Belajar Pada Gus Dur: Sosok Multidimensi Pejuang Keadilan

Berbicara Gus Dur, sungguh abstrak untuk digambarkan. Karena bagi saya, semuanya ada pada Gus Dur. Mulai dari tokoh politik, tokoh toleransi, pluralis, santri, humoris, dll. Jika kita menyebut Gus Dur sebagai tokoh politik, Gus Dur pernah menjadi presiden. Jika menyebut Gus Dur sebagai santri, Gus Dur adalah cucu dari tokoh pendiri NU. Jika bicara Gus Dur sebagai seorang pluralis, Gus Dur bahkan banyak membela kaum minoritas di negeri ini. Gus Dur sangat sulit digambarkan. Namun, pemikirannya sangat bermanfaat untuk kita ikuti dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur kian menjadi sebuah inspirasi bagi banyak kalangan. Terutama kaum muda yang banyak mengkritisi soal kemanusiaan. Gus Dur adalah tokoh yang sangat memanusiakan manusia. Baginya, “memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya.”

Jiwa kemanusiaan yang diajarkan Gus Dur sangat relevan untuk diikuti oleh kita pada zaman sekarang. Gus Dur tidak pernah melihat seseorang melalui latar belakangnya. Siapa pun dia, dari mana dia berasal, bahkan apa pun agamanya, harus tetap diperlakukan dengan baik. Saya ambil contoh, saat Gus Dur menjadi presiden, Gus Dur sangat membela kelompok etnis Tionghoa. Bahkan kebudayaan Tionghoa pun diakui sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Sehingga, tidak ada lagi dikotomi di kalangan Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era Soeharto. Saat itu, tidak ada lagi sekat antara pribumi dengan nonpribumi.

Dalam persoalan beragama, Gus Dur sangat bijak dalam bersikap. Gus Dur memahami Islam dengan komprehensif. Ia mencontohkan agar kita tidak menuhankan agama. Sehingga, kita tidak serta merta menganggap agama kitalah yang paling benar dan agama lain itu salah. Ia bahkan pernah mengatakan bahwa “Tuhan tidak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.” Mari berpikir. Apa yang dikatakan Gus Dur itu memang benar adanya.

Kita sering kali lupa menempatkan siapa yang harus kita bela. Saya ambil salah satu contoh kasus yang pernah ramai di tahun 2018 lalu. Yaitu tentang seorang ibu bernama Meiliana di Medan yang divonis 18 bulan penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Medan karena dianggap telah menistakan sebuah agama di Indonesia dan melanggar pasal 156 KUHP. Pasal ini tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Mengutip dari salah satu situs berita nasional, kasus ibu Meiliana bermula saat dirinya menyataan keberatan terhadap pengeras suara azan dari salah satu masjid. Hingga akhirnya, ia ditahan dan dijatuhkan vonis hukuman penjara. Di sisi lain, kerusuhan bernuansa SARA pun terjadi. Banyak massa yang mengamuk dengan membakar dan merusak sejumlah vihara dan klenteng serta sejumlah kendaraan di kota itu. Sungguh ironis.

Mengapa saya katakan demikian? Pasalnya, azan bukanlah ashlun min ushuluddin, bukan pokok ajaran agama. Sehingga, jika keberatan terhadap suara azan, tidak bisa dijadikan sebagai dasar penodaan agama. Azan adalah seruan untuk panggilan salat. Meskipun bagian dari syiar Islam, tapi hukumnya sunnah. Bukan kewajiban. Sehingga, menurut saya, sangat keterlaluan jika sesuatu yang bukan kewajiban, menjadi alasan seseorang dianggap menistakan agama Islam. Apalagi, hingga menghancurkan tempat peribadatan agama lain. Seandainya Gus Dur masih hidup, saya yakin Gus Dur akan membela ibu Meiliana yang diperlakukan tidak adil.

Gus Dur juga banyak mengajarkan kita tentang toleransi dalam beragama. Bagi Gus Dur, merawat toleransi adalah proses penting untuk menciptakan hubungan antarumat beragama. Toleransi itu tidak hanya untuk menciptakan, tetapi juga merawat. Gus Dur sadar betul bahwa keharmonisan harus dijaga karena akan sulit untuk dipulihkan jika sudah rusak. Oleh karena itu, setiap bangsa, termasuk Indonesia, setidaknya perlu memiliki kemampuan pemulihan hubungan. Dalam sebuah tulisan Gus Dur di Harian Kompas edisi 14 Desember 1992 yang berjudul “Islam dan Hubungan Antarumat Beragama”, Gus Dur berkata bahwa “Kegagalan dalam hal ini (memulihkan hubungan) dapat mengakibatkan ujung traumatik yang mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa”. Mengerikan sekali.

Pandangan Gus Dur ini tentu tidak lepas dari realita masyarakat Indonesia yang beragam. Menurutnya, bangsa akan kukuh bila umat beragama yang berbeda dapat saling mengerti, bukan hanya sekadar saling menghormati. Akan tetapi, di Indonesia, menurut Gus Dur, keharmonisan akan rapuh sendiri bila adanya benturan kepentingan. Dia menggambarkan akan muncul sikap saling menyalahkan. Dengan demikian, saya rasa pemikiran Gus Dur harus menjadi rujukan masyarakat dalam menjaga keharmonisan antarumat beragama.

Kini, Gus Dur sudah tidak ada di tengah-tengah kita. Akan tetapi, pemikiran-pemikirannya masih dapat kita teladani. Menurut saya, jika masyarakat kita banyak belajar dari pemikiran-pemikiran Gus Dur, secara lambat-laun rasa intoleransi, mengkerdilkan satu golongan, mudah menghakimi, dan perlakuan tidak adil akan mudah diminimalisir. Bahkan bisa saja hilang. Kehidupan antarmanusia akan terasa aman, nyaman, damai, dan tentram. Tanpa adanya kekhawatiran akan saling bertenggang rasa satu sama lain. Semoga seiring berjalannya waktu, pemikiran Gus Dur dapat diteladani banyak orang. Karena Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan. Al Fatihah.

Koordinator Komunitas GUSDURian Karawang, Jawa Barat.