Gus Dur, Gus Yahya, dan Fikih Siyasah Peradaban: ”Beyond” Moderasi

Fikih siyasah peradaban telah memancing kembali suatu pemikiran teologi yang mendasar dalam Islam, yaitu posisi manusia setara di depan manusia lain dan hukum, bukan hanya di depan Tuhan.
_____

Sejak meninggalnya Gus Dur di akhir Desember 13 tahun yang lalu (30 Desember 2009), tahun-tahun berikutnya, sebulan sebelum dan sesudah Desember selalu ramai dengan haul Gus Dur secara berkesinambungan oleh berbagai komunitas, bukan hanya NU dan pesantren, melainkan juga kelompok agama-agama, kepercayaan lokal, kesenian, dan lainnya.

Gus Dur memang memberikan inspirasi yang sangat dalam bagi para pemeluk agama-agama dan kepercayaan dalam membangun dialog dan harmoni. Ramainya haul Gus Dur selama tiga bulan tersebut tidak pelak menandai rindu masyarakat akan dialog dan harmoni tersebut yang lengket dengan ketokohan Gus Dur.

Agar kita tidak hanya mengingat dan berharap melainkan mengembangkan dan mempertajam lebih jauh kiprah yang telah dilakukan Gus Dur, ada baiknya kita melihat lebih dalam apa yang dilakukan oleh PBNU di bawah KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya saat ini. Gus Yahya menyatakan sebagai pelanjut Gus Dur, termasuk dalam memperkokoh kesetaraan manusia dan warga negara yang berbasis pada agama atau teologi Islam.

Gus Dur telah membangun fondasi keislaman bagi nasionalisme, kesetaraan manusia, dan kewarganegaraan Indonesia meskipun harus berhadapan dengan rezim keyakinan dan kekuasaan yang kukuh yang ditopang oleh basis teologi Islam yang mapan. Hingga kini sebagian, jika tidak sebagian besar, imajinasi umat Islam yang tertanam adalah suatu ”kawin paksa” antara negara-bangsa yang menuntut kesetaraan mutlak di antara warga negara dengan parokialisme-keumatan yang mengedepankan identitas keagamaan tertentu. Sebagian, jika tidak sebagian besar, negara-negara di Asia dan Afrika yang memiliki basis kuat agama masih melandaskan pada parokialisme agama tertentu.

Indonesia mungkin pengecualian, setidaknya secara konstitusional dan formal. Negara yang tidak mengidentikkan diri dengan agama dan etnis mayoritas ataupun minoritas tertentu dalam konstitusi dan filosofi Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Masalahnya, apakah hal itu sudah menjadi kesadaran bersama bagi seluruh warga bangsa dan kelompok agama-agama serta diimplementasikan dalam kenyataan dan kebijakan publik pemerintah?

Pilihan politik

Kata moderasi, harmoni, toleransi, dan wasatiyah dalam perspektif ini sesungguhnya cara menghindari tabrakan secara langsung dalam ”kawin paksa” tersebut untuk tidak menjadi aktual namun tidak menyelesaikannya. Kata-kata tersebut juga mengandung pemakluman dan basa-basi terhadap ide-ide dasar akan diskriminasi dan kokohnya identitas agama dalam politik bagi kelompok tertentu. Kata-kata itu, bagi Gus Yahya, misalnya, belum menunjukkan pilihan politik yang jelas atas paham agama tentang kesetaraan mutlak bagi kemanusiaan dan kewarganegaraan.

Pilihan politik dalam beragama itulah tampaknya yang hendak disasar oleh Gus Yahya dalam kiprah lebih lanjut tentang hubungan dan dialog antaragama. Dengan kata lain, kemanusiaan dan kewarganegaraan harus menjadi dasar bagi pengembangan ide-ide keagamaan Islam kini dan ke depan, atau beliau menamakannya, fikih siyasah peradaban.

Kemanusiaan dan kewarganegaraan harus menjadi dasar bagi pengembangan ide-ide keagamaan Islam kini dan ke depan, atau beliau menamakannya, fikih siyasah peradaban.

