Madura dan Idiomatiknya yang Setara

Setiap kali saya memperkenalkan diri kepada orang lain sebagai orang Madura, rata-rata mereka tidak percaya. Katanya saya dianggap tidak representatif menjadi orang Madura tulen. Saya cenderung dianggap kebalikannya, yang lembut, aksen bicaranya tidak medok, dan warna kulit yang cerah. Sedangkan yang mereka ketahui tentang orang Madura adalah rata-rata punya kebiasaan bertutur kata kasar, perawakan seram, dan kulit yang gelap atau buluk. Padahal tidak semua orang Madura memiliki konotasi negatif tersebut, dan terkadang sifat-sifat negatif itu pun juga muncul pada suku dan ras yang lainnya.

Reaksi teman-teman pun menjadi berbeda setelah tahu bahwa saya orang Madura. Misalnya ketika sedang berkumpul bercanda bersama, tidak jarang ada yang nyeletuk, “Hati-hati loh ya jangan menyinggung wong Madura ini, nanti carok tak iye”, atau sebuah kelakar, “Gak bawa celurit kan? Takut tiba-tiba ngajak carok loh”, atau menimpali dengan gaya bicara Kadir-Doyok, “Rok-carok tak ye”, dan lain sebagainya. Seakan-akan yang ada dalam benak mereka bahwa orang Madura begitu mentradisikan budaya carok yang menyeramkan itu. Padahal saya sebagai orang Madura sendiri, setelah 30-an tahun hidup di Madura, tidak pernah menyaksikan kejadian carok secara langsung, hanya pernah mendengar dari cerita ke cerita orang lain. Dan mayoritas penyebabnya karena urusan tanah warisan ataupun persoalan perempuan.

Dua faktor penyebab ini memang pernah saya dapatkan informasinya ketika membaca buku karya A. Latief Wiyata yang berjudul Carok. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa harga diri orang Madura terletak pada tanah warisan nenek moyang dan kehormatan perempuan (istri). Jadi, carok hanyalah sebagai bentuk pembelaan diri apabila ada yang mengganggu kehormatannya atau melecehkan harga dirinya tersebut. Sehingga orang Madura akan bersedia melakukan apa saja, termasuk carok, jika mereka beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar walaupun berisiko tinggi.

Orang Madura rela mengorbankan nyawa, harta, benda, dan segala yang dimiliki asalkan mereka berada di jalan yang benar dan berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat. Hemat saya, kelakar Elo senggol gue bacok, tidak hanya berlaku bagi orang Madura, semua orang pun akan melakukan hal yang sama apabila kehormatannya, baik perempuannya ataupun peninggalan orang tuanya, dilecehkan dan diciderai. 

Sebenarnya jika ingin melihat citra orang Madura yang sesungguhnya bisa dilihat salah satunya dengan ungkapan-ungkapan idiomatik yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa saya hafal idiom-idiom tersebut karena sering dilontarkan oleh nenek buyut dulu sewaktu saya masih kecil. Misalnya “talpak tana jhung mabe’en” yang diungkapkan ketika menasehati saya untuk bersikap rendah hati kepada siapa pun orang yang ditemui, baik orang yang dikenal maupun orang asing sekalipun. Idiom tersebut setara dengan ungkapan merendahlah serendah-rendahnya hingga kamu tidak bisa direndahkan.

Belakangan, saya pun banyak mengetahui idiom-idiom serupa ketika menginjak sekolah menengah pertama saat materi Bahasa Daerah. Di antaranya, seperti rampak naung beringin Korong (pohon beringin yang rindang bisa menjadi tempat berteduh/berlindung). Artinya, masyarakat Madura sangat menghormati kebersamaan, hidup bersama dalam susah maupun senang. Ketika berada dalam satu naungan, mereka beranggapan bahwa mereka setara dan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, mereka seperti saudara, sehingga mereka mengedepankan solidaritas dan kepentingan bersama agar tercipta ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Begitu pula dengan ungkapan mellak matana gerreng (kalau melihat seseorang yang butuh pertolongan, maka jangan pura-pura tidak melihat). Hal ini menyiratkan bahwa orang Madura mempunyai kepekaan sosial yang cukup tinggi dalam membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongan. Tidak memandang bahwa orang tersebut dari suku, ras dan keturunan mana pun, maka bagi masyarakat Madura orang asing pun yang membutuhkan pertolongan akan dibantu layaknya saudara sendiri.  

Karakter lainnya adalah sikap egaliter yang bisa dilihat dari sejarah kemaritiman Nusantara, yang mana pulau Madura dikelilingi oleh lautan dan memiliki hampir lima puluh pulau-pulau kecil. Ada pelabuhan legendaris yang dulunya menjadi pusat interaksi masyarakat Madura dengan pihak luar, baik dalam perdagangan maupun yang lainnya, yang dilakukan dengan sangat baik dan terbuka. Bahkan menurut cerita ibu saya, dulu mbah buyut pernah akrab dengan salah satu pendatang dari Cina. Mereka terlibat dalam bisnis bersama, namun sayang sekali terkait jenis bisnis dan yang lainnya tidak diceritakan secara detail. Hanya saja yang melekat dalam cerita tersebut adalah perlakuan mbah buyut kepada pendatang Cina, begitu pun sebaliknya yang saling respect satu sama lain.

Dari sinilah dapat diketahui bahwa terjadinya interaksi para pelaut dalam pelayaran di pelabuhan tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat open minded. Dengan segala kepentingan, kebutuhan, dan tujuan yang sama mereka beranggapan bahwa mereka setara, tidak membedakan suku, ras, dan keturunan mana pun. Mereka cenderung menerima (accepting) segala sesuatu yang didapat dari hasil interaksinya sehari-hari dan toleran terhadap hal-hal yang dinilainya cukup baik dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup bersama. Idiom yang menggambarkan tentang hal ini adalah “namen cabbi, molong cabbi”, yang artinya setara dengan siapa yang menanam dialah yang menuai hasilnya. Masyarakat Madura meyakini bahwa seseorang yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan serupa. Begitu pun sebaliknya, seseorang yang berbuat jahat akan terhina. 

Tentu saja ungkapan idiomatik itu bukan sekedar idiom yang menjadi bahan hafalan remaja-remaja Madura pada saat pelajaran Bahasa Daerah. Saya sebagai orang Madura asli menyaksikannya sendiri setiap hari bagaimana masyarakat Madura berinteraksi dan memperlakukan orang lain, bahkan orang baru atau asing sekalipun. Pernah suatu ketika saya menyambangi dua anak yang saya bawa dari Jambi untuk tinggal di rumah dan bersekolah di pesantren dekat rumah. Mereka berdua bercerita bahwa ada beberapa orang tua santri yang kadang memberi uang jajan, pakaian, makanan.

Teman-teman sepondoknya juga sangat baik, padahal mereka berbeda daerah dan suku. Bahkan para tetangga, ketika keduanya liburan, bisa dengan mudah berbaur dan bercerita panjang lebar dan tak segan mengajak mereka untuk main ke rumahnya dan menawari banyak hal, entah makanan, dan yang lainnya. Kepada orang baru, masyarakat Madura bisa se-welcome itu, tanpa berprasangka buruk atau menilai hal-hal negatif kepadanya.

Jadi, jika sampai saat ini masih ada orang yang beranggapan bahwa orang Madura kasar dan suka carok, datanglah ke Madura, bertamulah dan berinteraksilah langsung dengan mereka. Dijamin, yang kalian dapatkan justru perut kenyang karena setiap rumah akan menawarkan makan bukan cacian!

Koordinator Wilayah GUSDURian Jawa Timur.