“Sejak kapan ada jilbab berlabel syar’i?” Pertanyaan itu mengganggu pikiran saya beberapa hari ini setelah mengunjungi salah satu toko jilbab di Yogyakarta. Ada banyak jilbab di toko tersebut. Awalnya, tentu saya tidak mengenali jenis-jenisnya. Justru dari toko tersebut saya memiliki pengetahuan tentang jenis jilbab syar’i.
Saya mengetahui ada jenis jilbab syar’i ketika salah satu pembeli bertanya perihal warna jilbab. Penjaganya menjawab, “Ada nih warna lain, cuma ini lebih lebar dan syar’i, kak”. Saya hanya diam mendengar jawaban itu. Beberapa saat kemudian saya melihat ada kemasan jilbab yang bertulisan Jilbab Syar’i. Saya lalu bertanya-tanya, apakah selain jilbab tersebut, tidak syar’i?
Tentu saya tidak bertanya kepada penjaganya, dia hanya bekerja dan melaksanakan tugas dari pemilik toko. Saya menduga, label syar’i dalam jilbab tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan ada narasi yang digerakkan dan disengaja. Narasi itu tentu memiliki dampak dalam kehidupan beragama. Bisa saja yang tidak memiliki label syar’i akan mendapatkan cemoohan atau komentar tidak baik.
Jilbab yang baik adalah yang sesuai dengan definisi mereka. Sedangkan jilbab yang tidak sesuai dengan standarnya mereka, akan direspons tidak baik. Salah satu komentar yang menyinggung soal jilbab saya temukan di akun Instagram Kabar Muhammadiyah ketika posting foto Mbak Alissa Wahid. Padahal, akun tersebut memuat konten tentang kolaborasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berdasarkan pernyataan dari Mbak Alissa. Tentu sama sekali tidak menyinggung perihal jilbab. Namun, beberapa komentar yang muncul menyinggung soal jilbab.
“Minimal cara jilbabnya diperbaiki, ya, bund, gak malu apa dah emak-emak gak bisa pakai jilbab yang baik dan benar,” begitulah salah satu komentarnya.
Respons lain yang juga menyinggung soal jilbab menyatakan seperti ini, “Kenapa sih tampilan kerudungnya kek gitu?”
Coba kalau kita mundur 50-an tahun yang lalu, pernyataan soal jilbab tersebut apakah relevan, ketika banyak perempuan menggunakan jilbab seperti Mbak Alissa?
Beberapa tahun belakangan saya baru menyadari cara ibu saya menggunakan jilbab. Foto ibu saya tersalip di pigura Nahdlatul Ulama yang terpasang di dinding rumah. Seingat saya, itu adalah foto tahun 2000-an. Foto dengan seragam muslimat berwarna hijau dengan jilbab seperti yang dipakai Mbak Alissa. Setelah saya cari di internet, jilbab semacam itu disebut jilbab selendang.
Masa kecil saya akrab melihat jilbab selendang yang dipakai oleh para perempuan di daerah saya. Ibu saya, dan kebanyakan perempuan di daerah saya tipe jilbabnya adalah jilbab selendang menjelang tahun 2000-an. Ketika bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMA), sering kali saya melihat nenek yang masih tetap memakai jilbab selendang ketika mengunjungi saya di pesantren. Nenek datang tiap hari Senin untuk mengaji sekaligus membawakan makanan titipan dari Ibu dengan mengenakan jilbab selendang yang selalu ia pakai.
Saya tidak ingat betul sejak kapan jilbab selendang jarang atau bahkan tidak lagi dipakai oleh ibu saya saat ini. Jilbab yang dipakai Ibu sesuai dengan perkembangan saat ini, walaupun saya melihatnya lebih simpel. Entah jenis apa, saya kurang begitu tahu. Berbeda dengan nenek, jilbab selendang tetap menjadi idolanya.
Saya semakin penasaran dengan perkembangan jenis-jenis jilbab saat ini. Saya pun mulai menelusuri jenis-jenis jilbab di internet. Ada enam situs yang saya kunjungi untuk mencari jenis-jenis jilbab. Di antara enam situs teratas pencairan Google, tidak ada yang menyebutkan jilbab selendang.
Tren Berpakaian dan Tren Beragama
Tren pakaian akan terus berkembang. Jenis pakaian bisa saja hanya mengikuti pasar atau jumlah permintaan konsumen. Ada juga jenis pakaian yang bertujuan untuk mengekspresikan cara beragama. Penafsiran agama menentukan cara orang dalam berpakaian.
Cara berpakaian terkadang merujuk dari cara memandang dan menafsirkan agama. Apabila dia menganggap orang atau kelompok di luar golongannya adalah kesalahan, dan patut dibenahi bisa jadi cara pandang yang digunakan adalah eksklusivisme beragama. Cara pandang seperti ini biasanya menganggap di luar dirinya adalah sesuatu yang kurang tepat, salah, dan tidak agamis.
Atas pandangan seperti itu, M. Syafi’i Anwar mendefinisikannya sebagai paradigma legal-eksklusif. Salah satu ciri pandangannya ditunjukkan dengan orientasi pada bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan. Orang yang menganut paradigma ini menurut M. Syafi’i Anwar akan mendorong munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom politik, kemasyarakatan, eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Mereka biasanya menekankan ideologisasi atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.
Pandangan tersebut ditopang atas anggapan bahwa agama dijadikan sebagai sistem hukum yang paling sempurna. Menurut Anwar, bagi mereka, agama tidak hanya dianggap sebagai agama, melainkan agama dijadikan sebagai ideologi universal dan sistem paling sempurna. Tidak heran apabila semua aspek kehidupan harus sesuai dengan agama, baik itu soal ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Tidak heran apabila ada pandangan yang mengomentari jilbab selendang sebagai sesuatu yang kurang tepat. Kesempurnaan agama dinilai dari keyakinan kelompoknya. Ia menegasikan bahwa ada keragaman cara berpakaian, cara mengekspresikan dalam beragama, banyak penafsiran terhadap agama.
Jangan sampai keyakinanmu dalam berpakaian justru menimbulkan diskriminasi terhadap orang lain. Menganggap orang lain yang tidak sesuai dengan cara berpakaianmu dianggap salah. Apa pun jenis jilbab ataupun pakaian lain yang digunakan, tidak boleh digunakan untuk menghakimi orang lain.
Kita memang perlu beragama. Namun, beragama yang menekankan substansi dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas sehari-hari. Apakah menonjolkan simbol agama tidak boleh? Tentu tidak ada masalah. Yang bermasalah adalah ketika menonjolkan simbol agama dalam kehidupan sehari-hari sembari merendahkan orang di luar golongannya. Kita memang butuh beragama secara ramah, bukan dengan marah.
Beragama bukan hanya sebatas penampilan, melainkan juga dalam pemikiran, perilaku, sikap, ataupun tindakan. Justru beragama secara kaffah harus diwujudkan dalam tindakan, perilaku, dan apa yang tampak dari dirimu. Kalau pandangan ini dipakai, maka agama selalu bisa menjadi etika sosial, bukan hanya sebatas simbol-simbol belaka. Tingkat spiritualitas tidak hanya diukur dari pakaian yang digunakan, melainkan ketika sudah menjadi etika sosial.
Wallahu a’lam.
Artikel ini pertama kali dimuat di islami.co