Beberapa waktu lalu saya mendapat undangan dari sebuah organisasi pemuda Katolik yang bekerja sama dengan GUSDURian Banjarmasin. Saya diminta menjadi salah satu pembicara dalam acara Dialog Lintas Iman yang para narasumbernya berasal dari berbagai agama. Dalam dialog bertemakan “Kasih dalam Perspektif Agama-Agama” tersebut saya mewakili Islam. Catatan ini merupakan cuplikan ceramah sederhana saya waktu itu dengan beberapa tambahan.
Berbicara tentang ajaran kasih dalam Islam, sejauh pengetahuan dan keyakinan saya, ajaran tentang kasih adalah intisari agama Islam. Ajaran kasih sudah terkandung bahkan dalam nama Islam itu sendiri. Islam secara harfiah bisa berarti menyerahkan diri (kepada Tuhan), bisa juga berarti selamat atau menyelamatkan, damai atau mendamaikan. Baik itu penyerahan diri atau keadaan damai tidak akan tercipta tanpa rasa kasih dan cinta.
Allah diyakini memiliki 99 nama yang baik yang disebut al-asma al-husna. Dua nama pertama dalam susunan tersebut adalah rahman (Maha Pengasih) dan rahim (Maha Penyayang). Selain itu ada pula nama-nama lainnya yang mengandung kasih-Nya, seperti lathif (Maha Lembut), ghafur (Maha Pengampun/Pemberi Maaf), hakim (Maha Bijaksana), dan al-‘adl (Maha Adil).
Anak-anak muslim acapkali disuruh gurunya menghafalkan nama-nama Tuhan tersebut. Harapannya agar mereka berusaha meniru sifat-sifat Tuhan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun sungguh tersesat orang yang mendaku dirinya Tuhan.
Nabi Muhammad diutus Allah tiada lain sebagai kasih bagi seluruh alam semesta. Demikian Al-Quran mengajarkan dalam surat Al-Anbiya ayat 107. Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin, tidaklah Kami utus engkau melainkan sebagai kasih bagi seluruh alam. Begitu bunyi ayatnya.
Di sini sang Nabi diutus menyebarkan kasih (bisa juga dipahami diri Nabi itu sendiri adalah wujud kasih) tidaklah kepada satu kelompok manusia saja, melainkan seluruh alam yang meliputi seluruh manusia, hewan, tumbuhan, gunung, lautan, hutan, bebatuan, dan bahkan benda-benda langit.
Ibadah-ibadah utama Islam yang terangkum dalam apa yang disebut dengan rukun Islam memuat ajaran-ajaran tentang kasih. Syahadat merupakan ikrar kasih dan kesetiaan kepada Allah dan Nabi Muhammad. Namun empat ibadah lainnya mengandung pesan-pesan kasih kepada sesama manusia.
Dalam salat, muslim menjatuhkan jidatnya ke tanah dalam sujud sebagai simbol pengakuan atas kerendahan diri di hadapan Allah. Semua muslim sama rendahnya, sehingga ia tidak boleh merasa sombong dan tinggi diri. Dalam salat, entah itu pejabat atau rakyat jelata, kaya atau miskin, lelaki atau perempuan, semua setara dalam kerendahan diri itu.
Salat ditutup dengan menoleh ke kanan dan ke kiri sambil berucap assalamu ‘alaikum wa rahmat Allah wa barakatuh. Itu adalah simbol ikrar seorang muslim dan doanya untuk senantiasa memberi keselamatan, rasa damai dan kasih kepada orang-orang yang berada di kanan maupun di kiri, kepada orang-orang yang baik dan bahkan orang-orang yang dinilai buruk.
Puasa dan zakat merupakan ibadah yang mengajarkan kasih kepada orang-orang yang miskin dan kelaparan. Sementara ibadah haji, ketika semua orang dari seluruh penjuru dunia berkumpul dan berdoa di Padang Arafah, juga mengajarkan kasih kepada semua orang, apa pun warna kulitnya, sukunya, bahasanya, bangsanya.
Selain ayat tentang diutusnya Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semesta, Al-Quran, kitab suci dan sumber utama ajaran atau syariat Islam itu memuat banyak sekali ayat-ayat kasih.
Rasa kasih tertinggi dan paling sempurna kepada sesama manusia adalah sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 92: lan tanal al-birra hatta tunfiqu min ma tuhibbun, kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu nafkahkan sebagian apa yang kamu cintai.
Bila seseorang menyumbangkan hartanya, sementara ia sangat menyayanginya, itu adalah kebajikan. Bila seseorang menyerahkan jabatannya, padahal ia masih ingin berkuasa, itu juga kebajikan. Jadi ketika Anda menyukai seseorang, tapi si dia mencintai orang lain, lalu Anda merelakannya bersama orang lain yang ia cintai, itulah kebajikan yang sempurna. Demikianlah ajaran kasih dalam Islam menjadikan seorang hamba Tuhan melampaui kemanusiaannya.
