Konferensi Internasional KUPI II: Bahas Pelestarian Lingkungan Berbasis Pesantren

Sejumlah ulama perempuan Indonesia yang tergabung dalam gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggelar acara konferensi internasional di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang pada Rabu (23/11/22).

Pada konferensi internasional kali ini, KUPI menyediakan kajian-kajian kekinian yang dikelompokkan menjadi enam diskusi paralel, salah satunya adalah Greening of Muslims: Climate Justice and Sustainable Development atau Keadilan Iklim dan Pembangunan yang Berkelanjutan.

Pada diskusi tersebut, Nissa Sa’adah Wargadipura menjadi salah satu panelis. Ia mengatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi di sekitar kita adalah tanggung jawab semua orang yang ada di bumi. Sehingga semuanya memiliki peran untuk menanggulanginya.

“Krisis lingkungan adalah tanggung jawab kita semua dan setiap orang memiliki tanggung jawab dengan cara masing-masing dalam menanggulanginya,” ungkap Ibu Nyai asal Sunda itu.

Oleh karena itu Nissa Sa’adah mendirikan Eko-pesantren At-Thariq di Garut Jawa Barat. Menurutnya, melalui pesantren ekologi ia bisa memberikan sumbangsih untuk kemakmuran bumi. Selain itu, adanya pesantren ekologi bisa menjadi bahan evaluasi bagi muslim Indonesia yang menjadi mayoritas namun belum bisa menjaga buminya.

“At-Thoriq adalah refleksi atau evaluasi bagi muslim Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas Muslim. Selain itu, menjadi ekologis adalah karakter seorang muslim dan ketaatan kepada Sang Pencipta,” ungkapnya.

Dalam pengelolaannya ia menggunakan pendekatan agroekologi. Agroekologi adalah pemaknaan bahwa tanah adalah sumber kehidupan dan peradaban, oleh karena itu harus dijaga agar kehidupan dapat berlangsung.

“Agroekologi adalah langkah konkret untuk menjaga bumi. Pertanian yang tidak hanya mementingkan kebutuhan manusia namun juga mementingkan keberlangsungan selain manusia seperti tanah, pohon, binatang, dan keberlangsungan setiap kehidupan segala apa yang ada di bumi,” sambung Nyai Nissa.

Eko-pesantren At-Thariq di Garut sudah berdiri selama 14 tahun dan masih tetap dalam pendiriannya yaitu menjaga bumi. Nissa mengatakan bahwa pesantren seperti ini tidak banyak ditemukan dan kurikulumnya berbeda dari yang lain, yaitu memberikan penjagaan terhadap bumi.

“Kurikulum dalam pembelajaran At Thoriq setara dengan perempuan karena mempunyai andil banyak dalam menjaga ibu bumi,” tutup pengasuh eko-pesantren tersebut.

Penggerak GUSDURian Semarang. Alumnus Ponpes Apik Kaliwungu dan Ponpes MUS Sarang.