. Apalagi Benarrivo lebih berinisiatif mencegat bola-bola yang dikirim dari lini tengah Brasil ke wilayah pertahanan Italia, karena antisipasi Paolo Maldini terhadap terobosan tiba-tiba Bebeto maupun Romario sangatlah besar. Daya jelajahnya yang besar membuat Benarrivo mampu membuat rancu upaya-upaya untuk lebih mengefektifkan kedua ujung tombak ampuh Brasil itu.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam strategi memacetkan serangan lawan yang diterapkan Sacchi itu, tetapi yang mengherankan adalah justru kegagalan Parreira untuk mencari jalan mengatasinya. Besar kemungkinan Parreira tidak berani mengambil resiko terlalu besar dengan mendorong lebih banyak pemain tengah untuk maju ke depan, memasuki wilayah pertahanan Italia.
Yang ditakutinya sudah tentu adalah kemungkinan serangan balik yang tiba-tiba dan efektif dari pihak Italia. Apalagi di ujung tombak ada Roberto Baggio dan Daniel Massaro. Reaksi sangat berhati-hati dari Parreira ini adalah contoh klasik dari psikologi ketakutan (psychology of fear) yang menghinggapi pengambil keputusan di bidang apa pun, di saat-saat menghadapi situasi kritis. Berarti Sacchi mampu mengendalikan cara berpikir Parreira, di samping tim asuhannya mampu menerapkan pola “penjenuhan lapangan tengah” atas tim Brasil.
Hilangnya peluang mengembangkan kreativitas individual itu, karena sikap mental pasif yang diterapkan Parreira untuk meredam ancaman Italia, sangat mempengaruhi penampilan para pemain Brasil, terutama kedua ujung tombak Romario-Bebeto dan para gelandang menyerang seperti Mazinho dan Dunga. Apalagi sebagai pembagi bola Dunga tidak berusaha menyerang sendiri dengan berperan sebagai second striker. Kalau saja Rai yang dipasang mungkin hal itu dilakukannya dan serangan Brasil akan menjadi lebih hidup.
***
PADA sisi inilah tampak juga kurangnya keberanian Parreira untuk memperhitungkan faktor penampilan Roberto Baggio. Penyerang top itu sedang berada di bawah form, karena cidera yang dideritanya. Mestinya hal itu telah terlihat oleh Parreira dan para pemain tengah Brasil pada perempat terakhir pertandingan didorong agak lebih maju sedikit ke depan. Bukannya dengan menggantikan Mazinho dengan Viola.
Sebagai penggiring bola, pemain muda ini memang memikat dengan giringan-giringan (dribbles) cantiknya. Tetapi yang mampu menembakkan bola secara tiba-tiba. Dan itu berarti Rai yang harus dipasang, bukannya Viola.
Di pihak lain, pengendalian Sacchi atas tempo pertandingan juga tidak berguna banyak bagi tim Itali. Berbeda dengan pengendalian tempo permainan oleh tim Swedia ketika menghadapi Brasil, yang menghasilkan serangan-serangan balik cukup berbahaya bagi gawang lawan. Bedanya adalah para peranan Tomas Brolin yang berani maju ke depan mendampingi dua ujung tombak Martin Dahlin dan Kennet Andersson.
Seharusnya Sacchi bisa melakukan hal yang sama, dengan mendorong Dino Baggio untuk melapis serangan-serangan Roberto Baggio dan Daniele Massaro, sebagai second striker. Sayang hal itu tidak dilakukan, sehingga serangan-serangan Italia menjadi tumpul.
Keengganan Sacchi untuk menuntaskan pola serangan Italia tentu juga timbul dari ketakutannya sendiri akan akselerasi tiba-tiba yang dahsyat dari Romario-Bebeto. Jelas dari yang diuraikan di atas betapa kedua pelatih lebih dicengkam oleh ketakutan masing-masing kelangsungan pola “penjenuhan lapangan tengah” oleh Italia itu.
Walaupun qua teknik permainan individual jalannya pertandingan tetap mengasyikkan, tapi qua strategi sepak bola jalannya pertandingan menunjukkan turunnya mutu permainan final sebuah pesta akbar seperti piala dunia. Apalagi masih ditambah oleh sikap super hati-hati Sacchi, yang secara konvensional menetapkan kapten kesebelasan sebagai algojo pertama dalam tahap adu penalti.
Franco Baresi jelas tidak berada dalam keadaan fit untuk sepenuhnya siap melaksanakan tembakan maut. Begitu juga dengan Roberto Baggio yang kaki kanannya penuh ditempeli plaster akibat cidera dalam pertandingan semifinal. Beberapa peluang Italia untuk memasukkan bola gagal dimanfaatkan Roberto Baggio, karena kebetulan bola tiba di saat kaki kanannya itu yang bebas. Tembakan dengan kaki sakit itu tampak lemah sekali dan tidak tepat arah seperti dikehendaki penembaknya sendiri.
Heran sekali bukannya penembak ulung lain yang tugasi Sacchi untuk menjadi algojo, melainkan justru Roberto Baggio yang sedang tidak fit seperti itu. Jelas itu karena kecenderungan seorang pengambil keputusan yang lebih menekankan cara konvensional daripada cara inovatif dalam menghadapi saat-saat kritis.
Salah satu teka-teki yang sulit dijawab dalam dunia sepak bola adalah mengapa seorang pelatih sekaligus seorang pengatur strategi, dengan kecenderungan-kecenderungan menyerang dapat saja tiba-tiba menjadi begitu defensif, seperti dibuktikan Parreira dan Sacchi dalam pertandingan final Piala Dunia 1994? Dan mengapakah pelatih “jago bertahan” seperti Tommy Svensson dari Swedia dapat tiba-tiba menyusun strategi serangan balik yang efektif.
Hal yang sama terjadi pada Herera, pelatih Italia dan pencipta sistem “pertahanan tembok” (catenaccio) yang terkenal sekitar dua dasawarsa yang lalu. Bahwa Svensson dapat menerapkan arus serangan balik dalam frekuensi lebih tinggi, tetapi tetap mengambil dari “hal yang dicontohkan” Herera itu, merupakan sebuah perkembangan positif bagi sepak bola dunia. Sedangkan mundurnya Parreira dan Sacchi dari pola serangan bergelombang yang tuntas, justru merupakan perkembangan negatif. (*)