Pengalamanku Mengikuti Tepelima Kalbar: Bertanyalah kepada Ahmadiyah yang Ahli, Bukan yang Ahli Ahmadiyah

Selama tiga hari lamanya, mulai dari 18-20 November 2022, saya mengikuti kegiatan Tepelima atau temu Pemuda Lintas Iman di Pontianak. Kegiatan ini diinisiasi oleh teman-teman dari Satu Dalam Perbedaan (SADAP) Indonesia, Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), GUSDURian Pontianak, dan Jaringan Rumah Diskusi.

Kegiatan yang dilakukan selama tiga hari itu sangat berkesan dan banyak memberi pandangan baru mengenai keberagaman di Kalbar, khususnya di Pontianak, dan juga karena ini pengalaman pertama saya berjejaring dengan pemuda lintas iman di Kalimantan Barat.

Selama berkegiatan, saya ditempatkan sekamar dengan salah seorang mubaligh Ahmadiyah. Saat tau hal itu saya bergumam, “Wah, seru nih, kegiatan pertama langsung bisa akrab dengan mubaligh Ahmadiyah”. Setelah saling berkenalan, kami mulai bercerita banyak hal. Saya bermaksud untuk membuka pembicaraan dengan bercerita tentang perjumpaan saya sebagai penggerak GUSDURian Makassar dengan jemaat Ahmadiyah di Makassar. Mengetahui hal tersebut, teman sekamar saya itu merespons baik cerita yang saya sampaikan.

Setelah itu saya menyampaikan pertanyaan pertama mengenai kronologi dan dampak kejadian Ahmadiyah di Sintang terhadap jemaat Ahmadiyah yang lain. Hal ini saya tanyakan, karena saya belum pernah mendengar secara langsung pernyataan dari komunitas yang terdampak. Sejauh ini kan kebanyakan dari kita hanya mengetahuinya dari para “Ahli Ahmadiyah”.

Selanjutnya, ia pun menjawab dan menceritakan kronologinya secara lengkap, dan dampak yang ia dan para jemaat Ahmadiyah lain rasakan pasca kejadian itu. “Sudah setahun lamanya semenjak kejadian tragis yang membuat nilai luhur kebhinekaan bangsa ini ternodai, yaitu peristiwa pembakaran rumah ibadah jemaat Ahmadiyah di Sintang pada bulan September 2021”.

Tragedi yang dilakukan oleh kelompok intoleran ini mereka lakukan dengan penuh percaya diri. Mereka menggangga tindakan tersebut bernilai “jihad” dan akan dibalas pahala oleh Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Saat mendengar kronologi yang ia sampaikan, saya langsung berpikir keras, “Kok bisa sih, masih berharap pahala kepada Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim atas perbuatan keji yang ia lakukan? Kok bisa?”

Pada sesi berikutnya, tepatnya sesi ruang bicara, para peserta membicarakan mengenai prasangka, stigma, dan stereotipe. Saya mengambil kesempatan untuk berbicara dan bercerita mengenai beberapa hal. Salah satu yang saya sampaikan adalah pengalaman saya yang sempat memiliki stigma buruk terhadap jemaat Ahmadiyah.

“Dulu, saya itu memiliki stigma buruk terhadap teman-teman Ahmadiyah. Pernah suatu ketika melihat berita waktu Ahmadiyah diserang saya ikut senang. Tapi itu dulu, waktu jaman jahiliyah”. Kurang lebih seperti itulah yang saya sampaikan.

Mendengar hal itu, teman sekamar saya juga menceritakan pengalaman-pengalamannya selama menjadi jemaat Ahmadiyah. “Karena banyaknya tekanan, hinaan, bahkan ancaman orang-orang kepada saya, sempat juga timbul niat untuk membalas respons negatif orang-orang itu. Tapi itu dulu waktu jaman jahiliyah,” ungkapnya sambil menirukan gaya bicara saya, sontak para peserta Tepelima pun tertawa.

Sebelum memutuskan untuk istirahat, saya melanjutkan diskusi dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar Ahmadiyah. Mungkin karena sudah capek dan ia melihat masih banyak pertanyaan yang akan saya sampaikan, ia pun memutuskan untuk memberikan saya buku kecil yang menjelaskan mengenai jawaban atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh “Ahli Ahmadiyah” terhadap jemaat Ahmadiyah. Dengan hati yang ikhlas dan penuh kesadaran terhadap rezeki yang ada di depan mata, saya pun menerima pemberian itu.

Keesokan harinya, peserta kegiatan Tepelima memasuki sesi yang dinanti-nanti, yaitu kunjungan ke tempat-tempat ibadah. Sedari pagi hingga siang hari para peserta diajak berkeliling sambil belajar mengenai instrumen di setiap rumah ibadah yang dikunjungi. Rute pertama para peserta diajak untuk mengunjungi Vihara di batas kota Kabupaten Kubu Raya. Setelah itu melanjutkan perjalanan menuju pura, klenteng hingga gereja. Pada akhirnya, kami diberhentikan di masjid Ahmadiyah.

Saat itu kami langsung disambut oleh seorang mubaligh Ahmadiyah yang tergolong “Ahmadiyah yang ahli”, karena selain ilmu pengetahuan beliau luas juga karena pengalaman beliau yang begitu banyak. Selama di masjid Ahmadiyah, peserta dan juga panitia silih berganti mengajukan pertanyaan mereka kepada mubaligh “Ahmadiyah yang Ahli” itu. Mereka bertanya sekaligus meminta penjelasan atas isu yang beredar di tengah masyarakat, khususnya di Pontianak.

Kita ketahui bersama, bahwa belakangan ini isu-isu mengenai Ahmadiyah sangat beragam dan rata-rata isu tersebut banyak yang menyudutkan jemaat Ahmadiyah. Mulai dari isu Ahmadiyah sesat, Ahmadiyah agama baru, syahadat Ahmadiyah beda dengan Islam, dan masih banyak fitnahan yang ditujukan kepada teman-teman Ahmadiyah.

Semua pertanyaan dan curhatan peserta Tepelima mengenai Ahmadiyah ditampung oleh mubaligh “Ahmadiyah yang Ahli” itu, sambil tersenyum ia menjawab dengan kalimat, “Jika ingin bertanya mengenai Ahmadiyah, maka bertanyalah kepada Ahmadiyah yang ahli, bukan yang ahli Ahmadiyah. Begitupun dengan yang lainnya,” ucapannya, sangat singkat tapi begitu mengena.

Jawaban yang ia sampaikan dapat membuat saya tertawa dan berpikir, “Lah iya yah, selama ini saya lebih sering bertanya dan mendapatkan informasi mengenai Ahmadiyah dari orang yang ‘Ahli Ahmadiyah’ bukan dari ‘Ahmadiyah yang Ahli’, pantas saja tembok prasangka itu masih terbangun.”

Penggerak Komunitas GUSDURian Pontianak, Kalimantan Barat.