Dengan demikian, fikih siyasah peradaban hendak menuntaskan konsep mendasar Islam tentang kemanusiaan dan kewarganegaraan tersebut, lepas dari pengembangan metodologi kajian dan praktik Islam apa pun, kemanusian dan kewarganegaraan harus menjadi landasan utama. Dengan kata lain, seluruh pergulatan dan proses pemikiran dan praktik fikih harus dilandaskan kepada hamparan kenyataan akan tuntutan kesetaraan tersebut.

Dari sudut tertentu yang paling mendasar, Gus Yahya hendak membawa kembali gerbong fikih sebagai pengetahuan (knowledge) yang luas ke dalam belantara keilmuan mutakhir serta benturan kekinian dalam situasi nyata tentang pergolakan dan menguatnya sentimen keagamaan, polarisasi sosial, serta identitas keagamaan yang sering menjadi senjata politik dalam konflik dan perang. Kemudian, menjadikannya jalan keluar.

R20 dan muktamar fikih peradaban

Lebih dari itu, dari kegiatan Forum Agama G20 (R20) yang diinisiasi oleh PBNU bekerja sama dengan Rabithah Alam Islamy, sebuah pertemuan para agamawan secara global di awal November lalu, telah didorong terjadinya semacam konsensus global agama-agama tentang penghapusan doktrin-doktrin setiap agama yang selama ini menjadi acuan dan landasan bagi maraknya sentimen agama, polarisasi sosial, dan menguatnya identitas politik yang berlebihan. Selanjutnya di puncak acara peringatan satu abad NU di awal Februari tahun depan hendak dikukuhkan melalui pertemuan yang juga bersifat internasional antarpara ulama Islam, yaitu muktamar fikih peradaban.

Sebagai bagian dari peta jalan (roadmap) perubahan tersebut, muktamar fikih peradaban dipersiapkan secara cukup matang didahului dengan penyelenggaraan berbagai halaqoh (seminar) di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023 diselenggarakan sebanyak 250 kali dengan 150-200 peserta setiap halaqoh dari Sabang hingga Merauke. Ada empat topik yang dibahas dalam halaqoh tersebut, yaitu fikih siyasah negara-bangsa, fikih kewarganegaraan, fikih minoritas, dan fikih tata dunia baru.

Muktamar fikih peradaban akan menjadi ajang terbangunnya semacam konsensus baru bagi masyarakat Muslim dunia tentang suatu tata dunia baru yang berintikan kesetaraan mutlak bagi manusia dan warga negara yang didasarkan kepada teologi atau fikih Islam. Meskipun masih harus dikonseptualisasikan lebih lanjut tentang dua konsensus tersebut, jika dilihat dari visi dan motivasi KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, penggagas kedua hajatan global tersebut, akan berujung kepada penghapusan dan menghentikan penggunaan doktrin-doktrin utama agama-agama (bukan hanya Islam) yang selama ini menjadi basis bagi terbangunnya identitas politik dan kekuasaan yang mengundang ketegangan dan perang. Sisi lain dari tata dunia baru, dengan kata lain, adalah menjadikan agama sebagai landasan bagi kesetaraan manusia dan warga negara global.

Kenyataan ini sekaligus menjawab kritik dari para ilmuwan dan filosof modern terhadap Islam terutama Aswaja yang dianggap telah berhenti pemikiran teologi pasca Imam Asy’ari sebagai penengah antara Muktazilah yang berbasis akal dan Jabariyah yang berbasis naql atau dalil teks suci. Fikih siyasah peradaban telah memancing kembali suatu pemikiran teologi yang mendasar dalam Islam, yaitu posisi manusia setara di depan manusia lain dan hukum, bukan hanya di depan Tuhan. Suatu pencarian baru konsep dan praktik keadilan global serta sumbangan Islam atasnya. Tidak mudah bukan?

(Artikel ini pertama kali dimuat di Harian Kompas, 17 Desember 2022)

Senior Advisor Jaringan GUSDURian. Dekan Fakultas Islam Nusantara, UNUSIA, Jakarta.