Apa Ilmu yang Mendasari Gus Dur Saat Menjadi Pemimpin?

Menjawab pertanyaan ini bukan agak susah, tetapi susah betulan. Betul-betul susah. Dan karena itu, dalam catatan pendek ini, saya tidak berpretensi menjawab pertanyaan itu, apalagi dengan benar. Bahkan mungkin saya tidak akan menjawabnya, bukan kapasitas saya. 

Saya hanya berikhtiar meraba-raba, membayangkan Gus Dur saat memimpin, terutama saat 15 tahun menjadi Ketua Umum PBNU dan 20 Oktober 1999-23 Juli 2001 menjadi Presiden Republik ke-4. Lalu apa tujuan catatan ini? Tujuannya hanya tiga. 

Pertama, mengingatkan kita semua, bahwa menjadi pemimpin, baik memimpin diri sendiri, memimpin keluarga, memimpin komunitas, memimpin bisnis rumah makan, memimpin persatuan sepak bola, memimpin lembaga pendidikan, memimpin tempat ibadah, memimpin organisasi, memimpin partai politik, hingga memimpin sebuah negara, haruslah menggunakan ilmu, bahwa pemimpin itu harus berilmu, punya ilmu. Apa ilmunya? Terserah masing-masing. Setiap orang atau pemimpin memiliki keyakinan masing-masing, latar belakang masing-masing, pengalaman masing-masing. 

Apa pentingnya ilmu? Kita semua bisa menjawab pertanyaan ini. Tetapi izinkan saya menyebut satu saja sifat ilmu, yaitu bahwa ilmu itu sesuatu yang hidup, berkembang, bergerak, tidak mandeg, tidak henti. Sifat ilmu yang satu ini menurunkan sifat salah satunya adalah Pembelajar.

Ya, benar. Seorang pemimpin harus punya sifat atau jiwa pembelajar, agar ilmunya tumbuh, perkembang, selalu ada pembaruan, tidak bengong seperti patung-patung di museum, pinggir jalan, atau alun-alun.

Kedua, sekecil apa pun wilayah pemimpin, harus terus diingat urgensinya, tidak boleh ada yang meremehkan. Presiden tidak boleh meremehkan seorang camat, ketua umum organisasi tidak boleh meremehkan kepala keluarga. Sebab, kepemimpinan adalah amanat peradaban. “Innii ja’ilun fil ardli khalifah…” Kita semua dilahirkan di bumi diamanati sebagai pemimpin, di mana pun.

Ketiga, yang paling utama, atau sari, atau inti dari diri Gus Dur atau Abdurrahman ad-Dakhil bin Abdul Wahid Hasyim bin Muhammad Hasyim bin Asy’ri bin Sayid Abu Sarwan bin Sayid Abdul Wahid bin Sayid Abdul Halim, adalah kepemimpinan. Kepemimpinan inilah warisan Gus Dur terbesar untuk generasi penerusnya. Apakah hal-hal lain dari dia tidak penting? 

Penting. Dia menggemari sepak bola itu penting, menyukai wayang itu penting, punya selera musik itu penting, mahir melontar humor itu penting, ceritanya tentang kuburan itu penting, rajin bersilaturahim itu penting. Ini semua bukan hanya aktivitas atau sekedar hobi atau hobi yang menyehatkan, tetapi Gus Dur mampu memungut hikmat dari hobi-hobi atau hibburan itu. Tentang sepak bola misalnya, Gus Dur bisa bicara kehormatan, kepimpinan, dan kondisi sosial. 

“Gus Dur menulis topik sepak bola, sependek pengetahuan saya, dimulai sejak tahun 1978. Saat itu Gus Dur menulis untuk harian Kompas dengan judul Si Awam dan Piala Dunia. Artikel-artikel lepas Gus Dur tentang sepak bola dicirikan dengan semangatnya untuk mengaitkan pada kondisi sosial (eskapisme, land reform, pembangunan, dan lain-lain),” Heru Prasetia menulis pengantar untuk artikel Gus Dur yang terbit di Kompas, 1994, yang dimuat kembali di Gusdurian.net. Tentang bola ini, ada buku kecil berjudul Gus Dur dan Sepak Bola (Pustaka Ciganjur, 2013). Buku berisi 15 artikel ini dikumpulkan oleh Mustiko Dwipoyono, santri Gus Dur di Pesantren Ciganjur.