Jadi ajaran Islam berhulu pada kasih dan cinta. Namun demikian, sebagai muslim saya harus bersikap secara adil. Fenomena dan peristiwa yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir memperlihatkan betapa sebagian muslim justru tidak berperilaku seperti ajaran agamanya itu. Ekstremisme atas nama agama yang acap melahirkan kekerasan seakan menunjukkan Islam bukanlah agama kasih.
Sebagai muslim, sekali lagi, saya tidak memungkiri bahwa sebagian saudara seiman saya memang begitu. Untuk ini saya tidak dapat bersikap apa-apa kecuali menyesali perilaku kekerasan berdalil agama. Saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali meminta maaf kepada siapa pun yang terancam oleh ekstremisme muslim itu.
Bagaimanapun, ekstremisme dan kekerasan yang dilakukan sebagian muslim yang kebetulan kita saksikan di masa kita ini tidaklah lahir kemarin sore. Ada sejarah panjang yang membentuknya. Sejarah yang bahkan bermula dari masa awal Islam (empat khalifah, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah) hingga zaman modern pasca-kolonialisme.
Oleh karena itu, ekstremisme muslim tidak dapat kita lihat semata hitam-putih. Terlebih karena ia lahir dari sejarah, ekstremisme muslim sepenuhnya historis, bukan bersumber dari dogma agama. Pada prinsipnya, dogma dan sejarah terpisah, meskipun dalam penerapannya dalam kehidupan umat beragama keduanya saling berkelindan.
Dalam kasus muslim, kelindan antara dogma dan sejarah terjalin dalam penafsiran terhadap Al-Quran. Hal itu karena kitab suci muslim memang memuat ayat-ayat kasih di satu pihak, namun di pihak lain juga memuat apa yang disebut dengan ayat-ayat perang.
Saya tidak menyangkal bahwa Al-Quran, di samping ayat-ayat kasih, juga berisi ayat-ayat yang makna lahirnya seakan-akan mengesahkan tindakan yang keras. Namun semua tergantung pada penafsiran kitab suci.
Mereka yang berhaluan inklusif dan moderat akan mengunggulkan ayat-ayat kasih dan toleransi dan menafsir ulang ayat-ayat perang. Mereka yang berpikiran ekstrem akan menganggap ayat-ayat kasih hanya untuk golongannya sendiri dan ayat-ayat kasih untuk orang-orang kafir telah “terhapus” (naskh).
Beragamnya penafsiran terhadap Al-Quran merupakan implikasi dari otorisasi teks wahyu. Inilah yang kiranya membedakan Islam dengan agama lain. Nabi Muhammad tidak menyerahkan otoritas agama kepada satu orang atau suatu lembaga, seperti misalnya agama Katolik.
Sementara teks dibaca oleh manusia, dan manusia adalah makhluk yang terikat ruang dan waktu. Sehingga, pembacaannya terhadap teks wahyu sangat dipengaruhi oleh sejarah yang di dalamnya ada budaya, kondisi aktual politik dan ekonomi yang melingkupinya. Al-Quran, dengan demikian, terbuka bagi beragam penafsiran.
Dengan tergantungnya pemahaman agama Islam pada historisitas penafsiran Al-Quran, perkembangan muslim tidaklah berhenti pada titik ini. Seperti kitab suci yang merupakan teks terbuka bagi penafsiran, terbuka pula kemungkinan perubahan pada diri muslim.
Islam memang agama termuda. Umatnya juga belum tua. Muslim saat ini memang sedang mengalami apa yang pernah terjadi di dunia Nasrani pada abad pertengahan. Muslim saat ini juga mengalami apa yang umat Buddha rasakan di Myanmar dan Hindu di India. Tapi seperti kata Antonie Van Peursen, filsuf asal Belanda, kebudayaan selalu menjadi tempat untuk belajar.
Waktu masih terus berjalan dan tentunya akan ada perubahan. Sejarah akan menempa muslim dan mengubah pandangannya terhadap agama dan dunianya. Dialog Lintas Agama, seperti yang kita dilaksanakan sekarang, tentunya akan memberi pengaruh pada muslim dan umat-umat beragama pada umumnya.
Bila kerja-kerja untuk toleransi dan perayaan keragaman terus konsisten digalakkan, bukan tidak mungkin pandangan ekstrem muslim terhadap umat beragama lain akan melunak, bahkan berani menggandeng tangan mereka untuk berjalan bersama. Sebaliknya, umat beragama lain sangat mungkin berubah pula pandangannya terhadap muslim. Dengan itu, terciptalah damai dan sinar kasih akan meliputi hati setiap manusia.