Social Media

Hedon

Dalam sebuah pelatihan tentang perubahan sosial di Jerman, saya berkenalan dengan teori gunung pasir, diadaptasi dari teori Self-Organized Criticality yang diajukan Bak, Tang, Weisenfeld (1988).

Gunung pasir dibentuk oleh tumpukan butiran pasir. Bila ditambahkan sebutir demi sebutir, gunungan akan semakin tinggi tetapi semakin tidak stabil. Suatu ketika, ia akan mencapai titik kritis. Bila ditambahkan sebutir saja pasir, ia akan longsor.

Perubahan sosial pun dapat terjadi sedemikian. Perilaku demi perilaku menyumbang terbentuknya kultur tertentu yang semakin menguat, sampai di titik kritis di mana sebuah (peristiwa) perilaku menjadi pemicu longsornya budaya tersebut.

Dan Februari 2023, kita menyaksikan longsornya budaya hedon keluarga besar para aktor Negara. Pemicunya adalah penganiayaan berat oleh Mario Dandy, Shane Lukas, dan anak AGH terhadap David Ozora. Sebegitu kejinya penganiayaan tersebut sehingga bahkan setelah tiga minggu, kesadaran David belum juga pulih.

Perilaku keji Mario dan kawan-kawan yang terlihat dalam video membuat publik geram. Netizen Indonesia mencari informasi dan menguliti kehidupan para pelaku. Dan terkuaklah betapa sering Mario flexing (memamerkan) kehidupan hedonistik yang penuh kemewahan di akun-akun media sosialnya.

Temuan ini menjadi pemicu rentetan peristiwa terkait perilaku dan kekayaan banyak pejabat negara yang fantastis, serta sistem yang gagal mengatasi tumbuhnya kekayaan yang tidak dapat dijelaskan (unexplained wealth).

Selama ini, banyak anggota keluarga para pejabat yang tanpa malu memamerkan gaya hidup penuh kemewahan. Benda-benda mewah seharga ratusan juta bahkan miliaran rupiah, liburan di tempat-tempat eksotik dan berbiaya tinggi, dan sikap sok kuasa di berbagai ruang publik menghiasi halaman-halaman media sosial tanpa kekhawatiran apa pun karena di negeri ini ”semua bisa diatur”. Barangkali, mereka mengira bahwa gaya hidup sedemikian adalah lumrah, toh nyatanya semua melakukannya. Gunung pasir gaya hidup mewah para keluarga pejabat negara makin menjulang, sebagai sebuah kebanggaan.

Dan karena seorang Mario, sekarang gunung pasir itu longsor. Para anggota keluarga pejabat menutup akun-akun media sosial dan benda-benda mewah disembunyikan atau dijual. Bahkan, untuk sementara mereka pun harus slumming, bahasa gaul untuk menggambarkan gaya hidup yang di bawah kemampuan finansialnya.

Presiden Jokowi pun menyentil para menteri dan anggota kabinetnya agar menertibkan para pejabat yang hedon dan suka pamer kekayaan. Berbagai kementerian dan lembaga lalu mengeluarkan peringatan keras agar para ASN dan keluarganya menjaga diri dari media sosial dan tak memamerkan kekayaan dan gaya hidup hedon.

Netizen pun kembali mempersoalkan, mengapa bukan dilarang korupsi, tetapi sebatas tidak memamerkan gaya hidup hedon. Tentu saja ada perbedaan yang sangat fundamental antara tidak pamer dengan tidak menumpuk kekayaan yang tidak sesuai dengan penghasilan resmi jabatannya.

Guru kepemimpinan transformatif Otto Scharmer (2017) berpendapat bahwa dalam merespons sebuah tantangan perubahan sistemik, ada beberapa lapisan tindakan. Lapisan paling atas adalah dengan bersikap reaktif mencari jalan tercepat. Setelahnya adalah dengan redesigning (mengubah kebijakan dalam sistem), diikuti lapisan rethinking atau mengubah paradigma atau model mental, dan lapisan paling dalam adalah regenerating atau menghidupkan kembali pandangan hidup yang berasal dari sumber jati diri.

Seruan para pemimpin agar para ASN tidak memamerkan kekuasaan atau kekayaan adalah sebuah respons yang reaktif. Laksana obat penurun demam yang sekilas tampak ampuh tapi sejatinya tidak menyembuhkan penyebab demamnya, seruan itu menjadi quick fix semata: gestur politik yang penting, tapi tidak akan menyentuh akar persoalan.

Lebih baik dari respons reaktif adalah dengan redesigning (menata ulang sistem yang ada) dengan kebijakan yang baru dan diharapkan lebih tepat mengatasi tantangan. Dalam konteks membasmi korupsi adalah dengan memperbaiki sistem akuntabilitas, memperbaiki LHKPN, mengurangi potensi dan peluang berkembangnya perilaku koruptif, dan lain-lainnya.

Akan tetapi, ini pun tidak cukup, tanpa perubahan pola pikir, paradigma, dan bahkan nilai-nilai para pelaku dalam sistem tersebut. Kebijakan yang baik tidak akan mampu mengalahkan iktikad jahat para pejabat yang ingin mengambil keuntungan pribadi dari posisinya. Apalagi bila posisi tersebut didapatkan dengan investasi dukungan politik dan materi yang tinggi. Iktikad jahat akan selalu menemukan celah untuk mengejar maksudnya.

Tanpa perubahan paradigma dan budaya, kita akan berulang-ulang berhadapan dengan persoalan yang sama karena sistem akan dijalankan oleh orang-orang dengan pola pikir yang sama dengan saat ini. Selain kewajiban memenuhi kebutuhan hidup layak bagi ASN-nya, Negara juga perlu memastikan ia hanya mempekerjakan mereka yang memiliki nilai-nilai integritas, melayani rakyat dan pengabdian pada bangsa.

Untuk itu, perlu untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang menjadi akar jati diri bangsa kita. Pancasila dan wujudnya dalam berbagai kearifan tradisi bangsa harus menjadi sumber paradigma baru bagi para ASN kita.

Memang ini membutuhkan kerja yang lebih berat, dengan harga yang tidak murah. Akan tetapi, harga yang lebih besar adalah ketika rakyat turun tangan sendiri sebagaimana sekarang ini para netizen membongkar perilaku sebagian ASN. Entah bagaimana kita akan mengendalikan dampaknya.

Dan, bila kita gagal menggunakan momentum perubahan ini, sejarah akan mencatat bobroknya akhlak penyelenggara negara justru di tengah kampanye ASN Ber-AKHLAK. Sungguh ironis.

_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 19 Maret 2023

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.