Kembali pada pertanyaan di atas, apa ilmu yang mendasari Gus Dur menjadi pemimpin. Terlalu sederhana bila kita menyimpulkan Gus Dur dengan satu dua ilmu. Gus Dur adalah manusia kosmopolit dengan pergaulan tanpa batas, bacaan luas, dan membuka diri pada nilai-nilai, bahkan ideologi-ideologi. 

Dalam catatan kemarin, saya singgung bahwa Gus Dur sering menulis seorang tokoh agama atau tokoh pergerakan karena mengaguminya, dapat dijadikan teladan. Gus Dur mengagumi Gandhi karena gerakan anti-kekerasannya. Gus Dur mengagumi Mandela karena berhasil merekonsiliasi Afrika Selatan. Gus Dur mengagumi Martin Luther Jr. karena keberaniannya menentang rasisme di Amerika Serikat, dan lain sebagainya. Gus Dur tidak bisa diskat dengan satu dua model kepemimpinan, bahkan ideologi tertentu.

Meskipun demikian, ada satu hal yang selama ini dijadikan oleh Gus Dur sebagai landasan, pijakan, dan fondasi pokok dalam kepemimpinannya. Gandhi India, Luther Amerika, Mandela Afrika Selatan, Syekh Yusuf Makassar, Ratu Kalinyamat Jepara, Cut Nyak Dien Aceh, Jaka Tingkir, Bung Karno, Mbah Hasyim, Kiai Wahid, seorang syekh pemimpin tarekat, dan lainnya, yang sering disebut Gus Dur, adalah penguat saja, contoh mutakhir bahwa seorang pemimpin jika punya cita-cita, punya ilmu, punya kekuatan, punya daya juang akan ada hasilnya, cepat atau lambat.

Nah, saya menangkap, pijakan atau landasan pokok Gus Dur saat menjadi pemimpin adalah ilmu yang yang dari kecil dia dapatkan, dia rasakan, dia alami, dia pelajari. Ilmu apa?

Keislaman. Keislaman adalah perpaduan ilmu dan amal. Pengetahuan dan perilaku dalam satu tarikan nafas. Itulah fondasi kepemimpinan Gus Dur. Dan, ilmu keislaman itu didapatkan dari pesantren, dari para kiai. Sejak masa kanak-kanak, remaja, dewasa, Gus Dur tidak lepas dari dunia ini, dunia pesantren, dunia ilmu keislaman.

Gus Dur tidak saja sangat mahir menafsirkan ayat Al-Qur’an, mendalami sastra Arab, memaknai dawuh-dawuh sufistik, mengolah kaidah fikih untuk langkah-langkah kepemimpinannya, tetapi juga menyerap dan menjiwai teladan dari para gurunya itu. Sifat humanisme Gus Dur diserap dari Kiai Abdul Fattah Tambakberas, visinya yang jauh ke depan diambil dari ayahnya sendiri Kiai Abdul Wahid Hasyim Tebuireng, perilaku sabarnya dirasakan dari ibundanya, keberaniannya diilhami oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, keteguhannya diturunkan dari Kiai Bisri Sansyuri Denanyar, kearifannya ditimba dari Kiai Chudlori Tegalrejo, dan sifat mengayominya dipelajari dari Kiai Ali Maksum Krapayak.

Puncak ilmunya, adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Berikut ini pernyataan Gus Dur di depan umatnya, tentang kepemimpinan, saya kutip dari ceramahnya di Gresik Jawa Timur, dalam rangka Maulid Nabi, 2003/1424:

“Melihat Maulid Nabi Saw bisa dari sudut tugas seorang pemimpin. Nah, begitu. Nabi pernah jadi pemimpin, umatnya pun banyak yang jadi pemimpin. Itu, (umatnya yang jadi pemimpin) tugasnya sama dengan tugas Nabi, yaitu memikirkan kepentingan orang banyak. Pemimpin itu syaratnya harus berani berkorban untuk kepentingan orang banyak.”

2 Desember 2022,

Tambun-Ciganjur

(Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id)

Founder alif.id. Belajar di sejumlah pesantren serta aktif di Rabithah Ma'ahid Islamiyah PBNU.