Sepuluh tahun yang lalu, dalam penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta, sekitar pukul 18.30 WIB lebih, saya merasakan kedamaian dan ketenangan yang luar biasa. Saat itu saya tengah membaca Surah ar-Ra’du, memohon diberikan keteguhan dan keikhlasan hati untuk menerima yang terbaik bagi Bapak. Saya tertegun dalam rasa damai yang melimpah ruah di rongga dada menyebar ke sekujur tubuh serasa Lailatul Qadar. Tidak ada setitik pun emosi negatif. Semacam pengalaman trance, sisi psikolog saya berkata.
Beberapa saat kemudian saya tahu bahwa bersamaan dengan hadirnya rasa damai itu, Bapak kembali pulang ke Haribaan-Nya. Jauh hari setelahnya, saya memaknai detik-detik itu sebagai anugerah-Nya bagi saya: sebuah momen melepas dan menerima perpisahan yang manis dengan lelaki yang paling saya cintai dalam kehidupan saya, tak terbatasi oleh jarak dan ketubuhan.
Sesampai di rumah Ciganjur, saya hanya sempat menangis sebentar saja memeluk ibu dan adik-adik saya. Setelahnya hanya tekad baja untuk memberikan pelayanan terbaik terakhir sebagai seorang anak kepada ayahnya. Menyiapkan segalanya untuk menyucikan Bapak, membaringkannya di tempat tidur yang saya pilihkan khusus untuk beliau beberapa tahun sebelumnya, sebelum merapikan pakaian terakhirnya lalu diselimuti selembar kain batik Ibu. Berkoordinasi dengan paspampres, mengatur penerbangan, sampai berdebat dengan protokol negara.
Protokol meminta rumah disterilkan saat serah terima jenazah dari keluarga kepada Negara sebagai bagian dari Upacara Pemakaman Negara. Saya menolak dengan keras, “Bapak bukan hanya presiden, beliau kiai. Tahlil dari para peziarah lebih penting untuk mengiringi perjalanan beliau ke makam, daripada upacara negara. Kalau Negara tidak bisa menyesuaikan, kami pilih pemakaman tradisi kiai.” Barangkali hanya ini serah terima formal jenazah kepada Negara dilakukan dengan pihak keluarga tak beralas kaki.
Momen keharuan menyeruak dalam perjalanan dari Rumah Ciganjur ke bandara Halim, saat saya menyaksikan orang-orang berdiri di pinggir jalan, beberapa di antara mereka dengan sikap menghormat. Menggenapi haru atas doa dari berbagai jenis dan kelompok warga bangsa sejak detik wafatnya. Terlintas di benak, beginilah pemimpin yang dicintai, bukan ditakuti. Cinta sejati tidak bisa dipalsukan dan direkayasa, ia akan menampakkan diri sejatinya dalam tindakan murni tak berimbalan.
Begitu pun di Tebuireng, Jombang. Saya tak sempat menangis, kecuali saat menurunkan jenazah Bapak ke liang lahat. Siang itu, rasanya saya lebih sering memerintah sana-sini demi pemakaman yang terbaik, daripada merasakan kepedihan di hati. Berbagai kejadian terserap tanpa tercerna: mengatur komandan upacara (belakangan baru tahu bila itu panglima TNI), mbah Muslim yang menyabetkan sorbannya kepada tentara yang terlalu dekat ke liang lahat, surban kiai yang kami jadikan pengikat kain kafan, orang-orang yang memanjat pohon dan atap pondok pesantren sambil menangis demi bisa menyaksikan pemakaman, pelukan Gus Mus kepada kami, menerima bendera Merah Putih dari tangan Ibu (belakangan kami sepakati kain batik dan bendera ini diberikan kepada Inayah, yang hari itu harus berulangtahun dalam duka nestapa).
Momen teremosional bagi saya justru saat selesai upacara pemakaman resmi dan rombongan Presiden SBY berbalik meninggalkan area makam, lalu mendadak hujan bunga. Kiranya, para peziarah yang tak yakin dapat mendekat lebih memilih untuk melemparkan bunga yang mereka pegang ke arah gundukan basah tempat jasad Gus Dur baru saja dimakamkan. Bunga yang deras berjatuhan bersama derasnya airmata laki-laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya mengiringi lantunan kalimat Tauhid menjadi bukti cinta yang membahana. Syahdu dalam kepedihan.
Baru hari-hari setelahnya, air mata yang tertahan itu meleleh tak terbendung sampai ratusan hari. Apalagi setelah mencoba menelusuri jejak Gus Dur di berbagai ruang. Setiap saat menemukan hal-hal baru, memberi makna atas sosok Gus Dur seutuhnya. Mendengar tentang Gus Dur dari mereka yang bersentuhan dengannya membuat saya semakin memahami betapa Gus Dur adalah milik semua orang yang merasa memilikinya. Sebagaimana digambarkan Kiai Zawawi Imron: kami yang tak punya alasan untuk meragukan cintamu kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan…
Sejak hari pemakaman itu, kehidupan saya berubah 180 derajat. Segala hal yang sebelumnya saya hindari, sekarang menjadi keseharian. Keinginan hidup dalam privasi setelah trauma periode istana, harus ditinggalkan. Keinginan berinvestasi finansial untuk menyamankan gaya hidup keluarga kecil, diganti dengan berinvestasi membangun gerakan murid Gus Dur. Keinginan untuk tenang memikirkan diri dan keluarga kecil sendiri harus berubah menjadi ketidaktenangan memikirkan nasib kelompok-kelompok lemah yang dulu dibela Gus Dur.
Tidak pernah terbayangkan harus menjadi Simbok gerakan ribuan orang di ratusan kota dalam Jaringan GUSDURian, mengisi panggung dan pertemuan dari tingkat desa sampai forum internasional, dan bahkan harus muncul di media massa (sesuatu yang tidak pernah membuat saya merasa nyaman), serta yang paling berat: bergaul dengan para politisi dan partai politik. Semuanya saya jalani sebagai harga yang harus saya bayar untuk meneguhkan cinta saya kepada Bapak, dengan cara melanjutkan apa yang menjadi perjuangannya.
Dan saya tidak sendiri. Selain Ibu, suami, serta adik-adik saya, mereka yang mencintai Gus Dur dan mencintai Indonesia dari seluruh tanah air menyatukan tekad untuk merawat selendang kebangsaan yang telah diwariskan Gus Dur kepada kita. Selendang yang akhir-akhir ini dikoyak oleh hal-hal yang dulu ditentang oleh Gus Dur: sentimen primordial, pendangkalan pemahaman keagamaan, politik tuna etika, demokrasi tanpa falsafah, dan modernitas yang tak berporos martabat kemanusiaan. Semua yang mencintainya bahu-membahu untuk menjulurkan selendang kebangsaan ke seluruh penjuru negeri, mengayomi semua manusia yang direngkuhnya.
Pada akhirnya saya menyadari, warisan terbesar Gus Dur adalah CINTA. Dimulai dari cintanya kepada setiap manusia Indonesia, yang menjadi daya dorong luar biasa untuk memperjuangkan yang terbaik bagi semua – terutama mereka yang terabaikan dan terlemahkan. Diakhiri dengan cinta kita kepadanya, yang menjadi daya dorong luar biasa untuk meneruskan perjuangannya untuk mewujudkan Indonesia rumah bersama. Kekuatan Cinta.
…cintamu akan terus merayap ke seluruh penjuru angin dan tak mengenal kata usai, Gus Dur…