JAKARTA – Tiga pendekar intelektual Nusantara yang reputasinya telah diakui secara internasional yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid (Cak Nur), dan Syafi’i Ma’arif. Ketiganya memiliki kerangka pola pikir dan spirit kuat dengan karakter tradisi Nusantara.
Hal ini disampaikan oleh Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam Forum Titik Temu (FTT) IV, Sabtu (26/08/2023). Kegiatan yang terselenggara di Balai Sarbini Jakarta ini mengusung tema “Merayakan Indonesia: Suara Kultural untuk Pemimpin Nasional 2024.”
“Ketiga tokoh ini berhasil keluar dari batas-batas kultural pesantren dan masuk ke dalam kultur dan tradisi keilmuan baru. Bisa disebut juga ketiganya menghilangkan pemisah antara akademik kampus dengan akademik pesantren dan kultur pemikiran normatif-etik,” jelas Nyai Sinta.
Gus Dur dan Cak Nur memiliki basis keilmuan pesantren yang kuat. Keduanya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren dengan pemikiran klasik-konservatif.
Berbeda dengan Gus Dur dan Cak Nur, Buya Syafi’i mendapatkan pendidikan di luar lingkungan pesantren. Akan tetapi beliau lahir dalam lingkungan adat Minang yang kuat. Pendidikan agamanya ditempuh sejak dini membentuk karakter kuat terhadap nilai-nilai agama yang dia miliki.
“Mereka sama-sama bersentuhan dengan akar tradisi pesantren, meski dalam lembaga yang berbeda,” tambah Nyai Sinta.
Buah pemikiran ketiga tokoh ini memberikan angin segar dalam bidang intelektual Nusantara. Bukan tanpa sebab, hal ini dapat dilihat dari pemikiran masing-masing tokoh tersebut.
Gus Dur memiliki pemikiran liberalisme yang berakar pada spirit religiusitas nilai Islam. Pemikirannya tersebut terimplementasi dalam tindakannya seperti pembelaan pada kaum tertindas, perlindungan pada kebebasan beragama, dan sejenisnya. Bukan sekadar didasari nilai kebebasan, tetapi juga fondasi ajaran Islam yang kuat.
“Gagasan sekularisme Cak Nur merupakan aktualisasi dari nilai dan ajaran Islam mengenai penggunaan akal yang maksimal. Sumber yang menjadi pegangan beliau sama dengan Gus Dur, yaitu nilai yang ada dalam Islam,” katanya.
Sedangkan gagasan Buya Syafi’i mengenai pluralisme juga mirip kedua tokoh sebelumnya, yaitu mengacu pada para pemikir Islam. Buya Syafi’i tidak serta merta merujuk para pemikir Barat semata.
Nyai Sinta menegaskan bahwa ketiga pemikiran tokoh tersebut menjadi pedoman bahwa menjadi intelektual yang kritis dan transformatif itu perlu. Selain itu menjadi intelektual yang berkarakter dan memiliki akar kultural yang kuat juga tidak kalah penting.
Tradisi keilmuan seperti inilah yang harus diwariskan dan dirawat pada generasi penerus. Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i adalah tipe ideal yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi intelektual muslim Indonesia saat ini.