Perempuan, Tabu, dan Nasibnya

“Ya ampun, Nok, malem-malem kok masih keluyuran. Apa tidak takut hamil?”

….

Menjadi perempuan selalu saja dikaitkan dengan perannya dalam dunia domestik. Seakan kita tidak cukup layak untuk bergerak dalam ranah sosial lainnya. Kita dituntut untuk tidak melakukan serangkaian hal dari A sampai Z dengan alasan untuk kebaikan dan menjaga harga diri yang mengakibatkan keterbatasan ruang gerak para perempuan. Hal tersebut terjadi karena konstruksi patriarki yang melanggeng di sekitar kita.

Dari sistem patriarki tersebut kemudian muncul beragam kesenjangan yang cukup kentara dalam berbagai aspek, salah satunya seperti yang saya alami. Saya ingat betul bagaimana ketika terjadi razia malam di salah satu kedai lesehan tanpa sekat yang kebetulan masih ramai walaupun jam sudah menunjukan waktu dini hari di tengah PPKM. Langsung saja para petugas penertiban Covid tersebut melakukan razia untuk mengetahui siapa saja yang tidak menggunakan masker.

Saya tidak menyalahkan razia yang terjadi malam itu, karena memang kami salah sebab telah melewati jam malam PPKM. Namun yang membuat kami geram adalah celetukan para “oknum” petugas tersebut yang sangat tidak ramah gender terhadap perempuan yang hanya berjumlah tiga orang, termasuk saya, pada malam itu.

“Ya ampun, Nok, malem-malem kok masih keluyuran. Apa tidak takut hamil?”

Sungguh, sebenarnya saya tidak habis pikir mengapa dari sekian banyak kalimat yang ada justru kalimat tersebut yang terlontar. Padahal “oknum” tersebut bisa saja memberi atensi kepada para pelanggar kebijakan penggunaan masker pada malam itu. Lalu yang selanjutnya, bagaimana bisa terpikir untuk menyebut hamil. Maaf saja, sependek pemikiran saya, mana mungkin kami melakukan hal-hal yang menyebabkan kehamilan di tempat ramai seperti kedai tersebut. Saya masih bisa memaklumi apabila petugas memergoki kami ketika sedang berada di kos atau kontrakan dengan jumlah massa yang tidak seramai ini. Tapi ini, rasa-rasanya sangat tidak mungkin.

Lagipula, bukankah sel telur tidak akan menyebabkan kehamilan apabila tidak ada sel sperma yang membuahi?

Jika kita perhatikan, sepertinya kita sangat jarang mendapati penghakiman seperti ini terhadap laki-laki. Konstruksi inilah yang menyebalkan, acap kali menilai harga diri seorang perempuan hanya dari selarut apa ia pulang. Padahal kita tidak tahu apa yang terjadi sehingga perempuan tersebut memutuskan untuk pulang larut. Seakan-akan perempuan yang pulang larut pantas untuk mendapat stigma seorang perempuan yang tidak baik.

Kuatnya tradisi patriarki ini juga turut membuat perempuan dan laki-laki bertingkah seolah-olah semuanya sudah ditakdirkan. Sejak kapan perempuan ditakdirkan hanya boleh duduk dan jalan dengan kemayu, atau sejak kapan perempuan harus senantiasa masak di dapur padahal sering kita jumpai chef di beberapa restoran adalah laki-laki. Dari kecil kita dipolarisasi bahwa masak-masakan, Barbie, bola bekel, dan beragam jenis lainnya adalah permainan perempuan, maka sebagai laki-laki seharusnya bermain bola, robot, mobil-mobilan.

Sudah apes secara tradisi, perempuan juga sering mendapat masalah atas yang justru seharusnya kodrati. Keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah layaknya kutukan yang kerap membawa problematika sendiri. Seperti, karena kita perempuan maka kita harus senantiasa menjaga cara duduk, berjalan, dan cara makan yang sebenarnya memang basic manner untuk semua, bukan hanya perempuan.

