Komunitas GUSDURian Pekalongan berkolaborasi dengan Komunitas GUSDURian UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan menggelar Forum 17-an sekaligus memeriahkan peringatan Harlah (hari lahir) Gus Dur. Acara berupa “Halaqah Kebangsaan” ini mengusung tema “Merawat Kebhinekaan dan Nasionalisme di Era Media Sosial” dan berlokasi di Masjid Kampus UIN Gus Dur Pekalongan, pada Minggu (27/08/2023). Forum 17-an merupakan bagian dari Gerakan 17-an yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas Jaringan GUSDURian di berbagai daerah.
Dipandu oleh moderator Ihza Maulina (Penggerak GUSDURian Pekalongan), diskusi kali ini dihadiri tiga narasumber, yaitu Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Dzikri Kabupaten Pekalongan Dr. Hj. Masnunah, M.Pd.I, Pendeta GKJ Immanuel Pekalongan Yusuf Sarjono, dan Ketua DPC PMPI Kota Pekalongan Syarif.
Dalam paparannya, Nyai Masnunah menyampaikan, Gus Dur adalah sosok yang sangat manusiawi. Dalam pandangan semua orang, ia membawa nilai-nilai dengan tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan golongan. “Bagaimana Gus Dur mengamalkan agamanya untuk betul-betul membawa rahmatan lil alamin, ini yang perlu kita teladani, atau kita dakwahkan terus menerus,” ucapnya.
Dirinya menambahkan, bahwa di tengah gencarnya informasi dan komunikasi, dunia saat ini dikuasai oleh arus informasi yang dapat memengaruhi opini masyarakat dunia. Maka dari itu, para pengikut Gus Dur perlu tetap memperkuat pemikiran Gus Dur melalui pendidikan dalam rangka membentengi isu global yang bisa merusak persatuan Indonesia.
“Informasi ini menjadi raja atau yang memimpin, bukan lagi menjadi media, media untuk menjadi wadah menyampaikan pemikiran kita. Era ini sudah sangat mengkhawatirkan dan dapat menggiring opini masyarakat. Yang kemudian semua orang bisa mengakses berita informasi, kemudian ada orang yang suka memainkan emosi massa untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ini yang kemudian perlu kita pahami bersama,” lanjutnya.
Terakhir, ia menyampaikan bahwa harus ada upaya-upaya untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama di media sosial agar masyarakat mampu hidup bersama di Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah rumah bersama dan negara ini didirikan secara bersama-sama oleh banyak agama. “Kita tidak bisa mengklaim negara ini hanya didirikan oleh satu agama saja,” pungkasnya.
Sementara Yusuf Sarjono menyampaikan, pemakai internet di Indonesia itu kebanyakan orang-orang muda. Anak-anak muda menurutnya, yang selalu sering berisik di media sosial, makanya ada istilah generasi lato-lato. “Karena kalau anak muda tidak mengikuti informasi dunia maya, mereka akan merasa ketinggalan,” katanya.
Menurutnya, pemuda harus bijak dalam menggunakan media sosial. Sebab bagaimanapun media sosial itu adalah alat. Sebuah alat itu tergantung siapa yang menggunakannya. “Alat itu baik, tetapi kalau digunakan untuk hal yang tidak baik, maka akan menjadi tidak baik. Tapi kalau itu digunakan oleh orang baik maka kebaikan-kebaikan itu akan muncul dan memberikan manfaat. Jadi, bijaklah dalam bermedia sosial,” sambungnya.
Terkait kebhinekaan, Yusuf menjelaskan bahwa dalam bahasa Kristen, kebhinekaan atau perbedaan itu adalah kemestian. “Dan kalau namanya kemestian hanya bisa diterima, karena itu asalnya dari Tuhan. Jadi kita berbeda satu sama lain ya memang seharusnya seperti itu. Dan intinya kebhinekaan itu memang harus kita syukuri, kita kelola,” pungkasnya.
Kegiatan diskusi publik ini diawali dengan pembukaan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan puisi oleh salah satu peserta, dan dilanjutkan dengan diskusi. Kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 30 peserta. Selain anggota komunitas GUSDURian, juga dihadiri oleh mahasiswa UIN Gus Dur, anggota DPC PMPI Kota Pekalongan, Duta Damai Jawa Tengah, dan DEMA UIN Gus Dur.