Bertemu secara langsung dengan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan pengalaman yang istimewa. Lebih-lebih, saat bertemu dengan Gus Dur itu sekaligus merasakan pengalaman spiritual.
Pengalaman spiritual itu bersifat privat. Sehingga bentuknya sangat beragam antara satu orang dengan orang lainnya. Meskipun, terkadang ada kemungkinan adanya kesamaan-kesamaan. Perihal merespons pengalaman spiritual itu, sering kali akan dikaitkan dengan kewalian sosok Gus Dur.
Bagaimana ketika pengalaman spiritual itu dialami oleh seseorang yang berbeda agama? Bagaimana bentuknya?
Berikut kisah Ketua Umum Penghubung Pemuda Bethel Injil Sepenuh (PPBIS) Indonesia, Pendeta Ezra Rustriadi Widarmastyo, ketika bertemu sekaligus merasakan pengalaman spiritual dengan Gus Dur.
Pengalaman itu ia dapatkan sewaktu menjadi mahasiswa yang mengikuti wisuda Strata 1 (S1) di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang. Sekitar tahun 2004, setelah Gus Dur dilengserkan sebagai presiden.
“Prosesi wisuda mengalami kemoloran. Suasana di gedung menjadi sangat berisik dan panas,” imbuhnya saat makam malam usai acara Perayaan Natal Remaja dan Pemuda Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (7/1/2023).
Berselang beberapa menit, tiba-tiba saja, ia merasakan dingin di leher belakang hingga menjalar ke seluruh tubuh. Suasana gedung yang panas itu menjadi sejuk. Suara ramai dari para peserta tiba-tiba hilang entah ke mana. Begitu tenang dan hening.
“Tiba-tiba dingin leher saya. Suasana jadi hening. Bersamaan saya menyadari Gus Dur memasuki ruangan wisuda dari pintu belakang,” ujarnya sembari memegang leher belakangnya.
Kisah itu menegaskan bahwa dimensi spiritual bersifat fitrah kemanusiaan. Tidak tersekat oleh realitas keberagaman agama dan keyakinan umat manusia. Siapa pun, seorang manusia, ketika memiliki keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki beragam penyebutan, dengan mendalam, akan dapat menemukan pengalaman spiritual.
Itulah mengapa, misalnya, Reverendus Dominus (R.D) Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun, menyatakan Gus Dur lebih Katolik dari dirinya, namun belum dibaptis. Kemudian Gus Dur menjawab, Romo Mangun lebih Islam dari dirinya, namun tidak hafal syahadat.
Menyadari itu, setiap manusia adalah mulia. Sehingga tidak diajarkan oleh agama manapun untuk saling menodai kemanusiaan. Sebagaimana pesan Gus Dur, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”.