Pernah suatu ketika, saya mengikuti acara sejenis seminar di dalam masjid. Ketika istirahat shalat zuhur, seluruh peserta segera menunaikan ibadahnya. Saat itu saya sedang mendapati menstruasi hari pertama yang baru diketahui ketika hendak menunaikan shalat zuhur. Karena saat itu teman dekat saya hanya satu, yakni laki-laki yang berangkat ke forum bersama saya, akhirnya saya bilang ke dia untuk meminjam sepeda motor guna mencari pembalut.

“Bang, pinjem motor dong, mau keluar.”

“Untuk apa?”

“Mau mencari pembalut karena ternyata saya menstruasi.”

Tanpa dipermasalahkan, ia meminjamkan motornya untuk memfasilitasi saya mencari apa yang saya butuhkan. Namun teman saya yang lain, seorang perempuan, ia justru bingung dan merasa aneh lantaran saya menyatakan terang-terangan bahwa saya mendapati datang bulan kepada seorang laki-laki. Apalagi ketika ia tahu bahwa saya menyebut pembalut alih-alih roti jepang atau sebagainya.

“Ra, kamu tadi ngomong apa ke Udin?”

“Minjem motor, ingin keluar untuk membeli pembalut.”

Dengan wajah heran, terkejut, dan bingung ia menjawab,

“Ihh, kamu gak malu bilang itu ke dia? Bilang untuk membeli pembalut juga,” tanyanya dengan wajah yang bercampur aduk seakan-akan saya sedang mengakui bahwa saya adalah seorang narapidana yang melarikan diri dan berusaha pamer ke dia.

Apa yang membuat membeli pembalut dianggap seperti suatu aib yang tidak boleh semua orang tahu? Lagi-lagi, konstruksi sosial. Padahal membeli pembalut itu adalah kebutuhan, terutama bagi para kaum hawa. Sama saja seperti saat kita lapar, lalu kita menyampaikan bahwa kita butuh makan. Kita makan saat lapar adalah karena kita butuh, begitupun membeli pembalut. Apakah dengan mengakui bahwa kita lapar lantas membuat kita menjadi sosok yang menjijikkan? Tentu tidak.

Mirisnya, dampak menstruasi dan aib juga berimbas kepada laki-laki. Ketika seorang laki-laki ingin berusaha membantu perempuannya untuk membelikan pembalut, lingkungannya sering kali mengejeknya dan menganggap bahwa membelikan pembalut bagi perempuan mampu menurunkan martabatnya. Itu secuil hal sepele yang sebenarnya tidak layak untuk dipermasalahkan.

Dan yang anehnya lagi penyebutan roti jepang untuk mengganti penggunaan pembalut. Kira-kira, siapa yang dengan isengnya mencetuskan penggunaan roti jepang sebagai pengganti pembalut? Bayangkan jika semua alat yang berkaitan dengan perempuan mendapat kata ganti karena dianggap aib. Kita tidak bisa bilang bedak melainkan diganti tepung india, gincu atau lipstick menjadi pewarna butterfly, dan sebagainya.

Rasanya, jika seorang perempuan ingin membuat daftar aib atau buku panduan hidup menurut keinginan patriarki, satu buku tentu kurang untuk menjelaskan tata krama yang harus dimilikinya. Walaupun patriarki kerap kali merugikan perempuan, ternyata hal tersebut juga turut merugikan laki-laki. Coba kita lihat seberapa banyak laki-laki yang sulit untuk mengekspresikan kesedihannya karena adanya stigma bahwa menangis menunjukan kelemahan.

Padahal dilansir dari laman Halodoc, menangis memiliki banyak manfaat, yakni mendetoksifikasi tubuh, membantu menenangkan diri, menghilangkan rasa sakit, meningkatkan suasana hati, serta mengembalikan keseimbangan emosional. Itu baru satu contoh akibat dari konstruksi yang terjadi.

Sistem yang melanggeng ini memang memberikan banyak hal merugikan bagi semua kalangan, bukan hanya perempuan tentunya. Padahal dari pada kita sibuk mendiskreditkan satu atau dua golongan, kita seharusnya bisa menjadikannya ajang kolaborasi untuk memperkuat keseimbangan dan kesetaraan. Bukankah semua jadi lebih mudah jika setara senantiasa dilakukan?

Alumnus Creator Academy 2022 Jaringan GUSDURian.